Relasi Spiritual Walisongo dan Ratu Kalinyamat

Oleh : M. Ali Burhan

Ratu Kalinyamat dalam catatan sejarah yang masyhur memimpin Jepara mulai tahun 1549 M sampai wafatnya tahun 1579. Dalam kepemimpinannya, Ratu Kalinyamat membawa Jepara ke puncak kejayaannya dengan menjadi negeri terdepan dalam melawan Penjajah Portugis. Tercatat sebanyak empat kali, Kapal-kapal Jong Jepara menyeberangi samudra untuk menggempur Portugis di Malaka dan Ambon.

Keagungan dan keperkasaan Jepara dibawah Ratu Kalinyamat dicatat Portugis dan memberinya gelar Rainha De Japora, Senora Poderosa e Rica, sedangkan Vlekke mengungkapkan bahwa Jepara merupakan musuh paling berbahaya bagi Portugis selama tiga perempat abad ke-16 (Nusantara, Sejarah Indonesia, Bernard H.M. Vlekke. PT. Gramedia. 2010. hlm. 108).

Ini adalah kilasan singkat tentang prestasi Ratu Kalinyamat yang tidak akan kita ulas secara mendalam pada tulisan ini, tulisan ini akan lebih mendalami latarbelakang spiritual Ratu Kalinyamat.

Tidak banyak atau mungkin belum ditemukan manuskrip-manuskrip yang menceritakan spiritual Ratu Kalinyamat secara spesifik, maka yang bisa dibaca dari sosok pribadi Sang Ratu ini adalah bagaimana kita membaca dan memahami jiwa zaman atau “zeitgeist”. Dalam kajian Sejarah dan budaya, “Zeitgeist” (dari bahasa Jerman: Zeit = waktu, Geist = jiwa) adalah istilah yang merujuk pada semangat atau pemikiran yang mendominasi suatu periode tertentu, mencerminkan nilai-nilai, ideologi, dan keyakinan yang umum pada masa itu. Maka dari itu, memahami dan mengkaji spiritual Ratu Kalinyamat, harus dilakukan dengan cara mengkaji dan memahami spiritual masyarakat saat itu, yakni era Walisongo. Penulis akan fokus pada tema ini.

BACA JUGA: Ratu Kalinyamat : Perempuan Muslimah Anti Kolonialisme 1549-1579

Bagaimana Spiritual Walisongo dan relasinya dengan Ratu Kalinyamat? Babad Pajang menuturkan bahwa sejak awal didirikan, Demak Bintoro dipimpin oleh tiga Ratu; yaitu Rojo Pandito yang dipegang oleh Sunan Bonang dan setelah wafatnya (1523) digantikan oleh Sunan Drajat, Ratu Tunggal yang dipegang oleh Sunan Giri dan setelah wafatnya (1514) digantikan oleh putranya, Sunan Giri II, dan Wakil Ratu yang diduduki oleh Raden Fatah dan setelah wafatnya (1618) digantikan oleh Adipati Unus dan kemudian Sultan Trenggono (1523). (Babad Pajang, alih bahasa Moelyono Sastronaryatmo, hlm. 9 dan 72) Setelah Sultan trenggono wafat kemudian digantikan oleh putranya Sultan Hadi Mukmin (1546 1549).

Sistem pemerintahan Tiga Ratu ini menegaskan bahwa peran Walisongo sangat penting, terstruktur, dan sistematis di masa Demak. Relasi para Raja Demak dengan Walisongo, bukan sekedar relasi Guru dan Cantrik/Santri, tetapi juga relasi politik yang terstruktur dan relasi Sufistik dalam pengajaran Tarekat.

Dalam hal pemerintahan, semua kebijakan politik dari para Sultan Demak Bintoro adalah berdasarkan keputusan Dewan Walisongo, tidak terkecuali visi maritim Demak dan gerakan pengusiran Portugis dari Nusantara.

