Saatnya Psikologi Forensik Jadi Arus Utama Penegakan Hukum di Indonesia

Oleh: Eko Setiyono

Dalam setiap kasus kriminal, kebenaran bukan hanya dicari—tetapi dibuktikan. Di sinilah peran psikologi forensik menjadi krusial. Sayangnya, di Indonesia, pemanfaatan ilmu ini masih belum optimal. Padahal, di banyak negara, psikologi forensik telah menjadi tulang punggung dalam menyelidiki kejahatan kompleks, memastikan keabsahan kesaksian, serta menilai tanggung jawab pidana pelaku.

Psikologi forensik bukan hanya soal memprofilkan pelaku atau mendeteksi kebohongan. Ini adalah bidang interdisipliner yang menggabungkan ilmu psikologi dengan kebutuhan hukum, mulai dari teknik wawancara berbasis memori seperti Cognitive Interview (CI), asesmen pelaku, hingga otopsi psikologis (psychological autopsy) untuk memahami motif kematian.

Penelitian Pratiwi (2023) dan Palena et al. (2024) menunjukkan bahwa Cognitive Interview dan variasinya seperti 5Ws-CI secara signifikan meningkatkan akurasi memori saksi, termasuk anak-anak korban kekerasan seksual. Sementara itu, teknik lie detection berbasis observasi perilaku dan pola bahasa terbukti mampu mendeteksi ketidakkonsistenan keterangan secara lebih presisi dibanding sekadar intuisi aparat.

Lebih dari itu, criminal profiling dan otopsi psikologis telah digunakan secara efektif di negara-negara maju untuk memahami motif pelaku pembunuhan dan bunuh diri.

Namun di Indonesia, teknik ini masih dianggap sebagai “wilayah asing” yang tidak tercantum jelas dalam prosedur hukum formal. Ini menjadi ironi, karena kita sering dihadapkan pada kasus-kasus pelik yang justru membutuhkan pendekatan berbasis perilaku dan kejiwaan.

Tantangan: Regulasi, SDM, dan Budaya Hukum

Ada tiga tantangan utama dalam mengintegrasikan psikologi forensik ke dalam sistem hukum kita:

Pertama, Ketiadaan regulasi teknis yang mengatur peran psikolog forensik dalam proses penyidikan dan peradilan;

Kedua, Kekurangan tenaga profesional terlatih, terutama yang memiliki pengalaman langsung dalam dunia peradilan;

Ketiga, Budaya hukum yang masih mengedepankan pengakuan tersangka, ketimbang bukti perilaku atau asesmen psikologis ilmiah.

Dalam banyak kasus, seperti kekerasan seksual terhadap anak atau kematian tidak wajar, sistem hukum kita masih cenderung mengandalkan pengakuan dan kesaksian subjektif, tanpa didukung analisis psikologis yang mendalam. Ini membuka celah bagi kekeliruan putusan atau, lebih buruk, kriminalisasi yang salah arah.

Rekomendasi: Integrasi dan Kolaborasi Lintas Disiplin

Jika Indonesia serius ingin membenahi sistem peradilannya, maka integrasi psikologi forensik harus menjadi agenda nasional. Pemerintah perlu:

Pertama, Menyusun kerangka regulasi yang memperjelas peran psikolog forensik dalam investigasi;

Kedua, Mendorong pelatihan terpadu bagi aparat penegak hukum bersama psikolog;

Ketiga, Membangun pusat kajian dan laboratorium forensik psikologi di tingkat kepolisian dan kejaksaan;

Keempat, Meningkatkan kesadaran masyarakat hukum mengenai pentingnya pendekatan berbasis sains perilaku.

Keadilan yang adil bukan hanya soal memenuhi prosedur hukum, tetapi juga soal memahami konteks psikologis para pihak yang terlibat. Psikologi forensik menawarkan jembatan antara fakta dan niat, antara bukti dan makna.

Kini, bola ada di tangan kita: apakah kita ingin terus bertahan pada sistem investigasi yang tradisional dan terbatas, atau mulai membuka jalan bagi sistem hukum yang lebih canggih, manusiawi, dan berbasis bukti ilmiah?

Eko Setiyono, Mahasiswa Magister Psikologi USM

Related posts

Mawardi; Redefinisi Konsep Bernegara Al Umm di Indonesia 

Psikologi Forensik: Pilar Baru Keadilan yang Manusiawi

Ibu Nyai Nafis  yang Saya Kenal