Jepara, Mata Rantai yang Hilang di Jalur Laut Pantura

Oleh: Muh Khamdan

Pantura Jawa dikenal sebagai salah satu jalur paling sibuk di Indonesia. Jalan daratnya padat oleh truk dan kontainer. Namun, jalur lautnya justru belum optimal menghubungkan kawasan industri dengan pulau-pulau besar lain di Nusantara. Dalam konteks ini, Jepara bisa menjadi simpul penting yang selama ini absen.

Wacana pembangunan Pelabuhan Jepara 2025 kembali disuarakan Bupati Jepara, Witiarso Utomo. Momen ini seharusnya menjadi kesempatan emas untuk mengisi celah logistik di jalur laut utara Jawa yang selama ini kurang terdistribusi. Jepara tak perlu menjadi pelabuhan besar, tetapi cukup menjadi pengumpan yang gesit dan efisien.

Jepara memiliki potensi strategis sebagai feeder port atau pelabuhan pengumpan untuk melayani pergerakan logistik antar pulau dari Kalimantan, Sulawesi, Sumatera, hingga Bali. Geografisnya yang berada di tengah-tengah Laut Jawa memberikan keuntungan jarak tempuh yang kompetitif dibanding pelabuhan besar seperti Tanjung Priok atau Tanjung Perak.

Dalam konteks bisnis pelayaran, pelabuhan seperti Jepara justru berperan krusial. Ia bisa melayani distribusi muatan kontainer kecil dan barang campuran (LCL) dari pelaku UMKM dan industri menengah. Ini jenis barang yang seringkali tersisih dari pelabuhan utama karena kalah bersaing dengan logistik skala besar.

BACA JUGA : Tarif Masuk Taman Nasional Karimunjawa Naik 100 Persen, Berlaku sejak 30 Oktober 2024

Wacana pembentukan kawasan industri di sekitar Jepara, seperti Kalingga Industrial Zone, sejak lama menyimpan potensi ekspor non-migas, mulai dari furnitur jati, produk tekstil, hasil olahan laut, hingga komponen energi terbarukan lainnya. Sayangnya, konektivitas lautnya belum sebanding dengan produktivitas industrinya.

Gagalnya Pelabuhan Kendal menjadi pelajaran berharga. Dibangun mahal, tetapi tanpa kedalaman laut dan konektivitas memadai, membuat pelabuhan itu nyaris tak berfungsi sejak 2024. Kapal Motor Penyeberangan pun tak bisa bersandar. Padahal pelabuhan itu semula diharapkan bisa mengurai beban Tanjung Emas.

Jepara harus menghindari jebakan serupa. Pelabuhan yang dibangun tidak boleh hanya sekadar monumen infrastruktur, tetapi harus terintegrasi dalam rantai nilai logistik nasional. Rancangannya harus mendukung sistem pelayaran antarpulau yang cepat, hemat biaya, dan adaptif terhadap skala industri lokal.

Salah satu keunggulan Jepara adalah adanya hubungan historis dagang dengan wilayah timur dan barat Indonesia. Aktivitas perkapalan tradisional dengan Kalimantan dan Sulawesi telah berlangsung lama. Kini, dengan pelabuhan modern, konektivitas itu bisa dihidupkan kembali secara terukur dan berbasis teknologi.

Pengembangan pelabuhan ini juga harus disertai dengan perencanaan intermodal, yaitu menghubungkan jalur laut dengan jaringan logistik darat dan kawasan industri. Saat ini, Jepara belum memiliki jalan nasional penghubung pelabuhan yang memadai. Ini harus menjadi prioritas pembangunan dalam lima tahun ke depan.

BACA JUGA: Monitoring Pencegahan Korupsi, Jepara Peringkat 23 Nasional

Dalam strategi bisnis pelabuhan, Jepara harus mengambil peran sebagai jembatan antara pelabuhan besar (hub) dan pelabuhan-pelabuhan kecil di luar Jawa. Dengan pengelolaan yang efisien dan biaya sandar yang rendah, pelabuhan ini bisa menjadi titik konsolidasi logistik untuk pengusaha menengah dan eksportir lokal.

Pembangunan pelabuhan yang sukses tidak hanya soal dermaga, tetapi juga soal ekosistemnya. Diperlukan fasilitas pendukung seperti depo kontainer, cold storage untuk hasil laut, sistem pelacakan digital, dan kemudahan kepabeanan. Jepara harus membangun ekosistem logistik yang ramah pengusaha dan efisien secara waktu.

Dengan 85 kilometer garis pantai, Jepara punya cukup ruang untuk membangun pelabuhan yang ramah lingkungan. Pemanfaatan energi surya, pengelolaan limbah kapal, serta perlindungan hutan mangrove harus menjadi bagian dari desain pelabuhan masa depan. Logistik hijau bukan sekadar tren, melainkan tuntutan global.

Momentum Hari Bumi pada 22 April seharusnya menjadi refleksi bahwa pembangunan pelabuhan tidak boleh lagi merusak ekosistem pesisir. Jepara justru bisa menjadi pelabuhan percontohan nasional, tentang bagaimana konektivitas laut dapat tumbuh seiring kelestarian laut.

Jika pemerintah daerah serius menyusun peta jalan pelabuhan, menggandeng investor pelayaran, dan membangun kolaborasi dengan industri, maka Pelabuhan Jepara bisa menjadi motor pertumbuhan baru di Pantura. Ia bukan pesaing pelabuhan besar, tetapi pelengkap yang sangat dibutuhkan.

Di tengah kebutuhan logistik nasional yang terus meningkat, dan tantangan konektivitas laut antar pulau yang belum selesai, Jepara bisa mengambil peran sebagai simpul pelayaran Nusantara. Bukan karena ambisi, tetapi karena posisi, potensi, dan kebutuhan nyata Indonesia timur dan barat untuk saling terhubung.

Muh Khamdan, Doktor Studi Agama dan Perdamaian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Analis Kebijakan Publik

Related posts

Model Kepemimpinan Transformasional dalam Pendidikan Tinggi Islam: Refleksi atas Kontribusi Dr. H. Sa’dullah Assa’idi

Terpaut dalam Jiwa Kurban: Menggugah Kesadaran Pengorbanan di Era Serba Instan

Makna Qurban dalam Membangun Karakter Umat dan Peradaban