Latsar CPNS RRI: Jangan Biarkan Lingkungan Kerja Jadi Toksik

SEMARANG | GISTARA.COM – Dalam dunia kerja yang kian dinamis, menciptakan keharmonisan di tengah perbedaan karakter dan budaya kerja bukan sekadar pilihan, melainkan kebutuhan. Dr. Muh Khamdan, widyaiswara Balai Diklat Hukum Jawa Tengah, Kementerian Hukum, menegaskan hal itu di hadapan sepuluh peserta Pelatihan Dasar (Latsar) Calon Pegawai Negeri Sipil dari lingkungan Radio Republik Indonesia (RRI). Kegiatan yang berlangsung Senin-Selasa (20-21 Oktober) ini menjadi ruang refleksi mendalam tentang pentingnya membangun lingkungan kerja yang harmonis dan bebas dari perilaku toksik.

“Keharmonisan adalah energi produktif,” ujar Muh Khamdan membuka sesi pelatihan. Baginya, suasana kerja yang positif dan suportif adalah fondasi dari kinerja organisasi yang sehat. Ia menekankan bahwa harmoni bukan berarti tanpa perbedaan, melainkan kemampuan untuk merawat perbedaan menjadi kekuatan bersama.

Sebanyak sepuluh peserta dari RRI Jambi, Pekanbaru, Ranai, Tarakan, Bandar Lampung, Surakarta, Nabire, hingga RRI Pusat mengikuti sesi pembelajaran interaktif ini. Dalam forum itu, Khamdan menyoroti fenomena “sugar coating” di dunia kerja, yaitu sikap manis di luar namun menyimpan kepahitan di dalam, sebagai gejala yang kerap menjadi benih lingkungan toksik di birokrasi modern.

BACA JUGA: Jaga Daya Beli Masyarakat, Tim Satgas Pangan Polda Jateng dan Bulog Jawa Tengah Pantau Langsung Harga Beras di Pasaran

“Budaya kerja yang harmonis hanya bisa tumbuh jika ada keberanian untuk jujur dan saling menghargai,” tegas Khamdan.

Ia mengingatkan para ASN muda agar tidak terjebak dalam kepura-puraan atau persaingan tidak sehat yang hanya melemahkan solidaritas tim.

Subandi, peserta asal RRI Jambi, menuturkan pengalamannya sebagai ASN muda dari Magelang yang harus beradaptasi dengan karakter sosial-budaya Jambi.

“Harmoni itu bukan berarti sama, tapi bagaimana kita bisa memahami kesamaan dan menerima perbedaan. Itu kunci kerja bareng tanpa gesekan,” ujarnya.

Ia mengaku bahwa adaptasi menjadi bentuk kedewasaan sosial dalam menghadapi dinamika kerja di lapangan.

Sementara itu, Wivia Tiara Putri, ASN muda RRI Nabire, Papua Tengah, yang berasal dari Padang, Sumatera Barat, menilai bahwa harmoni di tempat kerja adalah bentuk kesadaran spiritual dan profesional.

“Teman kantor itu bukan sekadar rekan kerja, tapi seperti saudara dekat. Kita menghabiskan lebih banyak waktu dengan mereka dibanding dengan keluarga,” katanya lembut, seraya menambahkan bahwa membangun harmoni adalah bagian dari rasa syukur karena organisasi menjadi sumber penghidupan bersama.

Khamdan memaparkan bahwa lingkungan kerja toksik biasanya muncul akibat “ketidakadilan perasaan”. Situasi di mana seseorang merasa tidak dihargai, tidak didengarkan, atau diperlakukan berbeda. Ketika ego dan keinginan untuk menang sendiri lebih dominan, maka lahirlah persaingan destruktif dan komunikasi yang tersumbat.

Untuk menanggulangi hal itu, ia menawarkan tiga strategi sederhana namun efektif, yaitu bangun empati, komunikasi terbuka, dan saling apresiasi. Empati menumbuhkan pemahaman, komunikasi menjaga keterhubungan, dan apresiasi memberi energi positif bagi keberlanjutan semangat kerja tim.

Lebih jauh, ia menautkan nilai-nilai harmonis ini dengan prinsip budaya bangsa. “Dalam falsafah Jawa, kita mengenal pepatah ‘berat sama dipikul, ringan sama dijinjing.’ Itu bukan sekadar ungkapan, tapi panduan etika kerja kolektif,” tutur Khamdan.

Spirit gotong royong, katanya, harus dihidupkan dalam setiap ruang kerja, termasuk di lembaga penyiaran publik seperti RRI yang menjadi wajah suara bangsa.

Kehadiran Khamdan di tengah ASN muda RRI bukan hanya sebagai instruktur, tetapi juga sebagai katalis kesadaran baru tentang pentingnya adaptasi dalam dunia kerja modern. Ia mengajak peserta untuk memahami bahwa keharmonisan tidak lahir dari keseragaman, tetapi dari kemampuan setiap individu untuk beradaptasi dan berkolaborasi.

Pelatihan ini pun meninggalkan kesan mendalam bagi peserta. Mereka merasa mendapatkan bukan hanya ilmu birokrasi, tetapi juga insight kemanusiaan.

“Kami jadi paham bahwa harmoni itu tidak muncul dari sistem, tapi dari niat setiap individu untuk saling memahami,” ujar salah satu peserta dari RRI Surakarta, Tri Winarsih.

Di penghujung kegiatan, Khamdan menutup dengan pesan reflektif. “Organisasi bukan sekadar tempat mencari nafkah, tapi tempat membangun makna.”

Dengan meneguhkan nilai harmonis, para ASN muda diharapkan mampu menciptakan lingkungan kerja yang positif, adaptif, dan kolaboratif. Tempat di mana setiap suara memiliki ruang, dan setiap perbedaan menjadi sumber kekuatan untuk mencapai tujuan bersama. (AD)

Related posts

Widyaiswara Badiklat Hukum Jateng dan Pusbangkom MKMB Kemenag Siapkan Modul Ekoteologi Nasional

Tidak Hanya Lakukan Pengalihan Arus Lalin, Polrestabes Semarang Bantu Warga Lintasi Genangan Air Kaligawe-Genuk

ASN Harus Jadi Insan Pembelajar