#BoikotTrans7 dan Krisis Empati Budaya pada Pesantren

Oleh: Dr. Muh Khamdan

Gelombang tagar #BoikotTrans7 yang mendadak viral di berbagai platform media sosial bukan sekadar letupan emosional para santri dan alumni pesantren, tetapi juga menjadi alarm sosial tentang rapuhnya jembatan pemahaman antarbudaya di Indonesia.

Tayangan program Expose and Sensor Trans7 pada 13 Oktober 2025, yang menyoroti kehidupan pesantren dengan judul provokatif “Santrinya minum susu aja kudu jongkok, emang gini kehidupan di pondok?”, telah menyinggung simbol-simbol penghormatan yang sakral dalam tradisi santri.

Dalam teori psikologi sosial, reaksi kolektif seperti ini disebut defensive cultural response, sebuah bentuk pembelaan spontan dari kelompok yang merasa identitasnya diserang atau disalahpahami oleh pihak luar.

BACA JUGA: Jepara Gandeng UGM, Tata Kawasan Wisata Pesisir dengan Sentuhan Sains

Di sini, pesantren bertindak sebagai entitas sosial dengan identitas kuat, yang memiliki nilai, simbol, dan ritual khas yang membentuk kesatuan psikologis komunitasnya. Ketika simbol-simbol itu diganggu oleh framing media yang keliru, reaksi sosial menjadi tak terhindarkan.

Pesantren dalam pandangan Gus Dur merupakan sebuah subkultur, yakni dunia kecil yang hidup berdampingan dengan kebudayaan besar masyarakat Indonesia, tetapi memiliki sistem nilai, bahasa, dan pandangan hidup sendiri.

Subkultur pesantren membangun relasi sosial berbasis adab, ketundukan, dan penghormatan terhadap guru. Di sinilah letak kesalahpahaman publik luar, ketika disiplin dimaknai sebagai penindasan, penghormatan sebagai feodalisme, dan pengabdian sebagai perbudakan.

Bagi masyarakat pesantren, tindakan seperti jongkok ketika menerima sesuatu dari kiai, berebut berkah air minum, atau membersihkan rumah sang guru, bukanlah bentuk subordinasi sosial. Dalam bahasa psikologi eksistensial, itu merupakan manifestasi cinta spiritual.

BACA JUGA: PLN UIK Tanjung Jati B melalui YBM Salurkan Santunan untuk Guru Ngaji di Desa Petekeyan

Perwujudan kesadaran diri bahwa kebermaknaan hidup muncul dari penghormatan dan pelayanan kepada sosok panutan. Dalam subkultur ini, “merendah” bukan berarti hina, melainkan cara menjaga keseimbangan batin dan hubungan sosial.

Tayangan Trans7 yang memotret perilaku santri secara sepotong tanpa konteks nilai spiritual di baliknya adalah bentuk bias budaya. Media, dalam logika kognitif sosial, sering kali mengonstruksi realitas melalui sudut pandang dominan yang lebih mudah dipahami khalayak umum.

Namun, realitas pesantren tidak bisa direduksi menjadi sekadar tontonan eksotis atau anomali sosial. Ia adalah dunia nilai yang harus didekati dengan empati budaya, bukan sensasi visual.

Di sinilah peran introspeksi diperlukan, bukan hanya bagi pihak media, tetapi juga bagi kalangan pesantren sendiri. Dalam dinamika komunikasi publik modern, pesantren perlu menyadari bahwa dunia luar membaca simbol mereka dengan perangkat persepsi yang berbeda.

Tradisi yang dianggap luhur di internal pesantren bisa tampak aneh bagi masyarakat yang dibentuk oleh rasionalitas modern. Maka, pesantren perlu membuka diri terhadap dialog lintas budaya, tanpa kehilangan jati diri.

Sebaliknya, media arus utama harus mengedepankan etika representasi. Dalam kerangka teori komunikasi lintas budaya, setiap kelompok sosial memiliki “konteks makna” yang berbeda.

Menampilkan ritual pesantren tanpa memahami konteksnya sama dengan menampilkan potongan doa tanpa memahami isi kitab suci. Ini bukan sekadar kelalaian teknis, melainkan kegagalan etis dalam memahami makna simbolik sebuah subkultur.

Permintaan maaf Trans7 patut diapresiasi sebagai langkah awal, namun peristiwa ini menyisakan pekerjaan besar, membangun literasi budaya pesantren bagi dunia media. Dalam masyarakat multikultural, pemahaman lintas nilai menjadi bagian dari perdamaian sosial (cultural peacebuilding), Perdamaian bukan hanya soal tiadanya konflik fisik, tetapi juga tentang hadirnya rasa saling menghormati antar budaya yang berbeda cara pandang.

Bagi para santri dan kiai, insiden ini mestinya juga menjadi momentum refleksi. Dunia pesantren tak lagi hidup dalam ruang eksklusif. Ia kini berada di ruang digital yang menembus batas tembok dan kitab kuning.

Maka, komunikasi nilai-nilai pesantren harus menemukan bahasa baru yang bisa dimengerti publik modern tanpa menghilangkan esensi spiritualnya. Tradisi luhur harus dikemas dengan narasi yang hangat dan inklusif.

BACA JUGA: Bubarkan Aksi Balap Liar, Tim Patroli Siraju Polres Jepara Amankan  Puluhan Motor

Fenomena berebut berkah atau sowan dengan membawa uang sering dipahami keliru sebagai praktik tak rasional. Padahal, dalam perspektif psikologi transpersonal, tindakan itu adalah bentuk spiritual giving,  keyakinan bahwa memberi kepada guru akan membuka kelimpahan hidup.

Ironisnya, masyarakat modern yang menilai tindakan itu kolot justru membayar mahal untuk mengikuti pelatihan motivasi dengan ajaran serupa: memberi membuka pintu keberlimpahan.

Perbedaan antara masyarakat pesantren dan masyarakat modern bukan pada substansi nilai, melainkan pada bahasa dan simbol yang digunakan. Pesantren mengekspresikan spiritualitasnya dengan simbol-simbol tradisional, sementara masyarakat modern mengekspresikannya dengan istilah psikologis. Di sinilah pentingnya membangun jembatan interpretasi budaya agar keduanya tidak saling salah paham.

Kemarahan warganet atas tayangan Trans7 dapat dibaca bukan hanya sebagai bentuk kemarahan kultural, tetapi juga sebagai pernyataan eksistensi. Pesantren menuntut diakui, dihormati, dan dipahami secara utuh sebagai bagian penting dari kebudayaan bangsa. Ia bukan sisa masa lalu, melainkan sumber nilai moral yang menuntun bangsa ini bertahan dalam pusaran modernitas.

Kasus ini akhirnya menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak. Bagi media, kecepatan tayang tak boleh mengalahkan kedalaman pemahaman. Bagi pesantren, keterbukaan komunikasi menjadi syarat penting bagi pelestarian nilai.

Dan bagi bangsa ini, perdamaian kultural hanya bisa tumbuh ketika kita berhenti menertawakan perbedaan, dan mulai mendengarkannya dengan hati yang tenang.

Dr. Muh Khamdan, Doktor Studi Perdamaian UIN Jakarta; LTNNU MWCNU Nalumsari Jepara

Related posts

Jungkir Balik Narasi dan Logika

Tragedi Ekoterorisme Sumatera dan Pelajaran Pahit untuk Hari Anti Korupsi Sedunia

Bupati Jepara, Mewujudkan Mimpi dan Membangun Harapan