Oleh: Dr. Muh Khamdan
Sabtu malam, 10 Mei 2025, langit Desa Blingoh, Kecamatan Donorojo, Jepara, dilukis temaram cahaya obor dan lantunan paritta dari para biksu yang melangkah pelan dalam Kirab Pradaksina.
Perayaan Waisak 2569 TB kali ini tidak sekadar menjadi ritus spiritual umat Buddha, melainkan juga pernyataan simbolik tentang betapa tenangnya toleransi tumbuh di jantung desa yang berbatasan langsung dengan kawasan karst Pegunungan Muria.
Tiga dusun, dari dukuh Simo, dukuh Senggrong, dan dukuh Pungkruk, berubah menjadi jalur perenungan. Warga non-Buddha ikut merapikan jalan, menyediakan makanan ringan, hingga berjaga di simpang-simpang desa. Tidak ada sekat doktrinal yang kaku malam itu. Hal yang tersisa hanyalah semangat kebersamaan yang menghangatkan tubuh dan batin.
BACA JUGA: PLN UIK Tanjung Jati B Beri Apresiasi untuk Guru Ngaji Menjelang Hari Kartini
Kirab Pradaksina ini adalah bentuk penghormatan spiritual yang dalam tradisi Buddhis mengandung makna perjalanan batin menuju pencerahan. Namun di Blingoh, kirab ini menjelma menjadi narasi sosial yang lebih luas, yaitu langkah-langkah biksu tak hanya mengitari stupa, melainkan juga menyusuri akar harmoni yang hidup di desa-desa kecil Indonesia.
Blingoh tidak memiliki Candi Borobudur, tetapi memiliki hati yang lapang. Ketika para biksu thudong dari Thailand berjalan ribuan kilometer menuju Magelang, maka Jepara bisa bermimpi menyusun “jalan sunyi” dari Nalumsari hingga Donorojo. Sebuah versi lokal dari spiritual path, yang tidak kalah bermakna. Rute ini bisa menjadi alternatif ziarah damai bagi para bhante atau bhikku, menelusuri lanskap budaya dan keberagaman warga Jepara yang selama ini tersimpan dalam kesederhanaan.
BACA JUGA: Satlantas Polres Jepara Beri Pelatihan Anggota Baru Patroli Keamanan Sekolah
Vihara Giri Santi Loka menjadi pusat dari ritus ini. Di sanalah titik simpul antara spiritualitas dan sosialitas disatukan. Vihara ini tak hanya menjadi rumah ibadah, tetapi juga pusat dialog lintas iman. Warga sekitar mengenal vihara bukan sebagai tempat “agama lain”, melainkan sebagai bagian dari rumah besar mereka sendiri.
Apa yang terjadi di Blingoh memperlihatkan potensi konkret dari teori bina damai dalam skala komunitas. Johan Galtung dalam gagasannya tentang positive peace menyebut bahwa perdamaian bukan sekadar ketiadaan kekerasan, tapi kehadiran keadilan dan harmoni yang aktif. Dalam kerangka ini, perayaan Waisak di Blingoh adalah peristiwa peace-building yang otentik dan organik.
Dr. Muh Khamdan
Perayaan ini juga menunjukkan bahwa moderasi beragama bukan jargon elite, melainkan praktik sehari-hari masyarakat akar rumput. Di Blingoh, kita menemukan bentuk interreligious coexistence yang hidup, bukan karena proyek pemerintah atau seruan tokoh nasional, melainkan karena kesadaran bersama yang diwariskan dari leluhur.
Dalam perspektif antropologi agama, perayaan Waisak di Blingoh adalah contoh bagaimana agama tidak hidup di menara gading. Ia melekat pada ladang, dapur, dan jalan-jalan dusun. Sakralitas tidak lari dari kebudayaan lokal, melainkan memeluknya. Agama Buddha di sini menyatu dengan ritme petani, nelayan, dan pengrajin batu kapur.
Kesakralan tidak dibatasi tembok rumah ibadah, tetapi merembes dalam cara warga membuka pintu bagi perayaan ini. Di banyak tempat, agama menjadi tembok, tapi di Blingoh ia menjadi jendela. Kita melihat potensi kuat bahwa desa ini bisa menjadi destinasi spiritual dan edukatif tentang moderasi beragama berbasis komunitas.
BACA JUGA: Sumringah, 61 Mustahik di Pecangaan Terima Zakat Produktif dari Baznas Jepara
Dengan pendekatan community-based interfaith tourism, Blingoh bisa berkembang seperti Banjar di Bali atau Gema Madani di Cirebon. Komunitas lokal menjadi aktor utama, bukan sekadar pelengkap atraksi. Wisatawan bisa belajar bagaimana harmoni tidak dibentuk oleh keseragaman, tapi dirawat dalam kebhinekaan yang sadar diri.
Pemerintah daerah dan Kementerian Agama semestinya memberi dukungan serius. Ini bukan sekadar perayaan ritual, tetapi model pendidikan hidup yang mengajarkan toleransi bukan di atas kertas, melainkan di jalan-jalan desa. Dari sinilah, harmoni bisa ditularkan ke tempat lain.
Kirab Pradaksina bisa dikembangkan menjadi agenda tahunan spiritual lintas iman. Bayangkan iring-iringan biksu yang disambut oleh gamelan, oleh tumpeng dan doa lintas agama. Sebuah narasi Indonesia yang kita dambakan, bukan wacana pluralisme formal, melainkan pengalaman kolektif yang menyentuh. Lebih dari itu, momentum Waisak ini bisa menjadi jembatan antara spiritualitas dan ekologi.
Wilayah Donorojo berada di kawasan karst yang rentan terhadap eksploitasi tambang. Menjadikan Blingoh sebagai destinasi spiritual adalah bentuk proteksi terhadap lingkungan melalui pendekatan budaya.
Dalam studi perdamaian, kita diajarkan bahwa ruang damai bukan hanya hasil negosiasi kekuasaan, tapi juga buah dari pengalaman bersama yang dirayakan. Kirab di Blingoh adalah ruang damai itu, suatu tempat di mana langkah kaki adalah doa, dan kebersamaan adalah pengakuan bahwa kita berbeda tapi setara.
Indonesia membutuhkan lebih banyak Blingoh. Desa-desa yang memberi bukti bahwa toleransi bukan proyek elit, tetapi napas masyarakat. Bahwa agama bukan sumber konflik, tapi mata air kehidupan. Dan bahwa perdamaian, sebagaimana Waisak, adalah cahaya yang lahir dari kegelapan batin yang kita taklukkan bersama.
Dr. Muh Khamdan, Doktor Studi Perdamaian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; LTN NU MWCNU Nalumsari Jepara