Oleh: Jumaiyah,
Perguruan tinggi sebagai institusi pencerahan seharusnya menjadi pelopor dalam penerapan prinsip kesetaraan gender. Namun ironis, data menunjukkan masih terdapat bias gender dalam alokasi anggaran pengembangan dosen di berbagai institusi pendidikan tinggi.
Praktik yang memberikan prioritas pendanaan pengembangan kepada dosen laki-laki dibanding perempuan ini bukan hanya melanggar prinsip keadilan, tetapi juga merugikan kualitas akademik secara keseluruhan.
Bias Gender dalam Penganggaran: Fenomena Global yang Mengakar
Penelitian terbaru Ceci, Kahn, dan Williams (2023) dalam Psychological Science in the Public Interest mengidentifikasi enam domain kunci dalam sains akademik yang menunjukkan bias gender sistemik, termasuk dalam alokasi dana penelitian dan pengembangan.
BACA JUGA: PLN UIK Tanjung Jati B Beri Apresiasi untuk Guru Ngaji Menjelang Hari Kartini
Temuan serupa dilaporkan Cruz-Castro dan Sanz-Menéndez (2023) melalui eksperimen acak dalam evaluasi pendanaan riset, yang membuktikan adanya bias gender dalam proses seleksi penerima dana.
Di tingkat kebijakan publik, Singh (2024) dalam analisis berbasis bukti terhadap anggaran India periode 2015-2023 menemukan bahwa anggaran seringkali tidak memperhitungkan kebutuhan spesifik perempuan, sehingga menciptakan bias gender struktural dalam alokasi sumber daya.
Fenomena ini menunjukkan bahwa bias gender dalam penganggaran merupakan masalah global yang memerlukan perhatian serius.
Dampak Bias Gender terhadap Kualitas Akademik
Ketimpangan akses terhadap pengembangan kapasitas berdasarkan gender memiliki dampak jangka panjang yang merugikan. Pezzoni dan Visentin (2023) dalam penelitiannya mengenai hibah European Science Foundation menemukan bahwa bias gender dalam pembentukan tim riset mengurangi kualitas dan inovasi output penelitian.
Hal ini menunjukkan bahwa diskriminasi gender tidak hanya merugikan individu, tetapi juga menghambat kemajuan sains secara keseluruhan.
Heilman, Caleo, dan Manzi (2023) dalam kajian komprehensif mereka menjelaskan bagaimana stereotip gender berkembang menjadi bias sistemik yang mempengaruhi pengambilan keputusan dalam lingkungan kerja.
BACA JUGA: Polres Jepara Terjunkan Puluhan Personel Amankan International Skydiving Festival di Karimunjawa
Dalam konteks perguruan tinggi, bias ini dapat bermanifestasi dalam alokasi anggaran pengembangan yang tidak adil, yang pada akhirnya menghambat potensi seluruh civitas akademika.
Gender Responsive Budgeting sebagai Solusi
Konsep Gender Responsive Budgeting (GRB) menawarkan kerangka kerja sistemik untuk mengatasi bias gender dalam penganggaran. Veitch (2022) dalam The Theory and Practice of Legislation menegaskan bahwa GRB merupakan bagian krusial dari toolkit implementasi hukum yang sensitif gender.
Pendekatan ini tidak sekadar memberikan alokasi yang sama, tetapi memastikan bahwa anggaran benar-benar responsif terhadap kebutuhan berbasis gender.
Woo dan Lee (2023) melalui penilaian empiris terhadap efektivitas inisiatif gender budget di Korea Selatan membuktikan bahwa penerapan GRB meningkatkan pemberdayaan politik perempuan.
Dalam konteks perguruan tinggi, penerapan prinsip serupa dapat meningkatkan partisipasi dan kontribusi dosen perempuan dalam pengembangan institusi.
Llaftiu dan Shuli (2024) dalam analisis kontekstual sektor pendidikan tinggi di Albania menunjukkan bahwa implementasi gender budgeting di universitas menghasilkan peningkatan kualitas penelitian dan kepuasan kerja dosen.
