Tantangan Politik Identitas di Indonesia yang Berbhineka

Oleh : Eny Setyaningsih

Indonesia adalah negara yang kaya akan kebhinekaan. Kaya akan berbagai macam adat istiadat, berbeda suku, ras dan kebudayaannya. Sesuai slogan pemersatu bangsa, “ Walaupun berbeda tetapi tetap satu jua“

Dalam kancah perpolitikan di Indonesia, kebhinekaan ini bisa sangat berpengaruh dalam hal pemilih memberikan dukungan kepada calon penguasa yang sedang berkompetisi dalam Pemilu/Pemilihan Serentak 2024.

Tantangan Politik/Pembangunan Hukum Nasional di Indonesia yang Ber-Bhineka ini sangat menarik untuk diperbincangkan, dan di bahas.

Demokrasi di Indonesia telah tercantum dengan jelas sesuai konstitusi UUD N RI Tahun 1945, bahwa kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat.

Dengan ragam banyak suku, adat istiadat, ras, agama, bahasa daerah, maka rakyat Indonesia yang heterogen ini, perlu untuk saling menghargai pendapat satu sama lain, dalam mengungkapkan argumentasinya atau menyuarakan aspirasinya .

BACA JUGA : Pemilu 2024 Semakin Dekat, Jaga Kondusifitas dan Jangan Terkotak-Kotak

Politik Identitas, Tantangan Persatuan
Politik Identitas sudah muncul sejak orde baru, Politik Identitas seringkali bersinggungan dengan intoleransi antar sesama.

Politik identitas turut berperan dalam ranah politik dan menimbulkan perebutan kekuasaan dan pengaruh dalam ruang publik.

Seringkali politik identitas membajak ruang publik, sehingga kontestasi yang terjadi akan menciderai kehadiran ruang publik yang dikuasai oleh identitas tertentu.

Dalam kancah demokrasi di Indonesia, Politik Identitas kerap mewarnai ketegangan suhu politik di Indonesia, terutama saat Pemilu Presiden/Wakil Presiden, Pemilu Legislatif maupun Pemilihan Kepala Daerah Bupati/Gubernur/Walikota.

Sebagai contoh, masa penjajahan dulu kita mampu bersatu sebab kita memiliki satu identitas, yakni bangsa Indonesia,  kita mampu melawan penjajah karena dilandasi semangat persatuan. Namun ironisnya, jika salah mengelola , maka politik identitas akan membuat masyarakat terpecah belah .

BACA JUGA : Wujudkan Pemilu Damai, Cegah Narasi Memecah Belah dan Jaga Ruang Digital Tetap Sehat

Masih segar dalam ingatan penulis saat masa reformasi 98, bagaimana hancur leburnya kota Solo akibat adanya politik identitas antara pribumi vs non pribumi.

Demontrasi seakan tiada lelahnya,  bahkan rumah salah satu menteri era orde baru yang berada di Solo, juga ikut di bumi hanguskan. Sungguh mengenaskan.

Kasus lain adanya politik identitas adalah saat Pilkada DKI, dimana masyarakat menjadi terkotak-kotak dan terbagi, tidak hanya dalam kehidupan perpolitikannya namun juga sosial dan budayanya.

Hal ini jika dibiarkan terus menerus, akan mengoyak stabilitas bangsa. Sungguh sangat disayangkan, mengingat perbedaan yang kita miliki sejatinya menjadi kekuatan kita, tetapi sekarang malah menjadi senjata yang bisa menghancurkan bangsa kita sendiri

Indahnya Bersatu dalam Ke-Bhinekaan
Indonesia adalah sebuah bangsa yang terdiri dari berbagai macam suku, agama, ras serta budaya. Di negeri yang terletak di garis khatulistiwa ini, Indonesia banyak menyimpan berbagai sumber daya alam dan juga sumber daya manusia yang melimpah.

BACA JUGA :  HSN, Ingatkan Ribuan Santri Jihad Pertahankan Kemerdekaan

Dengan penduduk yang begitu banyak dan juga memiliki latar belakang budaya, agama serta suku yang berbeda-beda, kerapkali bangsa ini di hadapkan pada satu kondisi dimana persatuan berada diujung tanduk.

