Oleh: Ahmad Saefudin
Dalam tradisi keilmuan Islam, wafatnya seorang ulama ibarat padamnya satu bintang di langit peradaban. Pada 1 Juni 2025, mendung menggelayut di langit Jepara. Seolah ikut bersedih dengan kepergian Dr. Sa’dullah Assa’idi, Rektor Universitas Islam Nahdlatul Ulama (Unisnu) Jepara periode 2016-2024, ke rahmatullah. Dunia akademik, khususnya Bumi Kartini, kehilangan salah satu sosok teladan. Cendekiawan Qur’ani yang membumikan keilmuan dengan kerendahan hati.
Lahir di Jember pada 17 Januari 1956, jejak intelektualnya dimulai dari dunia pesantren. Beliau menempuh pendidikan dan penempaan spiritual di dua pesantren legendaris: Pondok Pesantren Darul Ulum dan Bahrul Ulum Jombang. Di situlah benih keilmuan dan akhlak tumbuh dalam dirinya.
Dunia pesantren bukan hanya menjadi tempat belajar agama, tapi juga membentuk habitus, dalam istilah Pierre Bourdieu, yang kelak akan menjiwai seluruh kiprah akademiknya.
Bagi banyak orang, utamanya di kalangan nahdliyyin, almarhum adalah akademisi dengan peran ganda: seorang teknokrat pendiri, sekaligus pemikir yang meletakkan dasar visi keilmuan berbasis moderasi dan spirit Aswaja. Ia adalah figur nyata dari “Homo Academicus”—seperti yang digambarkan Bourdieu—yakni makhluk sosial dalam dunia akademik yang tidak hanya berpikir demi pengetahuan semata, tetapi juga berjuang dalam medan simbolik, dengan kesadaran struktur sosial dan tanggung jawab moralnya.
BACA JUGA: PLN UIK Tanjung Jati B Beri Apresiasi untuk Guru Ngaji Menjelang Hari Kartini
Dalam dunia kampus, yang sering kali menjadi arena kontestasi prestise, gelar, dan modal simbolik, Dr. Sa’dullah hadir sebagai pengecualian yang menyejukkan. Ia tidak mencari sorotan, tetapi sinarnya menyebar dari konsistensi. Ia tidak mengejar status, tetapi posisinya tumbuh dari integritas.
Dengan habitus yang terbentuk dari tradisi pesantren dan perguruan tinggi, beliau menapaki jalan akademik bukan sebagai alat mobilitas sosial belaka, melainkan sebagai ruang pengabdian dan transformasi.
Karya ilmiahnya yang menonjol, “Pemahaman Tematik Al-Qur’an Menurut Fazlur Rahman”, jadi bukti otentik lanskap pemikirannya dalam melihat kitab suci Alquran. Di samping membaca Al-Qur’an sebagai teks, ia juga menempatkan Alquran sebagai makna yang hidup, yang berbicara pada problem kontemporer. Ia menjadikan Fazlur Rahman sebagai jembatan untuk berpikir kritis tanpa meninggalkan akar keislaman.
Jejak panjang pengabdiannya terekam dalam sejarah kelembagaan INISNU, dan kemudian UNISNU. Beliau pernah menjabat sebagai Kepala Biro UKKA INISNU (1990–1992), Pembantu Rektor II INISNU (2007–2011), serta Wakil Rektor I UNISNU (2013–2016), sebelum akhirnya mengemban amanat sebagai Rektor. Setiap peran dijalankan bukan sebagai beban administratif semata, tetapi sebagai ladang amal intelektual.
BACA JUGA: Polres Jepara Imbau Masyarakat Tidak Takut Laporkan Aksi Premanisme
Salah satu kualitas paling langka dari Dr. Sa’dullah adalah kemampuannya menjaga kesejukan di tengah arus panas konflik. Saat hubungan antara PCNU Jepara dan YAPTINU sempat membeku dalam ketegangan, beliau tidak memilih sisi untuk memperkeruh suasana. Ia hadir sebagai penyeimbang, sebagai juru damai dalam diam. Ia tidak lantang di forum terbuka, tapi gerakannya terasa; membangun komunikasi, menahan diri dari komentar yang memicu ketegangan, dan mengarahkan wacana kembali pada nilai dasar “kemaslahatan umat” dan keberlangsungan institusi.
Sikap adem dan dewasa inilah yang menjadikannya tidak sekadar pemimpin administratif, tetapi “ruhul jami’ah” atau roh dari universitas itu sendiri. Ia menolak menjadikan konflik sebagai ajang menang-kalah, tetapi menjadikannya sebagai momen refleksi kolektif. Dalam dirinya, Pierre Bourdieu seolah menemukan bentuk praksisnya, yaitu sebagai intelektual yang sadar penuh bahwa universitas bukan sekadar institusi, tetapi medan konstruksi moral bersama.
