SEMARANG | GISTARA. COM – Jepara dan Rembang bertemu bukan dalam pusaran rivalitas, melainkan dalam pelukan sejarah dan renungan masa depan. Landmark UIN Walisongo Semarang, Kampus 3, Selasa (22/4/2025) sore itu menjadi panggung dialog peradaban yang hangat. Dua komunitas mahasiswa daerah, Keluarga Mahasiswa Jepara Semarang (KMJS) dan Keluarga Mahasiswa Rembang Semarang (Kamaresa), menggelar diskusi reflektif memperingati Hari Kartini dengan cara yang tak biasa. Membedah gagasan sang Raden Ayu sebagai pencerah zaman, bukan sekadar simbol femininitas klasik.
Diskusi yang dimulai pukul 16.00 WIB itu tak hanya menjadi ruang intelektual tahunan, tetapi menjelma semacam revival meeting, pertemuan spiritual para pencari makna dari warisan Kartini. Suasana menjadi lebih syahdu ketika Dr. Muh Khamdan, tokoh asli Jepara yang kini menjadi widyaiswara Kementerian Hukum dan doktor studi perdamaian lulusan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, membuka diskusi dengan narasi historis yang menggugah.
“Masyarakat Jawa abad ke-18 hingga awal abad ke-19 mengalami tekanan luar biasa pasca Perang Diponegoro. Salah satu dampaknya adalah pemingitan perempuan,” ujar Khamdan dengan suara tenang namun menusuk.
BACA JUGA: RA Kartini dan Dimensi Spiritualitas
Ia menuturkan bagaimana kolonialisme Belanda menata ulang struktur sosial demi meredam potensi perlawanan. Perempuan, yang sebelumnya bagian dari laskar perang, kemudian dikurung secara simbolik dan fisik, yaitu dilarang sekolah, dibatasi akses sosial, bahkan dijadikan komoditas dalam sistem perkawinan feodal.
RA Kartini lahir pada 1879 di tengah reruntuhan itu. “Kartini bukan hanya saksi, ia adalah pembongkar,” tegas Khamdan. Diskusi pun mengalir pada bagaimana Kartini tidak sekadar menulis surat, tetapi membangun diplomasi intelektual dengan Eropa, melalui korespondensi yang penuh analisis tajam dan kritik sosial ke dalam bangsanya sendiri, termasuk terhadap dogma agama yang mematikan nalar kritis perempuan.
Yusrul Rizannul Muna, pemantik dari KMJS, mengangkat sisi spiritual Kartini yang kerap terlupakan. Ia menyitir surat Kartini kepada Stella di mana ia menuliskan kegelisahan atas doktrin agama yang mengerdilkan perempuan. “Kartini bukan anti-agama, ia justru menggugat tafsir tunggal dan dominasi patriarkis atas teks suci,” ujar Yusrul, yang juga tengah meneliti tafsir Qur’an aksara pegon versi Kartini.
BACA JUGA: Mengintip Museum RA Kartini Jepara: Jejak Sang Pahlawan Emansipasi Wanita
Sementara itu, Najih Fawaid dari Kamaresa menyoroti aspek pendidikan dengan menggambarkan keberadaan Sekolah Kartini di pendopo Kabupaten Rembang. Pada aspek lainnya, Khamdan menguraikan relasi ekonomi dan seni yang digarap Kartini. “Motif macan kurung bukan sekadar ukiran, tapi simbol perlawanan. Macan itu kekuatan perempuan yang sedang dikurung oleh sistem,” jelas Khamdan, disambut anggukan para peserta. Ia juga menyinggung peran Kartini dalam pengembangan destinasi wisata bahari dan sekolah perempuan pribumi yang menjadi fondasi pendidikan inklusif hari ini.
Tak kurang dari seratus peserta hadir, mewakili berbagai organisasi mahasiswa, pegiat literasi, seniman muda, hingga aktivis hak perempuan. Dalam diskusi dua jam itu, refleksi melesat ke banyak arah. Dari isu ketimpangan gender di dunia pesantren hingga ketidakadilan akses ekonomi bagi perempuan pesisir. Semua diramu dalam semangat “berani menjadi Kartini hari ini”.
Beberapa peserta mengaitkan surat-surat Kartini dengan persoalan global. Kartini yang membaca dan menulis dalam bahasa Belanda, Prancis, hingga sedikit Arab, menjadi simbol awal globalisasi pemikiran dari dunia pinggiran. Ia menulis tentang kebebasan berpikir, kesetaraan, bahkan perdamaian internasional, jauh sebelum bangsa ini merdeka. “Kartini adalah intelektual global dari desa, yang saat ini mesti menjadi spirit kala pelecehan seksual dan predator seksual telah mengancam banyak perempuan di ruang publik manapun” simpul Mu’tasim Billah, Presiden Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) UIN Walisongo periode 2025.
BACA JUGA: IKA PMII Jepara Gelar Khaul Gus Dur ke 15, Refleksikan Nilai-Nilai Keadilan Sosial
Dr. Khamdan menutup sesinya dengan menyebut Kartini sebagai “produsen wacana dekolonial” yang dimulai dari dapur rumah pingitan. “Ia melawan bukan dengan senjata, tetapi dengan pena dan pemikiran. Dan itu jauh lebih menakutkan bagi penjajah,” ucapnya penuh makna.
Diskusi ini bukan akhir. KMJS dan Kamaresa bersepakat untuk membuat serial kegiatan lanjutan berupa workshop tafsir Kartini, pameran motif ukir makna, dan penelusuran jejak wisata Kartini dari Jepara ke Rembang. “Kami ingin Kartini bukan hanya nama jalan, tapi jalan pikiran dan jalan perjuangan,” kata Yusrul saat penutupan.
Dalam suasana senja yang mengambang di langit Semarang, para peserta membubarkan diri dengan selembar kutipan Kartini dalam genggaman: “Habis gelap, terbitlah terang bukanlah akhir, tapi awal dari perjuangan yang lebih terang. Lawan!” (KA)