Oleh: Dewi Fatimatuzzahroh
Kisah ini datang dari Dr. K. Achmad Slamet, seorang putra bangsa yang ketangguhan, kehausan akan pengetahuan, dan kemandiriannya, menjadi cerminan nyata bagi banyak orang. Lahir pada 14 April 1957, di Mantingan, Jepara, dia anak bungsu dari enam bersaudara, pasangan Mastam dan Raminah. Meskipun tumbuh dalam keluarga sederhana, kecemerlangan dan semangat hidupnya sudah terlihat sejak bangku Sekolah Dasar, bahkan berhasil meraih peringkat pertama saat lulus pada tahun 1969.
Namun, keterbatasan ekonomi menjadi hambatan besar yang tak lantas memadamkan semangatnya. Dia hanya mampu mengenyam pendidikan di Sekolah Teknik (ST) selama satu tahun.
Tak ingin membebani orang tua, Slamet muda memutuskan merantau ke Madiun, dan bekerja sebagai pengukir selama dua tahun, di bawah naungan orang Tionghoa, bernama Affat dan Buntarto.
BACA JUGA: PLN Hadir Untuk Rakyat, Pelatihan Budidaya Ikan Nila Untuk Masyarakat Ujungwatu
Di sela kesibukannya mengukir kayu, kerinduannya terhadap ilmu tak pernah padam, terbukti dengan ia yang tetap menyempatkan diri belajar agama di masjid-masjid sekitar.
Melihat kegigihan dan semangatnya, Buntarto, salah satu majikannya, justru menyarankan Slamet untuk kembali bersekolah di Madiun. Atas dorongan tersebut, Slamet pulang ke Jepara untuk mengurus rapor.
Di sinilah, takdir mempertemukannya dengan Pak Ali Irfan, seorang tokoh di Yayasan Al Islam, yang kemudian menyarankannya untuk melanjutkan pendidikan di Jepara. Dengan dukungan orang tua dan dana pensiun sang ayah, Slamet menyelesaikan pendidikan di PGA Al Islam pada tahun 1974.
Kecintaannya pada ilmu terus menyala. Ia melanjutkan pendidikan di Filial MAN Kudus selama dua tahun, sambil mondok di Pondok Pesantren Ngradenan, di bawah asuhan Kyai Turaikhan.
Di sana, selain mondok dan sekolah, beliau juga bekerja menjadi tukang ukir di tempat Kyai Afnan, dari mana ia mendapatkan amalan khusus, membaca Al-Fatihah untuk kedua orang tuanya setiap selesai salat, sebuah praktik yang masih dijaga hingga kini.
BACA JUGA: Tingkatkan Produktivitas Pertanian, Bupati Jepara Serahkan 17 Unit Alsintan
Setelah lulus dari MAN Kudus pada tahun 1976, perjalanan menuntut ilmu membawanya merantau ke Semarang, untuk menempuh studi di IAIN Walisongo.
Sambil kuliah, beliau menetap di Pondok Pesantren Luhur Dondong Mangka dan tetap bekerja sebagai pengukir untuk membiayai hidup dan studinya. Keahlian ukirnya bahkan diapresiasi oleh Rektor IAIN saat itu, Zarkowi Soeyoeti.
Beliau juga aktif mengikuti kegiatan rohani dan memperdalam kajian kitab kuning, bersama KH. Abdullah Umar Al-Hafidz.
Dewi Fatimatuzzahrah
Pada tahun 1984, beliau berhasil meraih gelar Sarjana Muda (BA), dari Fakultas Dakwah Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) dan melanjutkan ke jenjang S1. Bahkan, pernah merantau ke Jakarta untuk mengukir di bandara, guna melunasi biaya kuliahnya yang tertunggak.
Beliau kemudian mengambil Akta IV di Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, dan lulus pada tahun 1996, dengan dedikasi luar biasa, pulang-pergi Jepara–Semarang selama kuliah.