Momen lain yang mencerminkan kelapangan dan keberanian intelektual beliau adalah ketika dengan ringan hati menerima permintaan saya untuk menulis pengantar buku “Pendidikan Multikultural di Pesantren Syiah”. Sebuah topik yang boleh jadi bagi banyak akademisi masih menjadi wilayah yang penuh kehati-hatian. Tapi bagi beliau, ilmu dan keberagaman adalah ruang dialog, bukan batas.
Ia menulis bukan untuk membela, tetapi untuk membuka ruang pemahaman. Baginya, pesantren, baik Sunni maupun Syiah, adalah lumbung nilai kebangsaan dan kemanusiaan, yang seharusnya didekati dengan semangat keilmuan dan keadilan epistemik.
BACA JUGA: Bupati Jepara dan Duta Besar Spanyol Kunjungi Sentra Ukir Senenan, Belajar Mengukir Langsung
Tindakannya ini bukan sekadar gestur akademik, melainkan ekspresi dari komitmen keberagamaan yang inklusif. Ia menembus sekat-sekat sempit sektarianisme dan menunjukkan bahwa menjadi “Homo Academicus” juga berarti mesti setia pada keberanian menjunjung tinggi nilai-nilai moral universal: persaudaraan, keterbukaan, dan penghargaan atas kemanusiaan.
Satu kutipan yang tak terlupakan dari beliau, “urusan kampus di kampus, jangan bawa ke rumah.” Kalimat sederhana itu mengandung kedewasaan luar biasa dalam menyikapi konflik dan dinamika organisasi. Ia paham betul bahwa dunia akademik tak lepas dari perbedaan dan tekanan, tapi beliau mengajarkan bahwa profesionalisme, ketenangan, dan pengelolaan konflik secara elegan adalah bentuk nyata dari kecerdasan emosional seorang pemimpin.
Saya sendiri, bersama teman-teman BEM INISNU Jepara, pernah merasakan langsung kebesaran jiwa beliau saat menjabat sebagai Pembantu Rektor II bidang keuangan. Kala itu kami mengajukan tuntutan serius: perbaikan fasilitas kampus dan kenaikan gaji dosen. Kami sadar, apa yang kami lakukan saat itu bisa saja dianggap menyinggung atau menyulut amarah pihak pimpinan. Tapi yang terjadi justru sebaliknya: beliau memfasilitasi ruang mediasi yang tenang dan terbuka.
Sebagai pendiri dan perintis awal INISNU, yang kini berkembang menjadi UNISNU Jepara, beliau menanamkan nilai-nilai keilmuan yang tidak hanya kompeten, tetapi juga beradab. Kampus tidak hanya dibayangkan sebagai mesin produksi gelar, tetapi sebagai medan perjuangan kultural dalam menghadapi derasnya arus pragmatisme dan fundamentalisme.
Dalam perspektif Bourdieu, akademisi kerap terjebak dalam “illusio”, sebuah keyakinan naif bahwa dunia ilmiah bersih dari kekuasaan dan konflik. Dr. Sa’dullah justru melampaui ilusi itu. Ia menyadari bahwa dunia akademik adalah arena yang sarat perjuangan, namun ia memilih untuk tidak larut dalam ambisi, melainkan menciptakan ekosistem keilmuan yang sehat, egaliter, dan konstruktif.
Ia membuktikan bahwa menjadi Homo Academicus bukan berarti tunduk pada hierarki simbolik, melainkan membebaskan ilmu dari belenggu eksklusivisme.
Kini, setelah kepergiannya, kita bukan hanya kehilangan seorang intelektual, melainkan kehilangan jiwa dari sebuah perguruan tinggi NU yang tumbuh bersama dirinya. Akan tetapi, sebagaimana dikatakan Bourdieu bahwa habitus itu menetap dan mengalir lewat struktur sosial, maka warisan intelektual dan etos hidup Dr. Sa’dullah akan terus hadir, baik dalam diskusi kelas, visi kampus, maupun dalam hati para mahasiswa yang ia bentuk.
Selamat jalan, Homo Academicus yang rendah hati.
Ilmumu akan terus hidup dalam napas Unisnu, dan namamu terpatri dalam sejarah sebagai cendekiawan yang tidak hanya menulis tentang kebaikan, tetapi meneladankannya.
“Innā liLlahi wa innā ilaihi rāji‘ūn.”
Ahmad Saefudin, Dosen Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Unisnu Jepara