Membangun Ketakwaan Produktif Melalui Ibadah Qurban

Oleh: Abdul Wahab Saleem

Takwa merupakan inti dan muara dari seluruh ibadah, sementara ibadah merupakan inti dari penciptaan manusia (wa ma khalaqtul jinna wa al-insa illa liya’buduni).

Manusia pengabdi (abid) adalah mereka yang segala aktifitasnya dilakukan dengan memohon ijin kepada Allah dan orientasinya agar “menyenangkan” serta mendapatkan ridla Allah.

Hamba Allah yang baik adalah mereka yang sanggup menuhankan Tuhan, tetapi berimbang dengan memanusiakan manusia dan mengelola alam, berimbang antara status sebagai “abdullah” sekaligus “khalifatullah”.

Takwa juga merupakan inti dari ibadah qurban, yang menjadi tema besar Idul Adlha. Karena yang memiliki nilai dari hewan yang diqurbankan bukanlah dagingnya bukan pula darahnya, akan tetapi ketaqwaan dari orangnya

“Daging (hewan kurban) dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kamu. Demikianlah dia menundukkannya untukmu agar kamu mengagungkan Allah atas petunjuk yang Dia berikan kepadamu. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik”, Surat Alhajj ayat 37

Imam Fakruddin al-Razi dalam Tafsirnya “Mafatih al-Ghayb” menjelaskan bahwa ayat tersebut mengoreksi tradisi Jahiliyyah yang memiliki kebiasaan mengoleskan darah qurban pada berhala dan juga pada dinding Ka’bah, sehingga melalui ayat tersebut Allah memberikan penjelasan bahwa yang lebih bernilai bukanlah sekedar darah dan daging, akan tetapi ketakwaan produktif l, bahkan bukan sekedar ketakwaan statis yang oleh al-Razi disebut sebagai “takwa daging” (taqwahu bi manzilatilluhum).

BACA JUGA: Keren, 42 Dosen Unisnu Jepara Lolos Pendanaan Hibah DRTPM Kemendikbudristek

Ketakwaan produktif merupakan bentuk ketakwaan yang diaktualisasikan dalam laku. Ketakwaan produktif dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu pertama mengagungkan Allah (takbir) dan kedua konsisten menjadikan diri sebagai pelaku kebaikan yang berlebih (muhsin).

Mengagungkan Allah, di samping disyi’arkan dengan membaca takbir yang dalam tradisi fikih disunnahkan pada malam hari raya dan selepas shalat maktubah hingga akhir hari Tasyriq juga musti diaktualisasikan dengan cara merasa “kecil” dihadapan-Nya.

Orang yang mengagungkan Tuhan pasti tidak pernah merasa “besar” diri, tidak sombong, apapun yang di tangan dan kekuasaannya adalah anugerah, titipan serta amanah dari Allah sehingga harus ditasharrufkan sesuai aturan Allah, termasuk harta benda dan kekuasaan.

Ketakwaan produktif juga harus diaktualisasikan dengan membentuk diri sebagai “muhsin” atau pelaku “ihsan”.

Ihsan” adalah kebaikan sebagai perilaku bukan sekedar pengetahuan tentang kebaikan. “Ihsan” juga bermakna kebaikan yang berlebih atau melampaui tidak hanya kebaikan yang setara (mukafa’ah).

Dari kedua makna ini, diharapkan bahwa pribadi muslim dan mukmin dapat mentransinternalisasi keihsanan sebagai sarana aktualisasi ketakwaan. Seorang “muhsin” sebagaimana dalam sabda Nabi adalah meraka yang mampu melapangkan hati memaafkan kepada yang jahat (al-afwu amman dzalamahu), menyambung hubungan terhadap orang yang telah memutusnya (al-shilatu liman qatha’ahu) serta memberi kepada orang yang enggan berbagi dengannya (al-atha’ liman haramahu).

Seorang “muhsin” lebih dari sekedar “adil” karena adil hanyalah memenuhi hak kepada pemiliknya tanpa melewati batas atau menguranginya. Semisal tentang berbagi, adil digambarkan dengan berbagi kepada siapa saja yang pernah berbagi dengannya, sedangkan seorang “muhsin” mampu untuk berbagi dengan siapa saja termasuk kepada orang yang tidak pernah berbagi dengannya.

Ibadah Qurban merupakan aktualisasi dari dua dimensi terpenting dalam agama yang bersifat vertikal dan horisontal secara sekaligus, yaitu ketaatan kepada Allah dan semangat berbagi dengan sesama.

BACA JUGA: Lestarikan Alam, KKN Unisnu Jepara Tanam 500 Bibit Pohon

Ibadah Qurban merupakan perintah agama, sebagaimana dalam surat al-Qur’an yang paling populer dijadikan sebagai landasan teologis ibadah Qurban adalah Al-Kautsar.

“Sesungguhnya Kami telah memberimu (Nabi Muhammad) nikmat yang banyak.Maka, laksanakanlah salat karena Tuhanmu dan berkurbanlah! Sesungguhnya orang yang membencimu, dialah yang terputus (dari rahmat Allah)”, Surat Al-Kautsar1-3

Surat ini oleh Imam Jalaluddin al-Suyuthi dalam “Asrar Tartib al-Qur’an” dipahami sebagai surat yang meng-counter isi surat sebelumnya yaitu al-Ma’un.

Surat al-Ma’un berisi moral para pendusta agama, indikatornya adalah bakhil tidak mau berbagi dengan sesama, lalai dalam beribadah, pamer amal, serta tidak memiliki kepedulian sosial.

Sementara Al-Kautsar memberikan seruan agar seseorang tidak bermoral kikir, pamer amal serta memiliki solidaritas sosial.

Bagaimana seseorang itu bisa bermoral kikir sementara terlalu banyak anugerah yang diberikan oleh Allah kepadanya?, beribadahlah semata-mata karena Allah dan menggapai ridla-Nya, serta berbagilah dengan contoh berqurban sebagai bentuk solidaritas sosial serta kesadaran bahwa harta benda yang dimiliki merupakan titipan dan amanah dari Allah yang juga harus didistribusikan sesuai ketentuan Allah.

Akhirnya, bahwa ibadah qurban yang merupakan ibadah simbolik, haruslah diaktualisasikan makna substansialnya dalam kehidupan sehari-hari.

Simbolnya ada di daging dan aliran darah hewan yang diqurbankan, tetapi makna substansial dan aktualnya terletak pada ketakwaan produktif berupa ketaatan dan ketundukan penuh kepada Allah serta mengagungkan-Nya, solidaritas sosial dan berbagi dengan siapa saja baik yang punya atau tidak punya (al-qani’a wa al-mu’tarr), semangat memperkuat persaudaraan serta membentuk diri sebagai “muhsin” yaitu pelaku kebaikan yang berlebih. Wallahu A’lam.

Dr. Abdul Wahab Saleem, S.Sos.I., M.S.I, Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi Unisnu Jepara

Related posts

Model Kepemimpinan Transformasional dalam Pendidikan Tinggi Islam: Refleksi atas Kontribusi Dr. H. Sa’dullah Assa’idi

Terpaut dalam Jiwa Kurban: Menggugah Kesadaran Pengorbanan di Era Serba Instan

Makna Qurban dalam Membangun Karakter Umat dan Peradaban