Oleh: Dr. Muh Khamdan
Peringatan Hari Santri Nasional 2025 seharusnya menjadi momentum reflektif bagi bangsa Indonesia, bukan sekadar seremoni historis yang mengulang glorifikasi masa lalu. Santri memang telah menorehkan peran penting dalam perjalanan bangsa, terutama dalam jihad kebangsaan melawan penjajahan. Namun dalam lanskap sosial budaya kontemporer, peran santri perlu diredefinisi.
Santri hari ini dihadapkan pada tantangan baru, bagaimana menjadi aktor modern dalam dunia yang diwarnai disrupsi teknologi dan ketidakpastian global.
Dalam perspektif antropologi budaya, pesantren merupakan salah satu institusi sosial tertua di Nusantara yang berhasil mempertahankan otoritas moral sekaligus sistem transmisi pengetahuan Islam tradisional.
Namun di sisi lain, pesantren juga seringkali terjebak dalam apa yang disebut Clifford Geertz sebagai cultural lag. Keterlambatan budaya dalam menyesuaikan diri terhadap perubahan struktur sosial dan ekonomi modern.
Ketika negara modern membutuhkan teknokrat dan diplomat untuk membangun serta menjaga kemerdekaan, santri lebih memilih “jalur langit”, yaitu doa, wirid, dan spiritualitas sebagai bentuk perjuangan.
BACA JUGA: Evaluasi Kabupaten Sehat 2025, Bupati Jepara Ajak Perkuat Kolaborasi Tingkatkan Kualitas Kesehatan Masyarakat.
Fenomena tersebut bukan kesalahan, melainkan refleksi dari orientasi epistemologis santri yang menempatkan kebenaran transendental di atas kebenaran instrumental.
Namun dalam konteks pembangunan bangsa, absennya orientasi teknokratik di kalangan santri berdampak pada minimnya representasi santri dalam struktur awal negara.
Dari delapan gubernur pertama di Indonesia, tidak satu pun berasal dari kalangan pesantren. Dari 17 menteri pertama kabinet Soekarno, hanya dua yang berlatar santri, yaitu Abikoesno Tjokrosujoso dari PSII sebagai Menteri Perhubungan Pekerjaan Umum dan KH. Wahid Hasyim sebagai menteri negara tanpa kementerian.
Kondisi ini menunjukkan bahwa santri belum siap sepenuhnya menjadi elite modern pada masa awal kemerdekaan. Peran mereka lebih dominan dalam ranah moral dan spiritual ketimbang teknokratis.
Sementara kaum nasionalis dan priyayi telah lama berinteraksi dengan sistem pendidikan Barat yang menyiapkan mereka sebagai birokrat, diplomat, dan perancang kebijakan publik. Akibatnya, pesantren terlambat memasuki ruang-ruang strategis yang menentukan arah bangsa.
BACA JUGA: Jepara Gandeng UGM, Tata Kawasan Wisata Pesisir dengan Sentuhan Sains
Namun sejarah tetap mencatat kebangkitan. Dari rahim pesantren lahir KH. Abdurrahman Wahid sebagai Presiden keempat Republik Indonesia dan KH. Ma’ruf Amin sebagai Wakil Presiden ke-13. Ini menunjukkan adanya pergeseran identitas santri dari pinggiran ke pusat kekuasaan.
Tetapi jika kita menelisik lebih dalam, kemajuan ini belum bersifat struktural. Secara umum, kehidupan pesantren masih stagnan dalam aspek kelembagaan, manajemen keselamatan, hingga penguasaan sains modern.
Tragedi ambruknya bangunan asrama pesantren Al-Khoziny, Buduran, Sidoarjo, yang menewaskan 63 santri dan melukai lebih dari seratus lainnya, menjadi cermin getir. Di balik kesalehan dan kedisiplinan spiritual, masih tersembunyi kerapuhan tata kelola dan pengawasan mutu infrastruktur pesantren.
Kasus ini menyingkap realitas bahwa sebagian pesantren belum menjadikan keselamatan dan kesehatan lingkungan sebagai bagian dari etika Islam yang integral. Padahal, Islam menegaskan pentingnya menjaga nyawa (hifz al-nafs) sebagai maqashid syariah tertinggi, demikian juga menjaga kebersihan sebagai landasan penting dari keimanan.
Dalam kerangka antropologi masyarakat pesantren, hal ini dapat dijelaskan melalui pola patronase dan loyalitas yang kuat pada figur kiai. Struktur sosial yang hierarkis menyebabkan inovasi teknis seringkali terhambat oleh dogma karismatik.
