Oleh: Zulfa Zuroida*
KH. Musthofa Kamal lahir di Jepara pada tanggal 16 September 1967. Beliau adalah anak ketiga dari enam bersaudara dari pasangan H. Ali Masykur dan Hj. Maslahah. Sejak kecil, beliau dikenal sebagai pribadi yang tekun dan bersemangat dalam menuntut ilmu agama.
Pendidikan formal dan agamanya dimulai di Madrasah Ibtidaiyah (MI) Matholiul Huda Bugel. Kemudian, beliau melanjutkan pendidikan ke Pondok Pesantren Al Fattah di Kudus, Matholiul Falah di Kajen, dan terakhir di Pondok Pesantren Darul Falah, Bareng, Jekulo, Kudus.
Setelah menamatkan pendidikannya, beliau mendedikasikan dirinya untuk mengabdi di Madrasah Diniyah 01 Troso dan mengajar di Madrasah Aliyah Matholiul Huda Troso.
BACA JUGA: Ngaji Bersama Gus Ghofur, Santri dari Penjuru Jepara Penuhi Gedung MWCNU Kedung
Pada tanggal 17 April 1993, KH. Musthofa Kamal menikah dengan Nyai Hj. Ulul Faizah. Kehidupan sederhana dan mandiri ditunjukkan beliau dengan berjualan sembako dari tahun 1995 hingga 2002. Namun, semangatnya dalam pendidikan dan dakwah tetap menjadi prioritas.
Pada akhir tahun 2006, tepatnya bulan Desember, KH. Musthofa Kamal mendirikan Pondok Pesantren Baitul Qur’an. Pesantren ini menjadi salah satu warisan berharga beliau dalam membangun generasi yang berakhlak mulia dan berilmu agama.
KH. Musthofa Kamal
Seiring berjalannya waktu, pahit manis kehidupan telah beliau lalui tanpa mengeluh. Betapa gigihnya beliau dalam mengajar dan mendidik para santrinya agar bisa menjadi seseorang yang bisa bermanfaat di masyarakat nantinya. Dengan penuh kesabaran dan ketekunan, beliau tuntun para santri hingga memperoleh ilmu dengan sanad keilmuan yang jelas.
BACA JUGA: Haul ke 9 KH. Miftah Abu, Berikut Biografinya
KH. Musthofa Kamal wafat pada tanggal 26 Februari 2022. Kepergiannya meninggalkan kenangan yang mendalam bagi keluarga, murid, dan masyarakat yang merasakan manfaat dari ilmu dan perjuangannya.
Kehidupannya yang penuh pengabdian menjadi teladan bagi banyak orang, terutama dalam dunia pendidikan Islam dan pengabdian kepada masyarakat.
Terkadang seseorang memang harus menjalani kehidupan yang tidak ia senangi. Tetapi justru disitulah seseorang itu dapat merasakan hidup yang sesungguhnya.
Perihal berbagi dan memberi itu tidak hanya berupa materi. Tenaga, kontribusi, pengalaman, dan bahkan ilmu pun dapat dibagikan dan diberikan.
*Zulfa Zuroida, Mahasiswa KPI Unisnu Jepara