Studi ini membuktikan bahwa kesetaraan gender dalam alokasi anggaran bukan hanya soal keadilan, tetapi juga investasi strategis untuk kemajuan institusi.
Transparansi dan Akuntabilitas sebagai Kunci
Vito, Klun, dan Rakar (2025) dalam penelitian terbaru mereka mengidentifikasi faktor-faktor yang memungkinkan implementasi GRB efektif di pemerintahan lokal, dengan transparansi dan akuntabilitas sebagai elemen kunci.
Prinsip yang sama berlaku untuk perguruan tinggi, di mana keterbukaan informasi mengenai alokasi anggaran pengembangan dosen menjadi prasyarat penting untuk memastikan kesetaraan.
Mueller, Saliterer, dan Korać (2023) dalam kajian mereka terhadap debat penganggaran publik di Jerman menekankan pentingnya melibatkan aspek-aspek terkait gender dalam setiap tahap perencanaan anggaran.
Hal ini menuntut perguruan tinggi untuk melakukan audit gender terhadap kebijakan anggarannya secara berkala.
Implementasi Gender Budgeting di Perguruan Tinggi
Berdasarkan temuan-temuan riset terkini, beberapa langkah konkret dapat diimplementasikan untuk menerapkan gender budgeting dalam pengembangan dosen:
Audit Gender Anggaran Berkala. Setiap institusi perlu melakukan evaluasi menyeluruh terhadap pola alokasi anggaran pengembangan dosen dengan perspektif gender. Audit ini harus mencakup analisis data disagregasi berdasarkan jenis kelamin untuk mengidentifikasi kesenjangan yang ada.
Penetapan Target Kesetaraan. Seperti yang diterapkan dalam studi Steinþórsdóttir dan Barkardóttir (2024) dalam konteks pendidikan dasar, perguruan tinggi perlu menetapkan target spesifik untuk mencapai kesetaraan gender dalam akses pengembangan.
BACA JUGA: Komisi A DPRD Jepara Terima Audiensi LMPP Jateng
Mekanisme Partisipasi Inklusif. Proses pengambilan keputusan alokasi anggaran harus melibatkan representasi yang seimbang antara dosen laki-laki dan perempuan, memastikan suara dan perspektif semua pihak terakomodasi.
Sistem Monitoring dan Evaluasi. Implementasi sistem pemantauan yang robust untuk memastikan bahwa kebijakan gender budgeting berjalan efektif dan memberikan dampak positif bagi kesetaraan gender.
Menuju Perguruan Tinggi yang Berkeadilan Gender
Indonesia memiliki komitmen konstitusional terhadap kesetaraan gender yang harus diwujudkan dalam setiap aspek kehidupan bermasyarakat, termasuk dalam pengelolaan perguruan tinggi. Bias gender dalam alokasi anggaran pengembangan dosen merupakan praktik yang tidak dapat ditoleransi di era modern ini.
Implementasi gender responsive budgeting bukan sekadar memenuhi tuntutan keadilan, tetapi juga strategi cerdas untuk memaksimalkan potensi seluruh sumber daya akademik. Ketika semua dosen, tanpa memandang gender, mendapat akses yang sama terhadap pengembangan kapasitas, institusi akan memiliki keunggulan kompetitif yang signifikan.
Saatnya perguruan tinggi Indonesia mengambil langkah progresif dengan menerapkan gender budgeting dalam setiap aspek pengelolaan anggaran. Hanya dengan cara ini, cita-cita menciptakan pendidikan tinggi yang berkualitas, berkeadilan, dan berkelanjutan dapat tercapai.
Masa depan akademik Indonesia bergantung pada keberanian kita untuk memastikan bahwa setiap talenta, baik laki-laki maupun perempuan, mendapat kesempatan yang sama untuk berkembang dan berkontribusi.(*)
Jumaiyah, Dosen Universitas Islam Nahdlatul Ulama Jepara