Solusinya, mencari satu pegangan yang mana bisa dijadikan sandaran untuk mempersatukan banyak masyarakat dan juga kepentingan didalamnya. Maka dari itulah lahir semboyan negara kita Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda namun tetap satu jua.

Politik dalam negeri kita pun sering berada dalam keadaan tidak stabil, terutama pasca kemerdekaan dimana kita berganti-ganti sistem pemerintahan mulai dari terpimpin, parlementer sampai demokrasi Pancasila.

Zaman Orde Baru semua tersentralisasi pada pemerintah pusat yang di pegang oleh The Smiling General , Soeharto , dan masa saat ini , era reformasi , demokrasi di indonesia sudah dianggap cukup matang dan jauh lebih baik di bandingkan era – era sebelumnya.

Namun, walaupun keadaan demokrasi di negara kita semakin tahun semakin membaik , ada satu hal yang tak dapat dilepaskan dari perjalanan politik di Indonesia , yaitu Politik Identitas.

BACA JUGA : Upaya Tingkatkan Partisipasi Pemilih, PPK Wonomulyo Sosialisasikan  Pemilu melalui Khutbah Jumat

Menyadur dari Suparlan dalam bukunya menyatakan bahwa sebenarnya apa makna sesungguhnya dari politik identitas ?  Suparlan (2004:  25)  mengartikan identitas atau jati diri sebagai  pengakuan terhadap seorang individu, atau suatu kelompok  tertentu, yang menjadi satu kesatuan menyeluruh yang ditandai  dengan masuk atau terlibat dalam satu kelompok atau golongan  tertentu.

Penggabungan ke dalam kelompok atau golongan  tertentu ini tentu tidak terlepas dari adanya rasa persamaan yang  didasari oleh sebuah identitas.

Identitas atau jati diri ini terdapat  dalam berbagai bentuk dan jenis seperti identitas gender, agama,  suku,  profesi,  dan lainnya. Sehingga perkumpulan yang didasarkan pada  satu kesamaan identitas akan membentuk sebuah kelompok identitas.

Politik identitas sendiri merupakan penjabaran dari  identitas politik yang dianut oleh warga negara berkaitan dengan  arah politiknya.

Politik identitas lahir dari sebuah kelompok  sosial yang merasa diintimidasi dan didiskriminasi oleh dominasi negara  dan pemerintah dalam menyelenggarakan sistem pemerintahan. Hal inilah yang kemudian menjadi dasar lahirnya politik identitas  dalam persoalan kenegaraan.

Dari uraian di atas dapat ditarik benang merah, bahwa Tantangan Politik/Pembangunan Hukum Nasional di Indonesia yang Berbhineka (Kebhinekaan Sosial Budaya). Terbesar sebenarnya adalah adanya politik identitas. Politik Identitas adalah sebuah cara berpolitik yang didasarkan pada kesamaan identitas.

Di Indonesia sendiri politik identitas kerap dikerucutkan menjadi dua kelompok, yaitu nasionalis dan agamis. Apabila kelompok tersebut tidak dikelola dengan tepat dan bijak, maka dapat menyebabkan hancurnya stabilitas negara.

Bila pemerintah tidak memiliki “political will” dalam menengahi isu ini, maka tidak hanya kepentingan politik yang dipertaruhkan, melainkan juga kepentingan masyarakat luas.
Akhir kata , tak perlu berseteru karena perbedaan identitas.

Eny Setyaningsih, Anggota  Bawaslu Kudus (2018-2023), Koordinator Akademi Pemilu dan Demokrasi ( APD ) Kabupaten Kudus, dan Mahasiswi Pasca Sarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Muria Kudus

Related posts

Membangun Alternatif Peternakan Halal Berdaya Saing

Dilema Hukum Peternakan Babi di Jepara: Antara Legalitas dan Legitimasi Sosial

Ekstra Rebana Bermuara