Oleh: Dr. Muh Khamdan
Dalam dinamika pemerintahan lokal, jarak antara pembuat kebijakan dan warga desa seringkali menjadi kendala utama dalam menyusun perencanaan pembangunan yang tepat sasaran. Maka ketika Bupati Jepara menginisiasi program berkantor secara berkala di desa-desa dari 16 kecamatan, langkah ini patut diapresiasi sebagai lompatan besar dalam membangun komunikasi publik yang partisipatif sekaligus memperkuat legitimasi kebijakan dari bawah.
Model “turun gunung” ini bukan sekadar simbolis atau basa-basi blusukan politik. Ia merepresentasikan strategi komunikasi langsung yang menyentuh akar rumput. Menyapa masyarakat bukan lewat podium, tetapi lewat dialog terbuka di rumah mereka sendiri, di desa. Ini adalah bentuk pendekatan komunikasi horizontal, bukan vertikal, yang semakin relevan di era keterbukaan informasi seperti sekarang.
Dalam perspektif komunikasi publik, kehadiran langsung seorang kepala daerah di desa menciptakan ruang dialog tanpa sekat. Masyarakat tidak perlu lagi melewati rantai birokrasi berlapis untuk menyuarakan keluhan atau usulan. Ini memperpendek jalur komunikasi dan memotong potensi distorsi informasi yang sering terjadi saat pesan warga dinaikkan secara bertingkat.
BACA JUGA: PLN UIK Tanjung Jati B dan Pokdakan Sido Maju II Kembangkan Rumah Bibit Mangrove: Solusi Hijau untuk Konservasi dan Ekonomi Masyarakat
Langkah pertama yang direncanakan dimulai dari Desa Sumberejo di Kecamatan Donorojo, kawasan pegunungan dengan basis pertanian dan kehutanan. Di desa seperti ini, tantangan klasik seperti akses infrastruktur, air bersih, pasar tani, hingga layanan kesehatan masih menjadi pekerjaan rumah. Dengan berkantor langsung di sana, Bupati tak hanya melihat data di atas kertas, tetapi merasakan denyut realitas di lapangan.
Dari Donorojo, rute ini akan berlanjut ke desa-desa seperti Banyuputih (Kalinyamatan), Kunir (Keling), Bungu (Mayong), Kaliaman (Kembang), Ngetuk (Nalumsari), hingga Karimunjawa yang secara geografis terpisah dari daratan utama.
Setiap lokasi memiliki karakter dan permasalahan khas. Mulai dari pertanian dataran rendah, industri kecil, konflik agraria, hingga isu pariwisata dan kelestarian lingkungan di pulau-pulau.
Model seperti ini memberikan keuntungan besar dalam penyusunan kebijakan berbasis bukti (evidence-based policy). Ketika kepala daerah menjadi pendengar aktif dan bukan sekadar pengarah, maka proses formulasi kebijakan menjadi lebih responsif dan grounded. Data lapangan yang diperoleh secara langsung akan memperkaya dimensi analisis dan menghindarkan kebijakan dari asumsi kosong atau bias elit.
Dr. Muh Khamdan
Secara politis, pola berkantor di desa ini juga memperkuat akuntabilitas publik. Ketika pemimpin hadir secara rutin dan membuka ruang tanya-jawab langsung, masyarakat memiliki kesempatan untuk menagih janji, mengevaluasi program, sekaligus berpartisipasi dalam penyusunan prioritas pembangunan. Demokrasi lokal tidak lagi berhenti di TPS, tapi berlanjut ke balai desa.
Dari sisi pembangunan, kebijakan ini berpotensi menciptakan akselerasi pembangunan desa secara lebih merata. Desa yang dikunjungi bupati tentu akan menjadi pusat perhatian sementara. Tapi yang lebih penting adalah efek reputasi dan kompetisi sehat antardesa: mereka akan berlomba menyiapkan data, mengidentifikasi masalah, bahkan menyusun proposal konkret sebelum kunjungan kepala daerah.
Namun, tentu saja program ini perlu dipastikan tidak sekadar seremonial. Harus ada sistem dokumentasi, tindak lanjut, dan monitoring atas setiap masukan warga. Kegiatan mendengar harus berbuah pada kebijakan nyata, bukan berhenti sebagai liputan media semata. Untuk itu, setiap kunjungan harus dibarengi dengan tim teknis yang mampu mencatat, menganalisis, dan merumuskan rekomendasi kebijakan.
BACA JUGA: Jepara Gaspol Jadi Destinasi Investasi, Mas Wiwit Siapkan Pelabuhan di Balong
Pendekatan semacam ini sekaligus memperkuat fungsi perencanaan partisipatif dalam pembangunan desa. Dengan bupati turun langsung, maka prinsip bottom-up planning mendapat penguatan. Perencanaan tidak lagi dimulai dari kantor kabupaten, melainkan dari obrolan warung kopi, pos ronda, dan forum warga desa.
Kehadiran kepala daerah juga mampu menjadi katalisator solidaritas sosial dan gotong royong. Masyarakat merasa dihargai dan dilibatkan, bukan hanya sebagai objek pembangunan tetapi sebagai subjek aktif. Dalam jangka panjang, ini akan memperkuat kepercayaan publik pada institusi pemerintahan lokal, yang seringkali luntur akibat birokrasi yang dianggap lamban dan jauh.
Program ini juga bisa dimaknai sebagai bentuk kepemimpinan yang inklusif. Dalam era ketika banyak pemimpin terjebak dalam zona nyaman kantor ber-AC dan laporan di atas meja, Bupati Jepara justru memilih mendatangi langsung warga yang mungkin selama ini hanya bisa menyampaikan keluhan lewat Lurah atau Camat.
Secara lebih luas, langkah ini seharusnya bisa menjadi model nasional. Banyak kepala daerah lain yang bisa meniru pola ini dengan menyesuaikan konteks wilayah masing-masing. Bahwa komunikasi publik yang efektif harus dibangun di tengah masyarakat, bukan hanya lewat siaran pers atau baliho-baliho besar yang tidak menyapa.
Pada akhirnya, rakyat membutuhkan kehadiran, bukan hanya pencitraan. Mereka butuh pemimpin yang hadir, mendengar, dan bertindak. Dan jika Jepara bisa memulainya dari desa ke desa, maka bisa jadi ini adalah narasi baru tentang pemerintahan yang membumi dan berpihak.
Karena sejatinya, desa bukan pinggiran. Ia adalah pusat dari wajah Indonesia yang sesungguhnya.
Dr. Muh Khamdan, Doktor Studi Agama dan Perdamaian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; LTN NU MWCNU Nalumsari