Mengganti Pancasila, Mungkinkah?

M. Dalhar
Pegiat Sosial dan Sejarah Jepara

DALAM sebuah pendiskusian tentang peringatan hari lahirnya Pancasila semalam, ada seorang peserta yang menyampaikan tidak perlu lagi Pancasila. Ia menilai kondisi yang ada jauh dari nilai-nilai Pancasila, sehingga sudah tidak relevan.

Sayangnya, setelah menyampaikan pertanyaan orang tersebut tergesa-gesa berpamitan karena harus menghadiri acara peringatan yang sama di tempat yang lain. Belum ada peserta lain yang menanggapi atas penyataan yang kontroversional tersebut. Yang dikhawatirkan adalah jika tidak ada yang “meluruskan” ide tersebut akan “ditawarkan” di tempat yang lain.

Penulis menilai pandangan dari penanya – yang notabene-nya adalah orang berpengaruh di lingkungannya – Pancasila dianggap sebagai perangkat operasional yang dapat menyelesaikan beragam persoalan. Ketika gagal, berarti dapat diganti. Padahal tidak demikian adanya.

Sebagai sebuah analogi. Ketika sebuah rumah mengalami kerusakan, baik ringan maupun berat, mengapa tidak diperbaiki pada bagian yang rusak. Kenapa harus dibongkar seluruhnya ketika masih dapat digunakan. Terlalu banyak energi yang harus dikeluarkan jika membongkar bangunan yang sudah ada pondasinya, yaitu Pancasila.

Mendiskusikan Pancasila saja adalah membicarakan sesuatu yang abstrak. Hampir sama dengan agama yang tidak tampak tetapi sangat mempengaruhi tingkah laku manusia. Hanya sebagai analogi karena Pancasila tidak mungkin menjadi agama atau menggantikan agama tertentu.

Setiap orang memiliki pandangan masing-masing tentang Pancasila. Itu sah-sah saja di tengah era informasi seperti saat ini. Berbeda dengan dulu, dimana penguasa memiliki tafsir tunggal atas Pancasila. Harmoni dan keseragaman dalam banyak sisi kehidupan masyarakat ditekankan untuk pembangunan.

Mengganti Pancasila atau tidak perlunya Pancasila sangat mudah diucapkan, tetapi tidak mungkin dilakukan di Republik ini. Mengapa? Pancasila adalah titik temu (kalimatu sawa’) dari berbagai perbedaan yang ada dan hasil kompromi dari para pendiri negara ini.

Pancasila adalah dasar mengapa kita hidup bersama dalam bingkai negara. Dasar ini digali dari pengalaman hidup bersama di masa lampau sebagai bangsa. Nilai-nilai tentang ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan menjadi bagian dari masyarakat kita.

Sebagai dasar atau pondasi, Undang-Undang Dasar (UUD) yang menjadi dasar semua produk hukum harus sejalan dengan nilai-nilai Pancasila. Artinya, sila-sila dijabarkan dalam pasal-pasal.

Dalam pasal-pasal ada peluang untuk melakukan perubahan dengan amandemen. Misalnya dalam amandemen I tahun 1999 meliputi 9 pasal dan 16 ayat. Salah satunya adalah tentang pembatasan masa jabatan presiden dan wakilnya dalam pasal 7.
Sama halnya dengan kondisi saat ini.

Sistem Pemilu yang digunakan apakah sistem proposional terbuka atau tertutup yang masih tarik-ulur. Tidak lantas kemudian Pancasila yang diganti.

Posisi Pancasila semakin diperkuat dengan masuknya sila-sila dalam alenia Pembukaan UUD 1945. Artinya, hal tersebut mengukuhkan sekaligus memperjelas kedudukan Pancasila dalam ketatanegaraan Indonesia. Mengubah Pancasila sama halnya mengubah Pembukaan UUD 1945. Itu sama halnya pula “membubarkan” negara Indonesia.

Mengganti Pancasila sama halnya dengan revolusi karena mengubah semua tatanan kehidupan. Indonesia bukan lagi negara yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, tetapi Indonesia yang lain. Sudah sebegitu parahkan kondisi kita hari ini,
Kita sepakat bahwa nilai-nilai dalam Pancasila bersifat universal dan tidak bertentangan dengan ajaran agama.

Jika situasi yang terjadi hari ini, akibat globalisasi, menjadikan kondisi masyarakat tidak atau belum sesuai dengan cita-cita Pancasila, maka ini adalah tugas (utamanya) pemerintah yang dipercaya sebagai pengelola negara ini. Bukan Pancasila yang diganti. (*)

Related posts

Bus Kota

Tips Sehat Berpuasa di Bulan Ramadhan, Ala Direktur RSU Anugerah Sehat Jepara

Mengenal KH. Musthofa Kamal, Mengabdi dengan Ikhlas Tanpa Batas