Oleh: M. Dalhar
Musim panen telah tiba. Seorang petani di Jepara sedikit mengeluhkan kondisi sulitnya mencari buruh tani untuk memanen hasil padi di sawah. Buruh tani banyak dicari untuk mengerjakan hamparan sawah di pedesaan.
Para petani harus antre menunggu sampai para buruh tani siap menggarap sawah mereka. Musim panen yang mendekati lebaran menjadikan mereka harus menunda waktu panen. Adapun risiko sepenuhnya ditanggung oleh para pemilik lahan pertanian alias majikan.
Hari yang ditunggu tiba. Pagi hari, sebelum pukul 06.00 belasan sampai puluhan buruh tani berjalan menyusuri jalan menuju ke sawah. Ada juga yang menggunakan kendaraan bak terbuka dengan tujuan luar desa. Selama beberapa pekan pemandangan tersebut tampak di pedesaan Kabupaten Jepara.
BACA JUGA: Komisi B DPRD Jepara Terima Audiensi PKN Jepara
Sebelum berkerja, para buruh menikmati makan pagi (sarapan) dari pemilik sawah. Sebuah obrolan santai membincangkan kabar lokal terkait dunia pertanian. Semua dapat berpatisipasi untuk menyampaikan pendapat. Tidak jarang pemilik sawah juga turut serta sarapan bersama dengan para buruh tani.
Berbagai curhatan dari buruh hari terdengar sampai kepada majikan, termasuk jika ada perubahan upah dan jam kerja. Majikan berusaha mempersiapkan segala keperluan agar proses panen dapat berjalan lancar.
Buruh tani tidak hanya laki-laki, tetapi juga perempuan. Seringkali jumlah perempuan lebih banyak. Tentu saja sudah ada pembagian kerja di antara mereka, sesuai dengan kemampuan masing-masing. Upah yang diterima pun dibedakan sesuai dengan berat atau tidaknya pekerjaan.
Di tengah kegiatan di sawah, ada jeda waktu istirahat sejenak. Pada waktu siang hari, para buruh dipersilakan untuk istirahat lebih panjang dan menunaikan ibadah. Biasanya untuk kegiatan pertanian yang membutuhkan kerja besar para buruh tani berkerja sehari. Adapun untuk proses yang sederhana ada pilihan kerja setengah hari.
Tidak hanya panen, buruh tani senantiasa dibutuhkan dalam setiap proses nyawah.Mulai dari pembersihan lahan, penyebaran benih, sampai proses panen.
BACA JUGA: Komisi A DPRD Jepara Terima Audiensi LMPP Jateng
Kehadiran buruh tani di pedesaan sudah berlangsung puluhan tahun, bahkan bisa lebih. Aturan dan ketentuan pekerjaan sudah diatur oleh sistem budaya yang berlaku di masyarakat setempat.
Kini jumlah mereka tidaklah melimpah. Tidak banyak generasi muda yang mau terlibat langsung pada dunia pertanian, termasuk menjadi buruh tani. Ada berbagai alasan penyebabnya. Buruh tani adalah pekerja yang tangguh, di bawah terik matahari dan nominal upah yang ‘merakyat’. Mereka juga tidak neko-neko dan hidup sederhana.
Ilustrasi Ideal?
Gambaran sederhana buruh tani di pedesaan barangkali dapat menjadi gambaran ideal hubungan antara buruh dan majikan. Gaji mereka tidaklah sebesar uang harian buruh pabrik. Akan tetapi, bagi buruh tani tidak ada seremoni demonstrasi di Hari Buruh.
Fenomena tersebut dapat dilihat dari sudut pandang struktural fungsionalisme di mana masing-masing pihak berperan sesuai bidangnya. Kehidupan menjadi lebih harmoni. Berbeda dengan teori konflik yang melihat benturan antar masing-masing pihak. Buruh tani harus memiliki faktor produksi sebagaimana petani agar tidak terjadi penindasan.
Akan tetapi, hal tersebut (penindasan) tidak terjadi di pedesaan. Buruh tani sebagai pekerja sadar harus menyelesaikan proyek dengan sebaik mungkin. Begitu pula dengan petani sebagai majikan berupaya memberikan hak-hak buruh dengan maksimal sesuai kebiasaan yang berlaku. Buruh tani dan petani sama-sama berkerja untuk pertanian.
BACA JUGA: M. Latifun Dukung Polres Jepara Lakukan Patroli Peredaran Miras
Meski hubungan tersebut tidak sempurna untuk menggambarkan hubungan majikan-buruh, minimal tergambar aspirasi dari buruh tani didengar dan dilaksanakan oleh majikan.
Hubungan majikan dan buruh menjadi diskursus tersendiri. Sejak tonggak sejarah Hari Buruh terjadi pada 1886 di Chicago, Amerika. Berikutnya gelombang hari buruh terjadi di berbagai belahan dunia. Di Hindia Belanda (Indonesia) muncul serikat buruh pada tahun 1904 di berbagai perusahaan swasta maupun pemerintah. Awal abad ke-20 hubungan keduanya mengalami pasang-surut. Sering terjadi pemogokan di perusahaan kereta api dan pelabuhan adalah beberapa indikator tidak baiknya hubungan tersebut.
Dengan dalih untuk mengejar keuntungan, tidak jarang para majikan atau perusahaan memberlakukan kebijakan yang tidak pro pada buruh. Tidak mengherankan setiap peringatan Hari Buruh Internasional ini akan selalu ada tuntutan dari para buruh untuk kesejahteraan nasibnya.
Buruh tani di pedesaan tidak memiliki serikat atau aliansi. Akan tetapi, jangan sampai menjadikan buruh tani marah apalagi sampai mogok kerja. Jika itu terjadi, tamatlah pertanian di pedesaan.
M. Dalhar, Pegiat sosial dan Sejarah di Jepara