RA Kartini dan Dimensi Spiritualitas

Raden Ajeng Kartini dikenal sebagai simbol emansipasi perempuan Indonesia. Namun di balik semangat perjuangannya yang lekat dengan nilai-nilai modern dan pendidikan, tersimpan kisah spiritual yang mendalam.

Tak banyak yang tahu, semangat “Habis gelap terbitlah terang” yang terkenal itu sejatinya lahir dari pemahaman Kartini terhadap nilai-nilai Islam, khususnya dari ayat 257 Surat Al-Baqarah: “Allah mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya.”

Kisah ini bermula dari rasa haus Kartini akan ilmu, termasuk dalam memahami kitab suci. Pada masa itu, Al-Qur’an hanya diajarkan dalam bahasa Arab tanpa terjemahan, membuat banyak orang Jawa, terutama perempuan, kesulitan memahami makna ayat-ayat suci.

BACA JUGA: Ratu Kalinyamat: Sang Penguasa Perempuan Abad XVI

Kartini merasa gelisah karena tidak bisa memahami langsung ajaran agamanya sendiri. Situasi ini berubah saat ia mengikuti sebuah pengajian di rumah pamannya di Demak.

Dalam pengajian itu, Kartini mendengarkan KH Sholeh Darat, ulama besar dari Semarang, yang menyampaikan tafsir Surat Al-Fatihah dalam bahasa Jawa. Penyampaian sang kiai begitu terang dan menyentuh hati Kartini. Ia akhirnya memberanikan diri untuk meminta KH Sholeh Darat menerjemahkan Al-Qur’an agar bisa dipahami masyarakat awam.

Permintaan itu tidak main-main. Pada masa itu, menerjemahkan Al-Qur’an ke bahasa lokal dianggap kontroversial. Namun Kartini meyakinkan KH Sholeh Darat bahwa ini demi kebaikan umat, khususnya kaum perempuan yang butuh pencerahan melalui pemahaman agama yang benar.

KH Sholeh Darat pun menyanggupi, dan mulai menyusun tafsir berbahasa Jawa dalam aksara Arab Pegon, yang diberi judul Faidhur Rahman. Kitab tafsir ini kemudian diberikan kepada Kartini sebagai hadiah pernikahan—sebuah kado istimewa yang tak ternilai harganya.

Setelah mempelajari tafsir itu, pandangan Kartini berubah. Dalam suratnya kepada Ny. Abendanon pada 27 Oktober 1902, Kartini menulis bahwa ia tidak lagi menganggap Eropa sebagai peradaban tertinggi. Ia bahkan menolak menjadikan murid-muridnya sebagai “orang Jawa kebarat-baratan.”

BACA JUGA: Dibangun Secara Gotong Royong, Gedung Wisma Pergerakan IKA PMII Cabang Jepara Diresmikan

Sebaliknya, ia mulai melihat Islam sebagai agama yang luhur, menjunjung tinggi akhlak, ilmu pengetahuan, dan derajat perempuan.

Kartini bukan hanya pejuang hak perempuan, tetapi juga pencari kebenaran yang tulus. Ia tidak serta merta mengadopsi ide-ide Barat, melainkan mencari jalan yang sesuai dengan akar budaya dan keyakinannya. Perjumpaannya dengan KH Sholeh Darat membuktikan bahwa kebangkitan perempuan bukan berarti meninggalkan agama, tetapi justru bisa tumbuh dari pemahaman agama yang benar.

Melalui kisah ini, kita diingatkan bahwa perjuangan Kartini memiliki dimensi spiritual yang kuat. Ia bukan hanya simbol modernitas, tapi juga sosok santri yang haus ilmu dan ingin agar umat Islam, terutama perempuan, dapat membaca dan memahami Al-Qur’an dengan baik. (KA)

Related posts

Hari Pendidikan Nasional: Ironi  Ganti Menteri Ganti Kurikulum

Hari Buruh: Sudahkah Buruh di Jepara Sejahtera?

Saling Memaafkan