Oleh : M. Dalhar
Tahun 2024 telah tiba. Waktu terus berjalan. Manusia dengan kemampuannya menciptakan momentum, sehingga pergantian tahun menjadi sesuatu yang berarti. Manusia berkumpul, kembang api, makan bersama, dan seremoni lainnya menjadi penanda yang menciptakan kesan tertentu.
Secara kasat mata, antara hari ini dan kemarin atau hari esok hampir tidak ada beda. Matahari terbit dari timur, hujan turun, dan arah jarum jam terus berputar. Dari detik menjadi menit, jam, hari, pekan, bulan, dan tahun. Begitu seterusnya dan berulang.
Lantas apa bedanya. Yang membedakan adalah momentum atau peristiwa yang terjadi pada setiap waktu yang dilewati manusia sebagai subyek kehidupan ini.
Setiap saat ada begitu banyak hal yang dijumpai oleh manusia. Peluang, harapan, tantangan, bahagia, sedih, silih berganti. Setiap peristiwa yang terjadi tidak dapat dipisahkan dari waktu sebagai kuota atau batas yang dimiliki.
BACA JUGA : Mantingan Sebagai Ruang Intelektual Studi Sejarah
Selain waktu, ada juga ruang yang menyebabkan terjadinya peristiwa. Perbedaan antara keduanya (ruang-waktu) akan menciptakan bermacam peristiwa dan penafsiran pula.
Dengan durasi waktu yang sama yakni 24 jam dalam sehari, setiap orang dapat memiliki kesibukan, peluang, atau persoalan yang berbeda-beda.
Perbedaan yang dimiliki karena adanya kesempatan yang berbeda-beda pula. Perbedaan ini dipengaruhi banyak hal. Singkatnya, nasib atau takdir seseorang tidak dapat dipisahkan dengan waktu sebagai sesuatu yang melekat. Adapun ruang yang menimbulkan kesempatan bagi setiap orang tidak sama.
Dalam kesehariannya, manusia tidak dapat dipisahkan dari waktu. Masuk sekolah, kantor, shalat, hari kelahiran, jadwal keberangkatan, deadline tugas, kelahiran, kematian, dan masih banyak lainnya. Akan tetapi, hanya sebagian manusia yang memahami pentingnya waktu.
BACA JUGA : Ratu Kalinyamat dan Pusat Studi Tokoh Jepara
Waktu adalah modal utama dalam kehidupan ini. Tanpa waktu manusia tidak ada di dunia ini. Ibaratnya seperti kuota yang unlimited, akan digunakan untuk apa saja boleh, asalkan tahu konsekuensinya. Dengan karunia akal sehat, seharusnya manusia dapat memanfaatkan modal utama yang dimiliki tersebut.
Sesuatu yang sudah terlewati, apapun itu yang terjadi, adalah sesuatu yang hakikatnya tidak dapat kembali. Jika ada peristiwa yang hampir sama, sebenarnya itu adalah peristiwa lain yang berbeda. Hanya saja polanya sama. Orang Jawa sering membuat kiasan sing wis yo wis. “Yang sudah ya sudah.”
Apa yang dapat dilakukan dari sesuatu yang sudah terlewati, tidak ada pilihan yang lain kecuali belajar. Mengambil pesan penting. Apa yang terjadi sudah tidak dapat diubah. Masa lalu adalah milik sejarah. Yang dapat diubah bukan peristiwanya, akan tetapi persepsi kita atas peristiwa yang telah berlalu itu.
Bagaimana menjadikan kesalahan di masa lampau bukan sebagai sesuatu yang membelenggu, tetapi menjadi sebuah pembelajaran agar tidak terulang kembali.
BACA JUGA : Maulid Nabi dan Solidaritas Kebangsaan
Dari apa yang telah dilakukan manusia pasti menyisakan jejak. Terlebih lagi pada era sekarang begitu mudahnya seseorang mendokumentasikan setiap peristiwa yang dilakukan. Dari jejak-jejak itulah yang dapat digunakan untuk menyusun puzzle perjalanan hidup. Dari perjalanan hidup, jika ditelaah, akan menghasilkan begitu banyak pembelajaran.
Selama satu tahun yang lalu, pada 2023, apa yang sudah kita lakukan. Selama 360 hari suka duka telah terlewati. Dengan tujuan yang berbeda-beda, setiap orang memiliki aktivitas yang berbeda pula. Kita tidak dapat lagi masuk ke lorong 2023 kecuali hanya jejak-jejaknya saja. Sudah saatnya kita memasuki realitas 2024 dengan segala dinamika yang ada bersamanya.
Bersyukur atas karunia waktu adalah sesuatu yang mutlak harus dilakukan. Salah satu bersyukur atas anugerah waktu adalah dengan mempergunakannya dengan baik. Tidak harus muluk-muluk, semua dapat dimulai dari diri sendiri.
M. Dalhar, Pegiat Sosial-Budaya di Jepara