Di sisi yang lain para Sultan Demak Bintoro dan juga kerabatnya, semuanya mengenyam pendidikan dari para wali. Jadi, para Sultan Demak Bintoro itu adalah ksatria dan Srikandi yang memiliki pengetahuan agama Islam dengan sangat baik dan piawai dalam hal urusan negara. (Sunan Prawoto, Penjaga Visi Politik Maritim Kesultanan Demak Bintara, Ali Ramdhani. Linus. 2021. hlm. 55)

BACA JUGA: Nur Hidayat Ajak Masyarakat Jepara, Ngugemi Nilai-Nilai dan Perjuangan Ratu Kalinyamat

Iya, anak-anak Raja Kesultanan Demak Bintoro – sebelum mereka meneruskan kedudukan sang ayah – dikirim untuk belajar di pusat pusat studi keislaman yang bernama Pesantren di bawah pengawasan para wali kala itu. Pesantren adalah satu-satunya lembaga pendidikan yang mengajarkan ilmu pengetahuan dan menjalankan proses pengkaderan (Ibid. hlm. 57).

Ratu Kalinyamat sebagai putri Raja, mendapatkan pendidikan khusus dari para guru yang didatangkan ke Istana maupun dia sendiri mendatangi sang guru tersebut. Pada masa kecil Sanga Ratu, Sunan yang hidup disekitar Istana adalah Sunan Kudus dan Sunan Kalijaga, jadi sangat mungkin kedua Sunan ini menjadi Guru Sang Ratu.

Para wali pengasuh Pesantren adalah pengajar agama Islam yang menguasai ilmu-ilmu agama penguasaan mereka tidak terbatas pada ilmu syariat tetapi juga ilmu tarekat sampai pada level hakikat, ilmu sosial kemasyarakatan, hingga politik dan tata negara bila mewarisi dan meneruskan tradisi keilmuan dari para gurunya maka bisa dipastikan para Raja Demak Bintoro selain seorang alim dan juga negarawan dia juga sekaligus sebagai guru ilmu tarekat dan hakikat. (Ibid. hlm. 57-58)

Peranan sufisme dalam proses penyebaran Islam terlihat jejaknya dari lahirnya sastra-sastra sufistik pasca- Wali Songo yang ditulis dalam bentuk tembang, kidung, syair, dan hikayat seperti Serat Sastra Gending karya Sultan Agung, Syair Perahu karya Hamzah Fansuri, Syair Ma’rifah karya Abdul Rauf Sinkel, Suluk Syaikh Malaya, Suluk Linglung, Suluk Malang Sumirang, Suluk Lebe Lontang, Suluk Jalma Luwih, Suluk Sujinah, Suluk Sukarsa, Serat Dewaruci, Serat Cabolek, Serat Wirid, Serat Jati Murti, Serat Niti Mani, Serat Centhini, Suluk Suksma Lelana, dan sebagainya.

BACA JUGA: Ratu Kalinyamat dan Pusat Studi Tokoh Jepara

Selain bukti naskah-naskah sufistik, peranan penting ajaran sufisme dalam proses dakwah Islam era Wali Songo ditandai oleh keberadaan sejumlah tarekat (thariqah) yang diamalkan masyarakat sampai saat ini, seperti Tarekat Syathariyah dan Akmaliyah yang dinisbatkan kepada ajaran tokoh-tokoh Wali Songo seperti Sunan Gunung Jati, Sunan Giri, Sunan Kalijaga, dan Syaikh Siti Jenar. (Atlas Walisongo, Agus Sunyoto, Pustaka Iman, 2017 hlm. 162)

Lepas dari keberpihakan para sufi dalam menilai dakwah Islam melalui jalan asimilasi dengan ajaran-ajaran pra- Islam di Jawa, yang pasti jejak dakwah Islam melalui jalan tasawuf menunjukkan bekas yang terang dan tidak mudah dihapus. Masuknya sufisme ke Nusantara—sebagaimana ditengarai James Peacock—dengan segera memang diserap ke dalam sinkretisme Jawa. Dalam proses penyerapan itu, sufisme mengalami asimilasi dengan ajaran Kapitayan dan Hindu- Buddha. (Ibid, hlm. 418)

Selain hierarki politik dalam pemerintahan, relasi Raja-Raja Demak dan Wali Songo adalah relasi guru dan murid. Ratu Kalinyamat yang hidup satu masa dengan dewan Walisongo bisa dipastikan merupakan murid dari para Wali ini, dan visi negeri maritim yang tertanam dalam dirinya merupakan hasil didikan dari para Wali.