Modernisasi dianggap sebagai ancaman terhadap keaslian tradisi. Akibatnya, pesantren sulit menyesuaikan diri dengan dunia yang kian diwarnai prinsip efisiensi, keselamatan kerja, dan akuntabilitas publik. Begitulah kiranya saat Trans7 menjadikan pesantren sebagai komoditas media dalam framingnya, kalangan pesantren seketika melawan dan marah, namun sedikit yang menyarankan untuk introspeksi atas budaya internal di pesantren.
Dr. Muh Khamdan
Padahal, dunia saat ini bergerak menuju tatanan VUCA, Volatility, Uncertainty, Complexity, and Ambiguity. Dalam situasi seperti ini, kemampuan adaptif, fleksibilitas berpikir, dan literasi teknologi menjadi kebutuhan pokok.
Santri yang hanya bertumpu pada teks klasik tanpa kemampuan menafsir realitas baru akan terperangkap dalam romantisme masa lalu. Padahal, inti tradisi Islam Nusantara justru terletak pada ijtihad sosial, kemampuan menafsir ulang nilai Islam sesuai konteks zaman.
Santri yang telah menguasai khazanah Qur’an, Hadis, dan Fiqh seharusnya melangkah lebih jauh, mengintegrasikan ilmu agama dengan sains dan teknologi.
Di masa depan, kita perlu melihat santri yang banyak menjadi dokter spesialis, mengelola klinik kesehatan di setiap masjid, mengabdi untuk umat dengan pendekatan medis dan spiritual.
Kita butuh santri-bankir yang menguasai manajemen keuangan syariah dan mengembangkan lembaga pembiayaan umat yang profesional dan transparan.
BACA JUGA: PLN UIK Tanjung Jati B melalui YBM Salurkan Santunan untuk Guru Ngaji di Desa Petekeyan
Lebih jauh lagi, bayangkan santri-arsitek yang merancang masjid, rumah sakit, dan fasilitas publik dengan memperhatikan prinsip fiqih najis, estetika Islam, serta standar keselamatan bangunan modern.
Inilah bentuk baru ijtihad profesional, di mana pengetahuan agama menjadi fondasi etis dan pengetahuan modern menjadi instrumen kemaslahatan. Dunia pesantren harus bertransformasi dari lembaga tradisional menjadi ekosistem inovasi keilmuan.
Untuk mencapai itu, sinergi kebijakan pendidikan nasional sangat dibutuhkan. Presiden Prabowo Subianto, misalnya, telah menegaskan penambahan dana pendidikan nasional melalui LPDP pada 2026, dengan tambahan Rp13 triliun dari hasil sitaan korupsi minyak sawit (CPO).
Kebijakan ini membuka peluang besar bagi santri untuk menempuh pendidikan tinggi di bidang sains, teknologi, kedokteran, dan ekonomi syariah. Namun peluang tidak akan berarti tanpa kesiapan mental dan kelembagaan pesantren untuk ikut serta.
Teori sosiologi budaya santri mengajarkan bahwa transformasi tidak hanya dimulai dari kurikulum, tetapi juga dari habitus atau pola pikir dan kebiasaan hidup.
BACA JUGA: Polres Jepara Salurkan Puluhan Ton Beras dalam Gerakan Pangan Murah
Pesantren harus menanamkan etos belajar yang terbuka terhadap kritik, penelitian, dan eksperimentasi. Santri perlu dilatih berpikir sistemik dan logis, bukan hanya normatif. Dalam masyarakat yang berubah cepat, ketundukan terhadap teks harus diimbangi dengan kepekaan terhadap konteks.
Islam Nusantara sejatinya memiliki modal kultural besar, meliputi toleransi, gotong royong, dan keseimbangan antara akal dan iman. Modal ini dapat menjadi landasan bagi lahirnya “santri baru”. Generasi yang religius sekaligus rasional, spiritual namun saintifik, tradisional namun progresif.
Pesantren yang bertransformasi ke arah itu akan menjadi pilar peradaban Islam Indonesia yang tidak inferior di hadapan Barat, dan tidak jumud terhadap perubahan zaman.
Hari Santri 2025 seharusnya tidak berhenti pada nostalgia resolusi jihad, tetapi menjadi deklarasi revolusi intelektual santri. Dari “jalur langit” menuju “jalan ilmu”, dari pesantren tradisional menuju universitas peradaban.
Jika pesantren mampu menembus sekat antara teks dan teknologi, antara iman dan inovasi, maka Indonesia 2045 tidak hanya emas secara ekonomi, tetapi juga bercahaya secara spiritual dan intelektual. Itulah tugas sejarah santri, menjaga iman sambil menyalakan akal dalam satu tarikan nafas peradaban, guna mengawal kemerdekaan untuk peradaban dunia.
Dr. Muh Khamdan, Doktor Studi Perdamaian UIN Jakarta; LTNNU MWCNU Nalumsari Jepara