Humor, dan Tanggung Jawab Moral

Oleh: Arina Fauzia

Viralnya video Gus Miftah yang diduga mengolok-olok pedagang es teh dalam sebuah ceramah memunculkan reaksi beragam di tengah masyarakat. Sebagian orang menilai candaan tersebut tidak pantas, terlebih karena keluar dari seorang mubaligh yang menjadi panutan umat. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa pernyataan tersebut hanyalah humor tanpa niat merendahkan.

Peristiwa tersebut  kembali memunculkan diskusi tentang batasan etika dan tanggung jawab moral seorang figur publik dalam menyampaikan pesan, terutama di ruang yang dapat diakses luas oleh masyarakat.

Sebagai seorang tokoh agama yang memiliki pengaruh besar dan menjabat sebagai utusan khusus presiden, tindakan Gus Miftah dinilai tidak hanya melukai perasaan individu yang merasa direndahkan, tetapi juga melanggar prinsip etika yang seharusnya dijunjung tinggi oleh seorang mubaligh.

BACA JUGA: Tantangan Besar Petugas Kebersihan di Jepara

Permintaan maafnya, yang terkesan kurang tulus dan lebih formalitas, justru semakin memicu ketidakpuasan masyarakat. Sikap yang terkesan memaksa ini mencerminkan kurangnya empati terhadap korban dan kegagalan memberikan contoh baik sebagai figur publik.

Di era digital, di mana setiap ucapan dan tindakan figur publik dapat dengan mudah direkam dan viral, keseimbangan antara spontanitas dan sensitivitas menjadi hal yang sangat penting.

Humor yang awalnya dimaksudkan Gus Miftah sebagai bagian dari penyampaian ringan dalam ceramahnya kini menuai kritik karena dianggap tidak menghormati profesi pedagang kecil, sebuah pekerjaan yang dekat dengan kehidupan masyarakat bawah.

Insiden ini membuka ruang diskusi tentang bagaimana seorang ulama dapat menyampaikan pesan yang tetap menghibur tanpa menyinggung kelompok tertentu.

BACA JUGA: Tarif Masuk Taman Nasional Karimunjawa Naik 100 Persen, Berlaku sejak 30 Oktober 2024

Sebagian masyarakat melihat tindakan Gus Miftah sebagai bagian dari gaya komunikasinya yang santai dan humoris, sebuah pendekatan yang sering ia gunakan untuk mendekatkan dakwah kepada masyarakat luas, termasuk generasi muda.

Gaya ini memang memiliki nilai positif, karena membantu menjembatani jarak antara agama dan kehidupan sehari-hari. Namun, humor yang menyerempet penghinaan terhadap profesi seseorang dinilai tidak etis, terutama ketika dilakukan di ruang publik.

Dalam konteks dakwah, seorang mubaligh memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga ucapan agar tidak menimbulkan kesalahpahaman atau melukai martabat orang lain.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), tokoh agama adalah individu yang memiliki ilmu, amal, dan akhlak sesuai dengan ajaran agama.

Sementara media sosial didefinisikan sebagai platform yang memungkinkan pengguna untuk berbagi informasi dan terlibat dalam jaringan sosial.

Media sosial kini telah menjadi fenomena yang mengubah cara kita berkomunikasi. Platform ini menawarkan peluang besar bagi para da’i untuk berdakwah kepada audiens yang luas dan beragam. Namun, media sosial juga memiliki sisi negatif, seperti memicu diskusi tidak sehat dan menyebarkan kebencian.

Dalam konteks ini, Gus Fahrur dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengatakan bahwa candaan Gus Miftah adalah bentuk humor yang kepleset lidah dan disalahpahami akibat konteks ceramah yang dipotong dalam video viral tersebut.

Gus Fahrur mengajak masyarakat untuk tidak terprovokasi dan mengambil hikmah dari insiden ini. Namun demikian, peristiwa ini menjadi pengingat bahwa dakwah di media sosial harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak memprovokasi atau merendahkan individu maupun kelompok tertentu.

Dengan demikian, penting bagi Gus Miftah dan tokoh agama lain untuk mengambil pelajaran dari insiden ini. Setiap ucapan dan tindakan mereka akan selalu diperhatikan, terutama di era digital.

Sebaliknya, masyarakat juga perlu bijak dalam menyikapi potongan video viral, mengingat konteks yang tidak utuh dapat memperbesar masalah. Kritik yang konstruktif tentu lebih baik dibandingkan dengan kecaman berlebihan.

Peristiwa tersebut seharusnya menjadi pengingat bersama akan pentingnya menjaga etika komunikasi, terutama di ruang publik. Humor memang dapat menjadi bagian dari dakwah, namun harus tetap dalam batasan etika agar tidak melukai pihak lain.

Dakwah yang santun, penuh hikmah, dan menghormati martabat setiap individu akan selalu diterima masyarakat. Semoga kejadian ini menjadi pelajaran berharga, baik bagi Gus Miftah maupun tokoh publik lainnya, untuk menjaga tanggung jawab moral di hadapan masyarakat luas.

Arina Fauzia, Mahasiswa Komunikasi Penyiaran Islam Unisnu Jepara, Sekretaris PMII Rayon Komunikasi dan Desain

Related posts

Model Kepemimpinan Transformasional dalam Pendidikan Tinggi Islam: Refleksi atas Kontribusi Dr. H. Sa’dullah Assa’idi

Terpaut dalam Jiwa Kurban: Menggugah Kesadaran Pengorbanan di Era Serba Instan

Makna Qurban dalam Membangun Karakter Umat dan Peradaban