Refleksi Perjuangan Gus Dur Memajukan Hak Disabilitas dan Kebebasan Beragama di Indonesia

Oleh: Dr. Muh Khamdan

Lima belas tahun telah berlalu sejak wafatnya KH Abdurrahman Wahid, atau Gus Dur, pada 30 Desember 2009. Namun, warisan perjuangannya dalam membela hak-hak disabilitas dan kebebasan beragama tetap relevan dan menjadi landasan bagi pembangunan ekosistem hak asasi manusia (HAM) di Indonesia. Gus Dur tidak hanya seorang pemimpin bangsa, tetapi juga seorang pembela kemanusiaan yang konsisten melawan diskriminasi dan ketidakadilan, terlepas dari identitas, agama, atau kondisi fisik seseorang.

Sebagai seorang tunanetra, Gus Dur memahami langsung tantangan yang dihadapi penyandang disabilitas. Pengalaman pribadinya ini membentuk perspektifnya yang inklusif terhadap hak disabilitas di Indonesia. Selama masa kepemimpinannya sebagai presiden, Gus Dur tidak hanya membuka ruang bagi penyandang disabilitas untuk berkontribusi dalam kehidupan sosial dan politik, tetapi juga mendorong kebijakan yang lebih ramah disabilitas.

Pendirian organisasi seperti Perhimpunan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) yang didukung Gus Dur, menunjukkan komitmennya terhadap pemberdayaan kelompok ini. Gusdur percaya bahwa disabilitas bukanlah penghalang bagi seseorang untuk berkontribusi dalam membangun bangsa.

Namun, tantangan masih ada. Data menunjukkan bahwa akses penyandang disabilitas terhadap pendidikan, pekerjaan, dan fasilitas publik masih terbatas. Untuk melanjutkan perjuangan Gus Dur, diperlukan kebijakan yang memastikan aksesibilitas, inklusi sosial, dan penghormatan terhadap hak penyandang disabilitas.

BACA JUGA: Pelantikan Kepala Daerah Terpilih dalam  Pilkada 2024 Idealnya Setelah 13 Maret 2025, Ini Alasannya

Pemerintah harus memperkuat implementasi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, termasuk pengawasan terhadap pemenuhan kuota tenaga kerja disabilitas di sektor publik dan swasta. Penyandang disabilitas di Indonesia, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2023, mencakup sekitar 9% dari populasi atau lebih dari 23 juta jiwa. Di tingkat daerah, sejumlah peraturan daerah (Perda) disabilitas telah dibuat. Namun, implementasi banyak Perda tersebut terhambat sehingga dinilai mandul atau tidak efektif.

Gus Dur adalah salah satu tokoh yang paling vokal dalam membela kebebasan beragama di Indonesia. Ia berpendapat bahwa hak beragama adalah bagian tak terpisahkan dari HAM. Dalam banyak kesempatan, Gus Dur berdiri di garda terdepan membela kelompok minoritas agama, seperti Ahmadiyah, Syiah, dan Tionghoa. Ia juga menjadi presiden yang mencabut larangan perayaan Imlek di ruang publik, sebuah langkah besar dalam pengakuan keberagaman budaya dan agama di Indonesia.

Sikap Gus Dur yang berani ini sering kali mendapat kritik, tetapi ia tetap konsisten. Baginya, negara tidak boleh menjadi alat diskriminasi. Gus Dur percaya bahwa pluralisme adalah kekuatan, bukan ancaman, dan harus dilindungi oleh hukum dan kebijakan.

Sayangnya, intoleransi masih menjadi tantangan besar. Data dari Setara Institute menunjukkan peningkatan kasus pelanggaran kebebasan beragama dalam beberapa tahun terakhir. Untuk menghormati warisan Gus Dur, pemerintah harus memperkuat upaya melawan intoleransi melalui penegakan hukum yang adil, pendidikan multikultural, dan penguatan dialog antaragama.

Warisan Gus Dur mengajarkan kita bahwa HAM bukan sekadar jargon, tetapi harus diwujudkan dalam kebijakan nyata. Untuk memajukan ekosistem HAM di Indonesia, sejumlah langkah krusial mesti dilakukan, yaitu penguatan kebijakan inklusif. Pemerintah harus memastikan bahwa setiap kebijakan pembangunan mempertimbangkan hak kelompok marginal, termasuk penyandang disabilitas dan kelompok agama minoritas.

BACA JUGA: Dua Pospam hingga Dua Posyan Didirikan, Amankan dan Layani Saat Nataru di Jepara

Penyadaran terhadap perlindungan sekaligus pemenuhan hak bagi kelompok disabilitas dan kelompok rentan membutuhkan edukasi HAM sejak dini. Menanamkan nilai-nilai HAM, toleransi, dan inklusivitas dalam kurikulum pendidikan adalah langkah penting untuk membangun generasi yang lebih menghargai keberagaman. Pada posisi ini, dibutuhkan adanya kolaborasi dan kerjasama multisektor antara pemerintah, masyarakat sipil, dan sektor swasta untuk bekerjasama membangun budaya yang menghormati HAM.

Refleksi atas perjuangan Gus Dur memberikan kita pelajaran bahwa membela hak-hak asasi manusia bukan hanya tugas pemerintah, tetapi juga tanggung jawab kolektif sebagai warga bangsa.

Dalam konteks geopolitik yang semakin kompleks, Indonesia harus menjadi teladan dalam membangun ekosistem HAM yang inklusif dan adil. Gus Dur pernah berkata, “Agama tidak bertujuan untuk memenjarakan manusia, tetapi untuk membebaskan mereka.” Kalimat ini adalah pengingat bahwa perjuangan untuk hak disabilitas dan kebebasan beragama bukanlah sekadar tugas formal, melainkan panggilan moral yang harus terus dilanjutkan.

Dalam memperingati 15 tahun wafatnya Gus Dur, mari kita melanjutkan perjuangannya dengan menjadikan HAM sebagai fondasi utama dalam pembangunan bangsa. Gus Dur telah memberikan kita inspirasi, kini saatnya kita bertindak.

Dr. Muh Khamdan, Doktor Studi Agama dan Perdamaian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Widyaiswara Badiklat Kumham Jawa Tengah, dan Instruktur Nasional Moderasi Beragama

Related posts

Model Kepemimpinan Transformasional dalam Pendidikan Tinggi Islam: Refleksi atas Kontribusi Dr. H. Sa’dullah Assa’idi

Terpaut dalam Jiwa Kurban: Menggugah Kesadaran Pengorbanan di Era Serba Instan

Makna Qurban dalam Membangun Karakter Umat dan Peradaban