Bagaimana dengan Topo Wudo Sinjang Rikmo? Menurut penulis, Topo Wudo yang disematkan kepada Ratu Kalinyamat memiliki dua perspektif ;

Pertama, Peristiwa Topo Wudo adalah kabar palsu yang sengaja ditulis di babad oleh kepentingan politik pedalaman untuk menghitamkan Ratu Kalinyamat agar tidak menjadi simbol kebanggaan dan perlawanan masyarakat pesisir. Disisi lain, Koentjaraningrat (1984) mengutip dari J. Knebel dalam karangannya mengenai kisah Darmakusuma, murid seorang wali pada abad ke-16 yang menjelaskan macam-macam cara bertapa, yaitu : 1). Tapa Ngalong, 2). Tapa Ngruwat, 3). Tapa Bisu, 4). Tapa Bolot, 5). Tapa Ngidang, 6). Tapa Ngramban, 7). Tapa Ngambang, 8). Tapa Ngeli, 9). Tapa Tilem, 10). Tapa Mutih, dan 11). Tapa Mangan.

Dari sebelas jenis tapabrata dalam budaya Jawa, tidak ada tapa wuda seperti yang dilakukan Ratu Kalinyamat. Seseorang dalam melakukan ritual akan mengikuti tradisi yang sudah lazim berlaku dalam masyarakat. Jika demikian maka tapa wuda dalam kisah Ratu Kalinyamat bukan merupakan cara ritual orang Jawa untuk mengatasi kesulitan hidup. (Laporan Hasil penelitian empiris Ratu Kalinyamat Perempuan perintis antikolonialisme 1549-1579. Yayasan Darma Bakti Lestari. 2021. hlm. 49). Begitu juga Islam, sebagai agama yang dianut Ratu Kalinyamat, sebagaimana diajarkan oleh para Wali, tidak mungkin membolehkan Tapa Wudo.

Kedua, Tapa wuda merupakan makna simbolik keikhlasan Ratu Kalinyamat untuk meninggalkan kemewahan duniawi yang didorong oleh penyerahan total kepada Tuhan Yang Maha Kuasa (Ibid, hlm. 49). Merujuk pada makna diatas, penulis berpendapat bahwa peristiwa spiritual seperti ini lebih cocok sebagai janji/sumpah setia atau bai’at daripada pelarian dari sakit hati atau dendam. Bai’at yang dimaksud adalah bai’at ketika naik tahta Jepara menggantikan suaminya, Kanjeng Sunan Hadhirin.

Hal ini berdasarkan pada besar dan padatnya peristiwa-peristiwa yang terjadi di tahun-tahun pra maupun pasca 1549 M. Perang dingin antara Portugis dan Demak terjadi mulai tahun 1522, sehingga di pertengahan awal tahun 1540-1550-an, Sultan Trenggono telah mempersiapkan diri untuk menyerang Portugis di Malaka, Kapal-kapal Jawa diproduksi secara besar-besaran. Namun hal ini gagal karena beliau wafat (1546), kemudian misi ini diteruskan oleh Sunan Prawoto. Tahun 1547, Sultan Alaudin Syah dari Aceh memblokade pengiriman bahan pangan ke Malaka yang kemudian ini juga dilakukan oleh Demak.

Tahun 1548, Portugis mengirim utusannya agar Sunan Prawoto membatalkan blokade tersebut, namun di tolak. Tahun 1549, Sunan Prawoto dan Sultan Hadirin wafat. Untuk melanjutkan misi besar mengusir Portugis dari Malaka, Ratu Kalinyamat berbai’at/berjanji untuk meninggalkan kemewahan dunia dan berpasrah kepada Allah (Tapa Wudo). Tahun 1550 Pasukan diberangkatkan dan tahun 1551, pasukan Jepara dengan gagah berani menggempur Portugis di Malaka. (Wallu A’lam)

Muhammad Ali Burhan, Pengurus PC LESBUMI NU Jepara

Related posts

Model Kepemimpinan Transformasional dalam Pendidikan Tinggi Islam: Refleksi atas Kontribusi Dr. H. Sa’dullah Assa’idi

Terpaut dalam Jiwa Kurban: Menggugah Kesadaran Pengorbanan di Era Serba Instan

Makna Qurban dalam Membangun Karakter Umat dan Peradaban