Oleh: Tahiyatur Ratih
Ketika saksi anak ditanyai dengan nada intimidatif, atau ketika seorang korban bunuh diri meninggalkan lebih banyak tanya daripada pesan, di situlah kita sadar bahwa hukum butuh sentuhan psikologi.
Di tengah gelombang kasus kekerasan seksual anak, pembunuhan berantai, hingga kematian misterius yang tak kunjung terungkap, Indonesia masih kerap mengandalkan metode investigasi konvensional.
Sementara dunia sudah melangkah jauh: psikologi forensik menjadi kompas dalam membimbing hukum untuk tidak hanya tegas, tapi juga adil dan manusiawi.
Kajian terhadap 12 jurnal psikologi forensik terkini menunjukkan aspek-aspek yang terbukti efektif dan bisa diterapkan di Indonesia: Cognitive Interview (CI), Criminal Profiling, Psychological Autopsy (PA), dan Lie Detection.
Sayangnya, implementasinya masih terhambat oleh minimnya tenaga ahli, resistensi budaya hukum yang kaku, dan ketiadaan regulasi spesifik.
Wawancara Kognitif: Anak Bukan Objek Interogasi
Cognitive Interview terbukti meningkatkan kemampuan anak usia operasional konkret (10–12 tahun) dalam mengingat dan menyampaikan informasi secara utuh.
Dalam studi eksperimen oleh Pratiwi (2023), anak-anak yang diwawancarai dengan CI menunjukkan hasil signifikan lebih baik dibanding yang menggunakan metode biasa (sig. 0.012 < 0.05)
Psychological Autopsy: Mendengar Korban yang Tak Bisa Lagi Bicara
Dalam konteks kematian tidak wajar, psychological autopsy telah terbukti mampu merekonstruksi keadaan psikologis korban. Studi Khabibah et al. (2022) terhadap kasus di Bali dan Jawa Timur menyatakan bahwa PA dapat mengungkap riwayat depresi, konflik relasional, hingga penyalahgunaan zat sebagai latar kematian
Criminal Profiling: Bukan Sekadar Menebak Pelaku
Dalam kasus pembunuhan berantai, investigasi sering terjebak pada pengakuan atau asumsi visual. Profiling berbasis tipologi FBI organized vs disorganized killer telah lama diterapkan di AS. Profil psikopat seperti Ted Bundy atau Unabomber digunakan untuk menyusun strategi penyelidikan yang lebih terarah
Lie Detection: Valid, Tapi Masih Dianggap Tabu
Lie detection seperti polygraph memang belum diakui sebagai alat bukti utama dalam KUHAP. Namun menurut Syam et al. (2017), hasilnya bisa menjadi bukti petunjuk atau surat selama dilakukan oleh psikolog forensik yang kompeten
Saatnya Bertindak dengan SAHIH
Agar kontribusi psikologi forensik tidak tinggal dalam jurnal, tapi nyata di ruang sidang dan ruang penyidikan, berikut langkah-langkah strategis terangkum dalam akronim SAHIH:
S – Standarisasi regulasi nasional
Dorong lahirnya Perma atau revisi KUHAP yang mengakui teknik CI, PA, dan lie detection sebagai alat bantu pembuktian.
A – Alihkan pendekatan interogatif menjadi humanistic
Terapkan wawancara kognitif dan pendekatan trauma-informed terutama untuk saksi anak.
H – Harmonisasi lintas-disiplin
Bentuk tim interprofesional antara psikolog, aparat hukum, dan tenaga medis dalam kasus kekerasan kompleks.
I – Integrasi dalam kurikulum psikologi & hukum
Jadikan psikologi forensik sebagai mata kuliah wajib, lengkap dengan praktik lapangan.
H – Humanisasi sistem peradilan pidana
Psikologi forensik bukan sekadar alat bantu investigasi, tapi nafas moral keadilan: adil tanpa menyakiti.
Hukum yang kuat harus berpijak pada data, bukan sekadar dugaan. Psikologi forensik bukan saingan aparat, tapi sahabat dalam mengungkap kebenaran yang adil dan manusiawi. Indonesia tak hanya perlu mengejar keadilan—tetapi menghadirkannya dengan sahih dan penuh empati.
“Justicia est constans et perpetua voluntas ius suum cuique tribuendi” Hukum adalah kehendak tetap untuk memberikan hak kepada setiap orang.
Tahiyatur Ratih, A.Md., S.Akun., CMT.BNSP, Mahasiswi Magister Psikologi Klinis, Universitas Semarang.