Oleh: Dr. Muh Khamdan
Pada pagi yang temeram di awal-awal Bulan Dzulhijjah 1446 H, awal Juni 2025 sebagai peringatan hari lahir Pancasila, dunia pendidikan Islam Jepara kehilangan salah satu suluh yang telah lama menyalakan obor intelektualitas di ranah Nahdlatul Ulama. Dr. KH. Sa’dullah Assa’idi, sosok ulama, cendekiawan, dan organisator kampus, telah berpulang ke hadirat-Nya. Lahir di Jember, 17 Januari 1956, jejak hidupnya adalah narasi tentang perjuangan panjang membangun ekosistem intelektual Islam, khususnya di wilayah pesisir utara Jawa, Jepara.
Nama Dr. KH. Sa’dullah Assa’idi lekat dalam sejarah pendirian dan perkembangan perguruan tinggi Nahdlatul Ulama di Jepara. Sebagai Ketua Panitia Pendiri Perguruan Tinggi NU yang diberi nama INISNU (Institut Islam Nahdlatul Ulama), beliau adalah salah satu pionir dari lahirnya kampus yang bertransformasi menjadi Universitas Islam Nahdlatul Ulama (UNISNU) Jepara. Lembaga ini mulai beroperasi pada 1 Juli 1989, menjadi kawah candradimuka bagi kader-kader muda NU yang haus akan ilmu pengetahuan sekaligus semangat pengabdian.
Perjuangan mendirikan INISNU tidaklah mudah. Namun, Kyai Sa’dullah hadir sebagai sosok perekat, pembuka jalan, dan pemantik gagasan. Sejak menjabat sebagai Sekretaris II Yayasan INISNU (1988–1995), ia telah memainkan peran penting dalam membangun fondasi manajerial dan visi kelembagaan. Beliau melihat bahwa pendidikan tinggi adalah jembatan strategis untuk mengintegrasikan keilmuan tradisional pesantren dengan sains modern dalam bingkai Islam Ahlussunnah wal Jama’ah.
BACA JUGA: YBM PLN UIK Tanjung Jati B Berikan Santunan untuk Penyandang Disabilitas di Bulan Ramadan
Kiprah akademiknya di kampus tidak pernah terputus. Ia tercatat sebagai Kepala Biro UKKA (1990–1992), Pembantu Rektor II INISNU Jepara (2007–2011), Wakil Rektor I UNISNU (2013–2016), hingga akhirnya dipercaya sebagai Rektor UNISNU Jepara selama dua periode (2016–2020 dan 2020–2024). Dalam setiap tahapan kepemimpinannya, beliau terus menanamkan nilai bahwa intelektualitas harus dilandasi keikhlasan, etika pesantren, dan keberpihakan pada rakyat kecil.
Sebagai pemimpin akademik, Kyai Sa’dullah tak sekadar mengurus urusan administratif. Ia adalah penggerak kebudayaan ilmiah. Di bawah kepemimpinannya, UNISNU tak hanya menjadi institusi formal, tetapi juga ruang pembinaan ruhani, kajian ilmiah, dan tumbuhnya kader-kader muda NU yang memiliki kedalaman ilmu dan kekuatan akhlak. Ia percaya, universitas NU harus mampu menjadi “pasar gagasan” dan ruang kaderisasi ulama-intelektual.
Menariknya, pada medio 2000–2006, Kyai Sa’dullah sempat tidak aktif secara intens di INISNU. Namun masa ini justru menjadi ruang pengabdian yang tak kalah penting. Ia lebih banyak menetap di Kudus untuk membantu Prof. Dr. Muslim A. Kadir dalam memimpin STAIN Kudus sebagai Wakil Ketua III yang membidangi kemahasiswaan. Dari posisi ini, beliau membangun kedekatan yang intens dengan dunia mahasiswa dan aktivisme kampus.
Perannya sebagai Wakil Ketua III STAIN Kudus adalah titik penting lain dalam pembinaan ekosistem kader intelektual muda. Banyak pengkaderan mahasiswa, pelatihan organisasi, hingga penyelesaian konflik ideologis mahasiswa yang ia fasilitasi langsung. Bukan dengan otoritas kekuasaan, melainkan pendekatan persuasif dan silaturrahim. Rumahnya di Mejobo Kudus dan Batealit Jepara menjadi saksi perjumpaan intelektual dan spiritual antara dosen dan mahasiswa.
BACA JUGA: Polres Jepara Giatkan Patroli, Cegah Aksi Premanisme di Titik Rawan
Penulis sendiri, sebagai mantan aktivis pers kampus, pernah mengalami dinamika itu. Tak jarang bersitegang dalam isu-isu publik kampus, namun Kyai Sa’dullah senantiasa membuka pintu rumahnya untuk dialog. “Hubungan dosen dan mahasiswa itu seperti santri dan kyai,” begitu pesannya. Dengan kedalaman spiritualnya, beliau tak hanya membimbing secara ilmiah, tetapi juga dengan kehangatan batin seorang mentor yang tak pernah lelah mendengarkan, meskipun itu kritikan.
