Sekolah Antikorupsi Desa dan Good Governance dari Akar Rumput

Oleh: Dr. Muh Khamdan

Gubernur Jawa Tengah mencatat sejarah penting pada 29 April 2025 dengan mengumpulkan 7.810 kepala desa dari seluruh wilayah Jawa Tengah dalam agenda “Sekolah Antikorupsi” bertajuk Ngopeni Nglakoni Desa Tanpo Korupsi di GOR Indoor Kompleks Stadion Jatidiri, Kota Semarang. Ini bukan sekadar seremoni, melainkan sebuah intervensi struktural dalam membangun fondasi pemerintahan desa berbasis integritas.

Langkah ini menarik ditelaah melalui lensa teori good governance, di mana prinsip akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi publik menjadi kunci utama. Desa, sebagai entitas pemerintahan paling dekat dengan rakyat, memegang peranan strategis dalam memastikan pelayanan publik berjalan efektif dan bebas dari praktik koruptif.

Kegiatan ini juga patut diapresiasi karena menghadirkan pembicara kunci dari kalangan penegak hukum dan lembaga pengawasan seperti Pimpinan KPK Fitroh Rohcahyanto, Dirkrimsus Polda Jateng Kombes Pol Arif Budiman, Kepala BPKP Jateng Tri Handoyo, serta Jaksa Fungsional Kejati Jateng Sugeng. Komposisi narasumber ini mencerminkan pendekatan multi-institutional synergy dalam memberantas korupsi.

BACA JUGA: Monitoring Pencegahan Korupsi, Jepara Peringkat 23 Nasional

Penguatan kapasitas kepala desa melalui pembekalan ini memiliki implikasi ganda. Di satu sisi, kepala desa diberikan pemahaman teknis dan yuridis tentang pengelolaan keuangan negara. Di sisi lain, mereka juga dibekali kesadaran etik dan tanggung jawab moral terhadap amanah yang mereka emban.

Dalam kerangka good governance, inisiatif ini menegaskan pentingnya capacity building di tingkat pemerintahan terendah. Pemberdayaan aktor desa memperkuat akar tata kelola negara, mengingat praktik korupsi kerap bermula dari lemahnya pemahaman administrasi publik dan kaburnya batasan antara urusan publik dan kepentingan pribadi.

Menggunakan pendekatan teori pemerataan pembangunan kawasan, desa harus ditempatkan sebagai subjek aktif dalam peta besar pembangunan nasional. Ketika kepala desa mampu mengelola dana desa secara bersih dan tepat sasaran, maka disparitas antarwilayah perlahan dapat diatasi.

Gubernur Jawa Tengah memahami bahwa desa bukan sekadar entitas administratif, melainkan pusat perekonomian rakyat. Program ini diarahkan untuk mengubah paradigma lama bahwa pembangunan hanya bertumpu pada kota, menuju era di mana desa menjadi pilar kemandirian ekonomi.

Dr. Muh Khamdan

Penting dicatat, dalam konteks hukum administrasi negara, pelatihan ini juga memperkuat asas legalitas (principle of legality). Kepala desa diingatkan bahwa seluruh tindakan administrasi pemerintahan harus berlandaskan peraturan perundang-undangan yang berlaku, bukan atas dasar diskresi sempit yang rentan disalahgunakan.

Dari sisi teori pemerataan pembangunan, upaya ini adalah manifestasi nyata dari strategi bottom-up development. Gubernur Jateng memutuskan membangun dari akar rumput, bukan dari menara gading birokrasi, sehingga pembangunan tidak elitis tetapi berbasis kebutuhan masyarakat lokal.

Dalam analisis hukum pidana korupsi, tindakan preventif seperti sekolah antikorupsi jauh lebih efektif dibandingkan pendekatan represif. Pencegahan korupsi di level desa melalui pendidikan ini merupakan implementasi prinsip criminal policy modern: mengutamakan preventif daripada sekadar reaktif.

BACA JUGA: Wakil Ketua KPK Ajak Perangkat Daerah Berantas Korupsi

Tentu, program ini tidak boleh berhenti pada pelatihan seremonial. Evaluasi berkelanjutan, pengawasan partisipatif oleh masyarakat desa, serta integrasi program antikorupsi dalam regulasi desa menjadi langkah berikutnya agar “Tanpo Korupsi” tidak hanya menjadi slogan kosong.

Sebagai tambahan, keterlibatan lembaga pengawasan seperti BPKP menegaskan pentingnya internal audit yang kuat. Kepala desa harus membangun sistem dokumentasi administrasi yang baik, dari perencanaan, pelaksanaan hingga pertanggungjawaban penggunaan anggaran.

Sekolah antikorupsi ini juga menciptakan momentum politik yang positif. Di tengah kepercayaan publik terhadap pemerintah yang kerap tergerus skandal korupsi, upaya ini menjadi contoh konkret komitmen seorang kepala daerah untuk menciptakan tata kelola bersih.

Jika diteruskan secara konsisten, gerakan antikorupsi desa di Jawa Tengah bisa menjadi model nasional. Bahkan, Indonesia berpotensi membangun ekosistem pemerintahan desa modern berbasis integritas, memperkecil ruang gerak praktik KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) dari level paling bawah.

Sebagaimana dikatakan dalam literatur development governance, keberhasilan pembangunan bukan hanya soal berapa banyak dana yang digelontorkan, tetapi seberapa besar dana tersebut sampai kepada rakyat tanpa dikorupsi di tengah jalan. Di sinilah nilai strategis dari agenda Sekolah Antikorupsi ini.

Dr. Muh Khamdan, Doktor Studi Agama dan Perdamaian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Analis Kebijakan Publik

Related posts

Model Kepemimpinan Transformasional dalam Pendidikan Tinggi Islam: Refleksi atas Kontribusi Dr. H. Sa’dullah Assa’idi

Terpaut dalam Jiwa Kurban: Menggugah Kesadaran Pengorbanan di Era Serba Instan

Makna Qurban dalam Membangun Karakter Umat dan Peradaban