Obor Ansor Mulai Redup di Desa, Siapa Bertanggung Jawab?

Oleh: Noor Mushoffa Afifi

Hari Lahir Gerakan Pemuda Ansor yang ke-91 pada 24 April 2025 menjadi momentum penting untuk melakukan refleksi mendalam. Bukan sekadar seremoni dan nostalgia, tetapi evaluasi kritis tentang arah gerak, isi kaderisasi, dan strategi keberlanjutan organisasi ini di tengah era disrupsi digital dan tantangan geopolitik baru.

Di tengah usia yang hampir seabad, Ansor justru menghadapi tantangan eksistensial: antara realitas desa yang ditinggalkan dan narasi besar politik yang kian menjauh dari denyut kebutuhan rakyat.

Selama ini, pola kaderisasi Ansor cenderung terjebak pada glorifikasi isu-isu politik nasional dan geopolitik internasional, yang ironisnya hanya dikonsumsi segelintir elite kader. Di satu sisi, hal ini penting untuk membangun wawasan kebangsaan.

BACA JUGA: Wamen Kebudayaan Giring Kunjungi Jepara,  Dukung Seni Ukir Masuk Kurikulum Sekolah

Namun di sisi lain, muatan tersebut sangat minim menyentuh realitas konkret kader di desa, khususnya soal kedaulatan pangan, keberlanjutan hidup sebagai petani, dan kesenjangan ekonomi di akar rumput.

Kita nyaris tak melihat materi pengkaderan yang mengajarkan kader Ansor cara berdikari sebagai petani, memahami sistem agraria nasional, hingga teknik pertanian regeneratif berbasis pesantren.

Padahal, realitas di lapangan sangat menyedihkan. Harga bibit dan pupuk melambung saat musim tanam, sementara harga jual panen tidak menentu.

Di titik inilah Ansor harus mereposisi diri, bukan hanya sebagai benteng ideologi, tetapi juga sebagai pelopor ekonomi dan ketahanan pangan desa. Karena pemuda sekarang, terutama di Jepara, cenderung sudah memikirkan diri sebagai buruh pabrik sejak sekolah.

BACA JUGA: Taj Yasin Apresiasi Sektor Swasta Perkuat Sarana Pendidikan di Daerah

Kontestasi politik yang digambarkan oleh teoretikus seperti Chantal Mouffe menyatakan bahwa demokrasi adalah arena perbedaan dan perjuangan narasi. Sayangnya, narasi Ansor hari ini lebih sering dikooptasi oleh elite penikmat kuasa yang menjual simbol Ansor tanpa menggali penderitaan kader di bawah. Mereka sibuk “menjual” bendera Ansor di panggung kekuasaan, namun lupa bahwa obor organisasi ini dinyalakan oleh darah, keringat, dan idealisme kader di desa.

Jepara, sebagai salah satu basis sejarah penting NU dan Ansor, menjadi potret buram dari fenomena ini. Siklus kerja sebagai buruh dan tren urbanisasi membuat interaksi generasi muda berubah drastis. Mereka lebih memilih mencari penghasilan ke luar desa daripada berkumpul di sekretariat ranting. Banyak desa yang mengalami “mati suri” kaderisasi karena tidak adanya model baru yang menjawab kebutuhan generasi Z. Akibatnya, obor pengkaderan redup, dan rasa memiliki terhadap organisasi semakin memudar.

Generasi Z, yang lahir dan tumbuh di tengah kemajuan teknologi dan keterbukaan informasi, tidak bisa dididik dengan cara lama. Mereka membutuhkan pendekatan baru, berbasis tantangan realitas mereka, logika kritis, dan peran nyata organisasi dalam kehidupan sehari-hari.

Pengkaderan tidak bisa lagi hanya berisi doktrinasi politik, tetapi harus dikemas sebagai laboratorium kehidupan. Bagaimana menjadi petani cerdas, wirausahawan sosial, hingga pendamping UMKM berbasis desa.

Pendidikan pesantren, yang selama ini menjadi ruh Ansor, justru menyimpan potensi besar untuk mencetak kader mandiri. Namun sayangnya, pesantren-pesantren masih jarang dilibatkan dalam program kaderisasi GP Ansor secara sistemik. Padahal, di sanalah ruang pembelajaran nilai, disiplin, dan ekonomi kolektif bisa ditanamkan. Pesantren bisa menjadi basis penguatan ekonomi desa, jika digandeng dalam jaringan kaderisasi yang terstruktur.

BACA JUGA: Ciptakan Ruang Publik yang Tertib dan Nyaman, Pemkab Jepara akan Tertibkan PKL di Jalan Pemuda hingga Alun-Alun 1

Ansor mesti kembali ke desa, bukan sekadar nostalgia. Tetapi sebagai strategi politik keberpihakan. Dalam perspektif Antonio Gramsci, hegemonik yang kuat dibangun dari akar, dari relasi organik antara intelektual organik dengan masyarakatnya.

Ansor sebagai organisasi kader mestinya mencetak intelektual organik, kader yang tidak hanya paham geopolitik, tapi juga menjadi solusi konkrit untuk krisis desa.

Pengkaderan harus digeser dari sekadar ruang rapat ke ruang produksi. Dari forum diskusi menjadi forum kerja kolektif. Misalnya, pelatihan kader di desa bisa digabung dengan pelatihan pertanian organik, pengelolaan BUMDes, dan literasi digital. Pendekatan seperti ini akan lebih menjawab kebutuhan generasi Z yang pragmatis, rasional, dan ingin langsung melihat hasil dari proses berorganisasi.

Sebagai organisasi besar, Ansor juga perlu membangun sistem penghargaan dan rekognisi bagi kader akar rumput. Mereka yang konsisten menyalakan obor organisasi di desa tidak boleh terus-menerus dibiarkan bekerja dalam senyap. Justru di sanalah denyut hidup Ansor ditentukan. Jika terus mengandalkan para “penikmat kuasa”, maka cepat atau lambat, organisasi ini akan menjadi kosong jiwa.

Dalam usia ke-91 ini, Ansor harus memulai dekade baru dengan narasi baru: “Dari Desa, Untuk Bangsa.” Bukan hanya sebagai slogan, tetapi sebagai paradigma politik baru. Yakni politik keberdayaan, bukan sekadar politik representasi. Inilah bentuk paling otentik dari pengabdian kepada negeri.

Di tengah krisis global, ketahanan pangan adalah kunci. Dan di situlah desa menjadi pusat peradaban baru. Bila Ansor ingin tetap relevan di abad ke-2 nanti, maka ia harus menjadi pelopor peradaban itu, dengan membangun kader desa, yang berdaya secara ekonomi, sadar secara politik, dan kokoh secara ideologis. Bukan dengan seremoni, tetapi dengan strategi. Dan semuanya harus dimulai sekarang, dari desa, dari pesantren, dari generasi Z yang tidak ingin sekadar disuruh mendengar, tetapi ingin diajak berpikir dan bekerja bersama.
.
Noor Mushoffa AfifiBendahara PAC Ansor Nalumasri Jepara; Alumni S1 Pemikiran Politik Islam IAIN Kudus

Related posts

Model Kepemimpinan Transformasional dalam Pendidikan Tinggi Islam: Refleksi atas Kontribusi Dr. H. Sa’dullah Assa’idi

Terpaut dalam Jiwa Kurban: Menggugah Kesadaran Pengorbanan di Era Serba Instan

Makna Qurban dalam Membangun Karakter Umat dan Peradaban