Oleh : Eni Setyaningsih, S.Kom., S.Pd
Maraknya fenomena pembullyan yang viral akhir-akhir ini, sungguh membuat hati miris. Mata dan hati seakan tak sanggup melihat video “kekerasan” terhadap korban seorang pelajar, yang diserang membabi buta oleh pelaku pembullyan tanpa ampun.
Bagaimana pelaku bisa tega melakukannya, diusianya yang seharusnya lebih fokus belajar ? Apakah hati nuraninya sudah tumpul ? Ataukah jusru malah merasa bangga dan puas atas kelakuan kejinya ? Lalu bagaimana pula dampaknya bagi si korban, yang tidak hanya terluka parah, namun berdampak pula pada psikisnya ? Sungguh menyedihkan tragedi ini. Sesuatu hal yang patut disesalkan yang seharusnya tidak boleh terjadi.
Kasus pembullyian secara fisik terhadap anak adalah sebuah fenomena yang terus menerus ada. Namun seakan tidak membuat jera para pelakunya. Sehingga perlu adanya penanganan khusus dari pihak-pihak terkait.
Seringkali terjadi pula pembullyan yang dilakukan secara verbal yang menyerang mental. Lontaran kata-kata yang sungguh menyakitkan, meskipun tidak melukai secara fisik, namun bisa melecehkan martabat dan harga diri sang korban.
BACA JUGA : Pengurus MP3I Jepara Sowan Gus Badawi, Berikut Wejangannya
Faktor pemicu pembullyan
Ada banyak faktor yang bisa dijadikan tolak ukur pemicu terkait kasus pembullyan, diantaranya adalah : Pertama, Kurangnya pendidikan Agama, serta penanaman moral, dan budi pekerti. Pondasi yang kokoh dalam memegang prinsip prinsip moral dan etika sangatlah penting dalam tumbuh kembang anak.
Kurangnya Pendidikan agama bisa menjadikan anak tak takut melakukan dosa dan bisa seenaknya membabi buta membully temannya,
Kedua, Latar belakang keluarga. Ada banyak kasus dimana anak yang suka membully, berasal dari keluarga yang “brokenhome” . Adapula yang berasal dari keluarga berada, namun kurang kasih sayang dari orang tuanya.. Sehingga nilai-nilai ajaran moral dan etika yang seharusnya sudah diajarkan dari rumah, sebagai pondasi dasar pembentukan akhlakul kharimah menjadi bias.
Ketiga, Pola asuh orang tua yang kurang tepat,
Orangtua yang terlalu sibuk bekerja tanpa memantau tumbuh kembang si anak, bisa memicu anak untuk mencari pelampiasan.
BACA JUGA : 11, 3% Responden Tidak Memiliki Mushaf Al-Qur’an di Rumahnya, Ini Indeks Literasi Al-Qur’an di Indonesia
Keempat, Lingkungan pergaulan yang salah. Orangtua tidak bisa memantau secara terus menerus apa yang dilakukan anak di luar rumah. Bila si anak salah bergaul dengan teman-teman sehingga berpengaruh negatif, Dampaknya bisa terjadi kasus pembullyan di sekolah, merasa lebih hebat bila bisa membully sasarannya.
Kelima, Pengaruh game kekerasan online, dan media sosial yang tak terkontrol. Tak ayal lagi, hampir sebagian besar anak-anak usia pelajar menyukai game online. Namun perlu diwaspadai bila yang sering dimainkan adalah game-game yang berbau kekerasan, hal itu bisa memicu si anak jadi suka kekerasan.
Sudah selayaknya orang tua turut mengawasi apa yang ditonton anaknya, apakah relevan dengan usia anaknya ataukah tidak.
Bisakah anak-anak pelaku pembullyan bisa dipidana?
