M. Dalhar
Berhaji menjadi hal yang tidak biasa bagi seorang muslim. Haji bukan hanya perjalanan jauh yang melelahkan, tetapi juga ada nilai ibadah yang ditunaikan. Nilai inilah yang menjadikan sebesar apapun kerepotan akan dilampaui untuk memperoleh haji yang mabrur.
Tahun ini jamaah dari Kabupaten Jepara sejumlah 1.414 jamaah siap berangkat ke Tanah Suci. Berangkat mulai akhir Mei sampai awal Juni 2024 mendatang. Sampai puluhan tahun mendatang kuota haji sudah tersisi.
Membicarakan perjalanan haji di Jepara dapat dimulai dari masa kolonial Belanda. Data statistik pemerintah kolonial menunjukkan bahwa keberangkatan haji orang-orang Jepara dimulai sejak 1852 sebelum pembukaan Terusan Suez.
Apakah sebelumnya tidak ada? Besar kemungkinan ada. Mengingat, ibadah haji pada mulanya dilakukan secara personal atau kelompok kecil yang ada dan tidak terkoordinir. Lalu lintas perairan Nusantara sejak masa kerajaan sudah ramai dan menghubungkan pelabuhan-pelabuhan internasional.
BACA JUGA: 2 Jemaah Haji Jepara Gagal Berangkat ke Tanah Suci, Begini Alasannya
Awalnya pemerintah tidak peduli dengan persoalan haji. Pemerintah menyadari bahwa ketidakpeduliannya terhadap perjalanan haji orang-orang Islam di Nusantara secara tidak langsung menumbuhkan fanatisme yang dapat mengancam eksistensi pemerintah kolonial. Yang pertama diterbitkanlah Resolusi 1825 yang mengatur kuota, biaya, dan pengawasan gerak-gerik jamaah.
Pembukaan Terusan Suez tahun 1869 serta penggunaan kapal uap mempercepat perjalanan dari Nusantara ke Makkah-Madinah (Haramain). Dengan pembukaan jalur ini, perjalanan haji tidak sampai berbulan-bulan di laut.
Sampai akhir tahun 1888, jumlah masyarakat Jepara yang telah menunaikan ibadah haji sebanyak 2.150 orang. Jumlah tersebut masih terus meningkat sampai tahun 1920-an. Peningkatan ini dipengaruhi beberapa faktor utama.
Pertama, pemahaman agama yang cukup menggerakkan masyarakat pada waktu itu memiliki niat untuk menunaikan rukun Islam yang kelima.
BACA JUGA: Perang Obor Tegalsambi, Tradisi Ratusan Tahun yang Tetap Lestari
Kedua, kemampuan. Ini tidak lepas dari doktrin agama, untuk menyempurnakan rukun Islam. Ada masyarakat Jepara pada waktu itu yang menjual beberapa aset seperti sawah atau hewan peliharaan (rojo koyo) untuk membiayai perjalanan haji.
Ketiga, tidak dapat dinafikan bahwa dalam situasi penjajahan menjadikan motif untuk menunaikan ibadah haji. Dalam perkembangannya haji tidak hanya dilakukan oleh laki-laki, tetapi juga perempuan.
Keempat, semakin baik dan amannya perjalanan haji. Terbitnya Ordonansi Haji tahun 1922 yang mengatur angkutan haji, keamanan, kesehatan, fasilitas selama perjalanan menjadikan minat untuk berhaji meningkat.
Pemberangkatan jamaah Jepara dilakukan melalui Pelabuhan Semarang. Acara selamatan digelar untuk mendoakan calon haji agar diberikan keselamatan mulai dari pemberangkatan sampai kepulangan. Gelar “haji” inilah yang belakangan menimbulkan persoalan besar bagi pemerintah kolonial.
M. Dalhar, Pegiat Sejarah, Tim Riset Lesbumi NU Jepara