Tahun 1989 menjadi titik awal pengabdian formalnya sebagai guru di MTs Sultan Hadlirin Mantingan, dan turut mendirikan Madrasah Aliyah (MA) Mantingan. Pada tahun yang sama, beliau mulai mengajar sebagai dosen di INISNU Jepara.
Untuk memenuhi kualifikasi dosen, beliau melanjutkan studi S2 dan lulus pada tahun 2006.
Karier akademiknya terus menanjak, pada tahun 2008, beliau diangkat sebagai Wakil Dekan III Fakultas Dakwah dan Komunikasi di INISNU. Saat itu, beliau memilih fokus penuh sebagai dosen dan meninggalkan profesi guru aliyah demi menjalankan tugas pendidikan tinggi secara penuh, termasuk mengurus sertifikasi dosen di Jakarta.
Selain aktif di dunia pendidikan, Dr. Achmad Slamet juga aktif di organisasi keagamaan, khususnya Nahdlatul Ulama (NU). Ia pernah menjadi anggota MWC NU Tahunan dan menjadi pencetus nama “BMT Guna Lestari” sebagai bentuk kepedulian terhadap ekonomi umat.
Kehidupan berumah tangga, dimulai pada usia 33 tahun, dengan menikahi Nidaul Khasanah dan dikaruniai empat orang anak.
Ketika menghadapi masalah ekonomi pasca menikah, beliau sempat kembali ke Jakarta sebagai pengukir, namun justru mengalami berbagai musibah, termasuk penipuan.
BACA JUGA: Tingkatkan Profesionalisme Polwan, Propam Polres Jepara Gelar Gaktibplin
Kondisi ini membuat seorang tokoh menyarankannya untuk kembali dan menetap di Jepara. Setelah kembali, beliau mencari ketenangan spiritual dengan sowan ke beberapa kyai, termasuk Kyai Afif di Bangsri, yang menyarankan untuk mengikuti Majelis Nariyah.
Di majelis tersebut, muncul aspirasi masyarakat untuk mengganti petinggi desa, dan nama beliau mencuat sebagai calon. Awalnya menolak, namun dorongan dari gurunya, Mastain Ahmad, membuatnya menerima amanah tersebut. Akhirnya, Dr. Achmad Slamet menjabat sebagai Petinggi Desa Mantingan dari tahun 1999 hingga 2009.
Setelah itu, beliau memilih keluar dari dunia birokrasi dan politik, kembali ke dunia pendidikan, dan mengejar gelar doktoral.
Pada tahun 2013, beliau menempuh Program Doktor di IAIN Walisongo Semarang, dan berhasil lulus pada tahun 2018 dengan disertasi setebal 500 halaman, Bahkan, mendatangi berbagai narasumber di Jepara untuk melengkapi penelitiannya, dibantu oleh amalan dari beberapa kyai agar dipermudah dalam menyelesaikannya.
Saat ini, beliau menjabat sebagai Ketua Yayasan Masjid dan Makam Sultan Hadlirin Mantingan Jepara sejak tahun 2020.
Beliau juga aktif mendukung pelestarian sejarah lokal, termasuk suksesnya Museum Ratu Kalinyamat di Jepara.
Perjalanan hidup Dr. Achmad Slamet, dari anak desa sederhana hingga menjadi doktor, dosen, dan tokoh masyarakat, menjadi bukti nyata bahwa dengan tekad, kerja keras, dan ketulusan, segala keterbatasan bisa dilampaui.
Beliau tumbuh sebagai pribadi rendah hati, intelektual, religius, dan menginspirasi banyak orang. Pesan yang selalu ia sampaikan adalah, “Jangan mudah putus asa dalam mencari ilmu. Karena kita sudah tahu, mencari ilmu itu Minal Mahdi Ilallahdi (dari buaian hingga liang lahat). Tidak ada kata berhenti untuk mencari ilmu, bahkan sampai tua pun kita harus tetap berusaha belajar.” Sebuah prinsip hidup yang beliau pegang erat, dan kini, menjadi obor semangat bagi keluarganya.
Dewi Fatimatuzzahroh, Mahasiswi Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam Fakultas Komunikasi dan Desain Unisnu Jepara.