Oleh: Muhammad Ali Burhan
Tradisi To’dok Telok di Kemujan, Karimunjawa, lebih dari sekadar perayaan Maulid Nabi; ia adalah sebuah manifestasi dari ajaran Islam yang murni: cinta kepada Kanjeng Nabi Muhammad SAW.
Tradisi ini, yang sejatinya berasal dari Suku Bugis, telah menjadi milik kolektif berbagai suku di Kemujan, mencerminkan sebuah spiritualitas yang otentik dan membumi.
Di tengah fenomena masyarakat yang lalai terhadap ajaran kasih sayang, To’dok Telok hadir sebagai pengingat akan kesederhanaan dan kebersahajaan dalam mencintai Rasulullah.
BACA JUGA: Jepara Art Carnival 2025 Sukses, Bupati Jepara: Wadah bagi Pengembangan Industri Kreatif, Fashion dan Budaya lokal
Dalam banyak literatur dan praktik keagamaan, kecintaan Nabi kepada umatnya terekam jelas, sebagaimana tertulis dalam Al-Qur’an Surat At-Taubah ayat 128 dan berbagai Hadis dan Shirah Nabawiyah. Kasih sayang Beliau begitu mendalam hingga menjelang wafat pun, kalimat yang terucap adalah “Ummati, Ummati, Ummati”.
Sebagai umatnya, membalas cinta ini adalah kewajiban. Namun, cara mencintai Nabi ini bisa diekspresikan dengan beragam cara, asalkan tidak melanggar syariat.
To’dok Telok adalah salah satu ekspresi budaya yang indah dan jujur, di mana masyarakat secara kolektif menyalurkan kerinduan mereka kepada kekasihnya.
Telur yang sederhana, ditancapkan pada bilah bambu yang dihias, adalah simbol dari kehidupan, kesucian, dan keberkahan. Tradisi ini mengajarkan bahwa untuk berhubungan dengan Nabi, tidak diperlukan perantara rumit dari orang-orang yang dianggap suci atau istimewa.
Masyarakat Kemujan menunjukkan bahwa cinta dapat disampaikan langsung, dari hati yang paling dalam, tanpa perlu validasi dari pihak lain. Ini adalah bentuk hubungan vertikal dan horizontal yang murni.
BACA JUGA: Bupati Jepara Resmikan Je.Creator Weekend dan ASN Berdaya, Perumda Aneka Usaha Dorong Ekosistem Digital
Berbeda dengan fenomena yang kian menjamur di kalangan umat Islam hari ini, di mana seseorang disucikan hanya karena memakai gamis, sorban, atau dianggap memiliki nasab istimewa.
Kecenderungan ini menciptakan hierarki sosial-keagamaan yang rentan terhadap penyalahgunaan, seolah-olah hanya orang-orang tertentu yang memiliki “tiket khusus” untuk lebih dekat dengan Allah dan Rasul-Nya.
Padahal, dalam Islam, semua umat memiliki kedudukan yang sama di hadapan Allah; yang membedakan hanyalah ketakwaan.
To’dok Telok berfungsi sebagai antitesis terhadap fenomena ini. Tradisi ini menegaskan kembali bahwa nilai-nilai keagamaan harus berakar pada spiritualitas yang tulus dengan bersandar pada ilmu, bukan pada penampilan fisik dan pengakuan diri.
Masyarakat Kemujan, dengan kesederhanaan dan kebersahajaannya, menunjukkan bahwa cinta kepada Nabi dapat terwujud dalam sebuah perayaan yang merangkul semua orang, tanpa memandang suku atau status.
Tradisi Sebagai Jembatan Pembelajaran
Dalam konteks modern di mana pengetahuan tentang Nabi semakin banyak didominasi oleh media digital, tradisi seperti To’dok Telok menjadi sangat relevan.
Jika internet menyediakan “pengetahuan,” maka guru, kiai, atau penutur langsung menyediakan “keteladanan” dan “kedalaman batin.” Tradisi ini memungkinkan transfer pengetahuan secara langsung dari hati ke hati, dari guru kepada murid.
Anak-anak dan generasi muda melihat langsung bagaimana orang tua dan sesepuh mereka mengekspresikan cinta kepada Nabi melalui tindakan nyata. Ini adalah proses pembelajaran yang sempurna, di mana ajaran tidak hanya dihafal, tetapi juga dirasakan dan dihidupkan.
To’dok Telok bukanlah sekadar tradisi, tapi juga merupakan adat istiadat yang mengajarkan nilai cinta akan ke-ilahi-an dan kemanusiaan. Ia mengajarkan toleransi dengan menyatukan beragam suku, mengajarkan gotong royong melalui proses persiapan yang kolektif, dan yang paling penting, mengajarkan kemurnian akidah dengan menolak perantara dalam mengekspresikan cinta kepada Nabi.
Dalam sebuah dunia yang semakin kompleks, tradisi ini adalah sebuah oase yang mengingatkan kita akan keindahan spiritualitas yang sederhana, tulus, dan inklusif.
Ia mengajarkan bahwa cinta sejati kepada Nabi Muhammad adalah cinta yang tidak berdasarkan pada penampilan fisik atau ego ke-aku-an, tetapi yang terpancar dari hati yang penuh ketulusan dan kerinduan. (Wallahu A’lam)
Muhammad Ali Burhan, Pengurus PC LESBUMI NU JEPARA