Ujian skripsi penulis di semester 7 tahun 2007, misalnya, menjadi salah satu kenangan yang tak terlupakan. Kyai Sa’dullah hadir sebagai penguji yang menaruh hormat pada proses akademik sekaligus menginspirasi penulis untuk terus melanjutkan studi. Skripsi yang membahas pemikiran Jaringan Islam Emansipatoris (JIE) yang dinahkodai Kyai Masdar Farid Mas’udi di Jakarta, setebal 400-an halaman, diuji dengan ngobrol santai hampir 2 jam. Dorongan untuk menemukan jaringan sekaligus ekosistem intelektual di ibukota, disarankannya dalam akhir pembicaraan sidang skripsi serasa nasihat ayah pada anaknya. Dari sanalah tekad untuk hijrah ke Jakarta dan melanjutkan pendidikan S2 di UIN Syarif Hidayatullah pun menguat, bermodal restu dan beasiswa dari Kemenpora.
Pendidikan formal beliau adalah kombinasi apik antara tradisi pesantren dan akademik modern. Pernah nyantri di dua pesantren besar di Jombang, yaitu Darul Ulum dan Bahrul Ulum. Kyai Sa’dullah melanjutkan studi S1 hingga doktoralnya di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, fokus pada bidang Qur’an dan Hadits. Pilihan ini bukan sekadar akademik, tetapi ideologis. Kyai Sa’dullah ingin menjadi penguat pondasi epistemik Islam dalam membentuk ulama-intelektual NU masa depan.
Sikap hidup beliau yang rendah hati, dekat dengan mahasiswa, dan visioner dalam membangun kelembagaan menjadikannya tokoh kunci dalam munculnya ekosistem intelektual muda NU di Jepara. Ia memetakan bahwa kekuatan Jepara tidak hanya pada sejarah ukirannya, tetapi juga pada kemampuan membangun generasi muda yang berpikir global namun berakar pada tradisi lokal.
Dr. KH. Sa’dullah Assa’idi bukanlah orang asli Jepara. Tapi dalam jejaknya, beliau telah menjadi bagian tak terpisahkan dari jiwa kota ini. Kepeduliannya pada tumbuhnya kampus-kampus NU, semangatnya membangun jejaring ulama intelektual, serta kemampuannya memadukan tradisi dan modernitas, semua itu menjadikan dirinya “putra terbaik Jepara dalam makna substantif.”
Salah satu warisan intelektual terbesarnya adalah keberhasilannya mewujudkan kampus NU bukan hanya sebagai tempat studi, tetapi juga sebagai rumah peradaban. Ia membuka jalan bagi hadirnya para doktor muda NU, memperjuangkan kemandirian kelembagaan, dan menginspirasi sivitas akademika untuk menjadikan kampus sebagai arena jihad keilmuan.
BACA JUGA: Unisnu Jepara Apresiasi Buku Pesantren Anti-Bullying dan Kekerasan Seksual Karya Nawal Arafah Yasin
Pengabdiannya sebagai Ketua Bidang Akademik YAPTINU (2011–2013) menjadi periode krusial dalam meletakkan sistem akademik yang lebih kuat dan berbasis mutu. Ia tidak hanya mengelola administrasi, tapi juga aktif menulis, berbicara di forum-forum akademik, serta mendorong semangat publikasi ilmiah di kalangan dosen-dosen muda.
Bahkan setelah tidak lagi menjabat, sosoknya tetap menjadi tempat bertanya. Kyai Sa’dullah adalah “ensiklopedi hidup” tentang sejarah dan dinamika kampus NU di Jepara. Ia menyimpan memori kolektif, membagikan inspirasi, dan menyalurkan semangat kepada siapa pun yang ingin meneruskan perjuangan pendidikan.
Kini, ketika beliau telah berpulang, kita semua memikul tanggung jawab untuk melanjutkan warisan intelektual dan spiritualnya. Sebab ekosistem intelektual bukan dibangun dalam satu malam, namun hasil kerja panjang dari orang-orang seperti Kyai Sa’dullah, yang memilih bekerja dalam diam, berjuang dalam keikhlasan, dan menginspirasi tanpa pamrih.
Saya melihat Dr. KH. Sa’dullah Assa’idi sebagai simbol ideal dari ulama negarawan kampus. Beliau membuktikan bahwa Islam yang hidup dalam dunia akademik bukan hanya soal hafalan, tetapi juga pengelolaan, pembinaan, dan pengabdian. Warisannya bukan hanya gedung atau jabatan, tapi jiwa kepemimpinan intelektual yang terus menginspirasi.
Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, Selamat jalan Kyai Sa’dullah. Jejakmu telah tertanam di bumi Jepara, dalam bentuk kampus, kader, dan kenangan. Semoga Allah menempatkanmu bersama para kekasih-Nya. Dan semoga setiap langkah mahasiswa dan dosen UNISNU yang menginjak halaman kampus, terus menapak di atas nilai yang engkau perjuangkan: intelektual yang bertaqwa, dan santri yang berilmu. Al-Fatihah.
Dr. Muh Khamdan, Doktor Studi Perdamaian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Widyaiswara Kementerian Hukum