Oleh: M. Dalhar
Pagi hari, di tengah mengikuti acara haul mbah Muhammad Arif di Banjaran Bangsri, saya mendapat kabar melalui pesan berantai dari whatsapp. Isinya adalah berita tentang kepergian ibu Nyai Hj. Durroh Nafisah Ali Maksum. Pengasuh pesantren al-Quran di Yogyakarta.
“Inna lillahi wa inna ilahi rojiun, eyang uti Nyai Durroh Nafisah sampun kondur ila rahmatillah baru saja pukul 04.50. semoga khusnul khotimah…” Begitu pesan itu tertulis.
Mendapatkan kabar tersebut tiba-tiba rasa haru dan sedih terasa begitu mendalam. Iya, meskipun secara pribadi saya tidak pernah nyantri kepada beliau, akan tetapi terasa begitu dekat. Kedekatan dengan beliau tidak lain adalah beliau menjadi guru dari saudara yang nyantri di Yogyakarta.
Ditambah dengan istri saya yang menjadi santri ndalem beliau beberapa tahun. Intensitas bertemu untuk sowan relatif sering dilakukan. Beberapa tahun belakangan, sebagian besar agenda ke Yogyakarta tidak lepas dari agenda sowan kepada beliau. Atau juga dengan berziarah di Dongkelan kompleks permakaman keluarga besar pesantren Al-Munawir dan Ali Maksum Yogyakarta. Terakhir, kami sowan tidak lama setelah beliau berobat di Malaysia pada bulan Mei lalu.
BACA JUGA: Peringati Hari Bhayangkara ke-79, Polres Jepara Gelar Layanan Gratis di CFD
Kedekatan ditambah dengan putri semata wayang beliau, Hj. Hindun Anisah, MA yang berdomisili di Bangsri, Jepara. Berpasangan dengan KH. Nuruddin Amin atau Gus Nung, bunda Hindun dikaruniai lima putra-putri. Mereka lah mungkin ada yang diharapkan akan meneruskan estafet perjuangan di Yogyakarta.
Ada banyak momen yang berkesan bagi saya dengan Bu Nafis. nama yang sering digunakan oleh para santri untuk menyebut beliau. Adalah pada saat menjelang acara pernikahan tahun 2018. Beliau datang ke rumah untuk memastikan bahwa acara siap untuk dilaksanakan. Bahkan, beberapa perlengkapan pernikahan seperti gaun dan bunga difasilitasi oleh beliau.
Tidak lama setelah itu, saya dan istri sowan kepada beliau di Jogja. Di kediaman beliau, komplek Bait tahfidz (Beta) kami dipersilakan untuk menginap. Berbagai jamuan dan fasilitas juga diberikan kepada kami.
Di kediaman beliau, baik di Komplek Hindun maupun Beta tampak kebersihan dan berbagai aksesoris, utamanya bunga-bunga. Diketahui, beliau suka dengan kegiatan merangkai bunga. Kegiatan merangkai bunga dilakukan disela-sela mengajar para santri tadarus al-Quran. Beberapa santri ndalem ada yang diberi tugas untuk merangkai bunga, membersihkan, atau menata ulang ruang.
Bu Nafis juga menekankan pentingnya menjaga kebersihan, utamanya di lingkungan pesantren. Sampai di Pesantren Ali Maksum ada kebijakan para santri di saat libur panjang harus membawa seluruh kepemilikian dari pondok. Artinya, kamar pesantren termasuk almari di saat libur panjang, kosong dan bersih.
Para santri “mengungsikan” barang-barang kepemilikan dengan menyewa kamar di sekitar pondok. Secara tidak langsung, di samping menjaga kebersihan lingkungan, beliau juga memperhatikan pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitar pesantren.
Inspiratif
Bu Nafis berupaya untuk menjadikan al-Quran bukan sekadar hafalan, tetapi juga laku. Para santri tahfidz yang sowan akan ditanyakan kabar tentang hafalan. Bahkan, sesekali jika jarang tadarus Qur’an akan mimpi bertemu beliau. Semacam isyarat. Hal ini tidak hanya dialami oleh satu atau dua santri.
Setiap tamu yang sowan akan merasa begitu dihormati oleh beliau. Di sudut pesantren, komplek Hindun disediakan ruang untuk para tamu yang menginap. Jangan ditanyakan persoalan kebersihan.
BACA JUGA: Inovasi dan Konsistensi Kawal Keandalan Pembangkit 24/7, PLN UIK Tanjung Jati B Hadirkan Listrik untuk Rakyat
Bu Nafis tipikal pengasuh pesantren yang egaliter. Beliau memperlakukan para santrinya – yang mayoritas usia mahasiswa – sebagai teman untuk menjaga al-Quran. Hal ini tampak dalam kegiatan pembelajaran maupun keseharian. Beliau sering mengajak para santri untuk sima’an (saling menyimak) sambil jalan-jalan (rihlah ubudiyah). Hal ini dilakukan agar para santri selalu tadarus al-Quran, termasuk ketika di kendaraan.
Salah satu prinsip beliau adalah jika diberikan anugerah berupa al-Quran, maka wajib disyukuri dalam bentuk murojaah sepanjang masa sampai meninggal dunia. Beliau merangkul para santri, selalu penuh maaf dan cinta.
Di tengah berbagai fasilitas yang dimiliki, bu Nafis adalah bu nyai yang dermawan kepada banyak orang. Hal itu disaksikan oleh para santri, teman, dan tetangga beliau.
Beliau pernah mengunjungi rumah kami karena ingin melihat usaha hand-craft yang dirintis oleh istri. Betapa bahagianya kami pernah dikunjungi oleh beliau, putri mbah Ali Maksum sekaligus menantu mbah Hamid Pasuruan.
Dari istri, saya sering mendapatkan kisah-kisah dari keluarga besar Bani Ali Maksum maupun Mbah Munawir Krapyak. Mengetahui ketegaran beliau pada usia muda dan berbagai kisah perjuangan beliau sampai akhir hayat menunjukkan bahwa bu Nafis merupakan sosok perempuan yang tangguh.
Bu Nyai Nafisah tidak banyak bertutur. Cerita-cerita tentang kebaikan beliau dapat disaksikan dari sikapnya bersosialisasi setiap hari. Nilai-nilai al-Quran menjadi panduan dalam bersikap. Dari orang-orang terdekat beliau, utamanya para santri, kemuliaan dan kebaikan bu Nyai Durroh Nafisah Ali tampak.
Beliau dimakamkan pada Sabtu (28/6) malam bertepatan dengan 2 Muharram 1447 H di makam Dongkelan, Yogyakarta. Taburan bunga dan lantunan kalimah-kalimah thoyibah mengiringi kepergian beliau. Alfatihah….
M. Dalhar, Pegiat sejarah tinggal di Jepara