Oleh : M. Dalhar
Pemutaran film yang berjudul Pengkhianatan G30S/PKI adalah salah satu versi dalam kemelut Gerakan 30 September 1965. Melalui film ini memori kolektif bangsa ini terbentuk.
Pada 30 September 1965 malam, sekelompok tentara yang dipimpin oleh Kolonel Untung melakukan upaya penculikan terhadap tujuh pimpinan senior Angkatan Darat. Operasi yang diberi nama Gerakan 30 September itu mengubah narasi sejarah bangsa Indonesia.Partai Komunis Indonesia (PKI) yang menjadi salah satu partai besar pada pemilu 1955 menjadi partai terlarang.
PKI sebagai manifestasi dari paham komunisme dianggap satu-satunya sebab meletusnya peristiwa G30S sehingga layak dihancurkan. Anti-komunisme telah menjadi wacana utama dalam masyarakat Indonesia sepanjang sejarah pemerintahan Orde Baru (1966-1998) dan sesudahnya.Selama kurang lebih 32 tahun komunisme yang menjadi inti ajaran dari PKI “ditertibkan” oleh pemerintah Orde Baru melalui TAP MPR Nomor XXV/MPRS/1966 tentang pembubaran dan larangan ideologi komunisme, marxisme, dan leninisme di Indonesia.
BACA JUGA : Diskusi Gusdurian Jepara, Tidak Verifikasi Sering Akibatkan Konflik
Dalam penelitian mutakhir yang dilakukan para peneliti memunculkan lima skenario berbeda yang dapat disarikan dari berbagai risalah tentang peristiwa 1965. Setiap skenario memiliki penjelasan dan bukti-bukti yang dapat dipertanggungjawabkan.
Pertama, pembunuhan terhadap para jenderal dipercaya seluruhnya dan dilakukan oleh PKI dan simpatisannya. Hal ini sebagaimana pemahaman awal yang tergambar dalam film yang diputar rutin setiap 30 September. PKI ingin mengganti ideologi Pancasila menjadi komunisme.
Kedua, percobaan kudeta itu adalah hasil dari pertarungan internal angkatan bersenjata.Ketiga, Jenderal Soeharto adalah pelaku sebenarnya, atau paling tidak mempengaruhi, memanipulasi, dan mengaburkan pembunuhan para jenderal itu untuk kepentingannya sendiri.
Keempat, Presiden Soekarno memberi izin atau menganjurkan para perwira yang terkucil untuk bertindak melawan kolega mereka sendiri yang disebut sebagai bagian dari ”Dewan Jenderal” rahasia. Kelima, operasi intelijen asing terlibat di dalam upaya penggulingan Soekarno yang condong ke kiri (Wijaya Herlambang, 2015).
Beberapa skenario yang ada menunjukkan bahwa apa yang terjadi di balik peristiwa 1965 bukanlah sesederhana sebagaimana dalam sejarah yang diketahui secara umum. Kompleksitas jalinan berbagai kepentingan yang ada pada waktu itu berjalan secara bersama-sama sehingga menghasilkan perisitwa yang barangkali di luar skenario sebenarnya. Alhasil, pecahlah peristiwa kelam dapat perjalanan bangsa ini. Bukan hanya 1965, tapi juga tahun-tahun setelahnya. Setiap daerah dalam waktu yang berbeda memiliki dampak yang berbeda-beda pula.
Di dalam buku-buku yang mengupas tentang kontroversi ini tidak lagi digunakan istilah G30S/PKI. Yang lazim dipakai adalah G30S tanpa kata PKI. Ada juga yang menggunakan istilah Gerakan Satu Oktober (Gestok) atau Gerakan September Tiga Puluh (Gestapu). Meski secara tata bahasa tidak benar, istilah Gestapu digunakan oleh militer untuk menyamakan dengan Gestapo, polisi rahasia Nazi Jerman yang kejam.
Setiap peristiwa tidak dapat “diraih” oleh sejarawan secara utuh. Ia selalu tidak lengkap. Diperlukan dokumen dan kesaksian para pelaku serta korban. Ibaratnya kita menyaksikan suatu peristiwa, kejadian itu tidak terliput secara keseluruhan. Ada sisi-sisi yang tidak terlihat hanya oleh satu orang. Itulah sebabnya terdapat berbagai versi dalam buku-buku sejarah.
Persitiwa sudah terjadi. Masih menyisakan trauma, stigma, dan kerugian baik yang bersifat material maupun non-material dari elemen bangsa ini. Tentu, tidak perlu dipolitisasi, kita harus bijak dalam melihat peristiwa ini.
M. Dalhar, pegiat sosial dan peminat sejarah