Anak-anak yang masih di bawah umur yang terlibat kasus pembullyan, menjadi pelaku suatu tindak pidana atau berkonflik dengan hukum, Namun Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) menjelaskan bahwa seorang anak pelaku harus mendapatkan perlakuan dan penanganan yang berbeda dari pelaku dewasa.
Di dalam Pasal 1 angka 3 Undang -Undang SPPA dicantumkan bahwa anak bisa dimintai pertanggungjawab atas tindak pidan jika sudah berusia 12 tahun dan belum berusia 18 tahun.
Pasal 71 Angka 4 UU SPPA pidana yang dijatuhkan kepada anak dilarang melanggar harkat dan martabat anak. Pidana pokok bagi anak di bawah umur meliputi pidana peringatan dan pidana dengan syarat.
Pidana peringatan ini merupakan pidana ringan yang tidak mengakibatkan pembatasan kebebasan anak. Selanjutnya dalam hal anak belum berusia 12 tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana , maka penyidik, pembimbing kemasyarakaan, mengambil keputusan untuk menyerahkan kepada orangtua/wali atau mengikutsertakannya dalam program pembinaan.
Jadi dengan kata lain pelaku pembullyan yang dilakukan oleh anak-anak ini ada penanganan khusus sesuai UU SPPA.
BACA JUGA : Persiapkan Generasi Moderat, LP Ma’arif NU Jepara Gelar Workshop Penguatan Moderasi Beragama Guru PAI
Sementara di KUHP, pelaku perundungan ada ancaman pidananya yaitu apabila perundungan dilakukan di tempat umum, mempermalukan harkat dan martabat seseorang, bisa dijerat pasal 351 dengan ancaman hukuman maksimal 2 tahun 8 bulan.
Sementara itu, bila bullying tersebut berbentuk pengeroyokan, dapat dikenai ancaman hukuman hingga 5 tahun.
Restorative Justice mempunyai nilai tambah dalam kasus pembullyan anak yang masih pelajar, agar pelaku lebih menyesali dan kapok, sehingga tidak akan menjadi residifis.
Bagaimana pencegahan dan penanggulangannya?
Menilik berbagai fenomena bullying yang ada, menurut saya ada beberapa cara pencegahan serta penanggulangannya, agar kasus serupa tidak terulang, terutama dilingkungan pelajar/tempat pendidikan yaitu :
Pertama, menamakan adab dan budi pekerti serta akidah agama yang kokoh sebagai pondasi anak dalam bergaul.
Kedua, orang tua wajib instrospeksi diri karena kesalahan pelaku pembullyan yang usianya masih belia ini, pastinya tak lepas dari cara mendidik anak di rumah. Utamakan untuk bisa lebih fokus mencurahkan kasih sayang dan perhatian yang lebih kepada pelaku pembullyan agar tidak mengulangi lagi.
Ketiga, agar tidak menjadi korban pembullyan berusahalah untuk meminimalisir interaksi. Apabila merasa terancam segeralah melapor ke Guru dan cerita pada Orangtua, agar kasus pembullyan tidak terjadi.
Keempat, Perlunya perlindungan dan dukungan terhadap korban dengan pemulihan secara fisik maupun psikis dari ahlinya, sampai benar-benar pulih dan bisa berinteraksi kembali dengan normal.
Kelima, Sosialisasi yang lebih masif di sekolah tentang bahaya bullyiang. Adanya spanduk ataupun stiker yang ditempel di lingkungan sekolah, bisa membuat anak menagguhkan keinginannya membully temannya.
Keenam, Guru dan orang tua harus bisa menjadi contoh yang baik dengan keteladanannya dalam perilaku ke anak.
Ketujuh, Membantu pelaku menghentikan perilaku buruknya, dengan penanganan yang tepat dari ahlinya.
Semoga fenomena “bullying” di Indonesia dapat dicegah dan ditangani secara cepat dan tepat. Semoga !!
Eni Setyaningsih, S.Kom, S,Pd, Mahasiswi Magister Ilmu Hukum Universitas Muria Kudus