SEMARANG | GISTARA.COM – Di tengah derasnya arus perubahan birokrasi dan tuntutan digitalisasi layanan publik, Dr. Muh Khamdan, Widyaiswara Badiklat Hukum Jawa Tengah, Kementerian Hukum, tampil inspiratif di hadapan para peserta Pelatihan Dasar (Latsar) CPNS dari lingkungan Radio Republik Indonesia (RRI), Kamis (23/10/2025). Dengan gaya tutur reflektif dan membumi, Khamdan menekankan bahwa transformasi kebijakan ASN pasca disahkannya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN bukan sekadar revisi administratif, melainkan lompatan paradigma menuju birokrasi berkelas dunia.
“Negara kini menempatkan ASN sebagai talenta nasional, bukan sekadar aparatur pelaksana. Talenta terbaik bangsa harus dikelola melalui sistem manajemen talenta yang strategis, berkelanjutan, dan terintegrasi,” ujarnya di hadapan sepuluh peserta Latsar yang berasal dari RRI Banda Aceh, Sibolga, Tanjungpinang, Bandar Lampung, Madiun, Ambon, dan RRI Pusat.
Transformasi itu, lanjut Khamdan, mengubah orientasi ASN dari sekadar bekerja sesuai tugas menjadi insan pembelajar yang terus bertumbuh.
“ASN harus menjadi bagian dari learning organization, bukan sekadar working organization. Kita bergerak dari birokrasi statis menuju ekosistem pembelajaran dinamis yang dibingkai oleh semangat corporate university,” paparnya penuh semangat.
BACA JUGA: Jaga Daya Beli Masyarakat, Tim Satgas Pangan Polda Jateng dan Bulog Jawa Tengah Pantau Langsung Harga Beras di Pasaran
Khamdan menjelaskan bahwa pilar utama dari transformasi ini adalah pengembangan kompetensi ASN yang menjadi bagian dari siklus manajemen ASN berbasis 6P, mencakup Perencanaan, Perekrutan, Pengembangan, Penilaian, Promosi, dan Purnabakti. “Keenam proses ini tidak bisa berdiri sendiri. Mereka adalah siklus hidup birokrasi yang menentukan apakah sebuah lembaga bisa mencapai visi Smart ASN 2024, Robust ASN 2030, hingga Competitive ASN 2045,” ungkapnya.
Dalam suasana pelatihan yang penuh dialog, peserta Latsar RRI mendapat suntikan motivasi tentang pentingnya membangun kapasitas diri dan organisasi melalui pembelajaran berkelanjutan.
“Kita tidak bisa lagi mengandalkan pengalaman masa lalu. Dunia berubah cepat. ASN masa depan harus adaptif, agile, dan memiliki daya saing global,” tegas Khamdan sembari mencontohkan bagaimana RRI perlu membangun ekosistem siaran yang berorientasi pada inovasi publik digital.
Sebagai bagian dari agenda ketiga Latsar, Khamdan menggarisbawahi pentingnya pembentukan karakter SMART bagi setiap ASN. Delapan karakter utama itu meliputi integritas, profesionalisme, nasionalisme, wawasan global, jejaring (networking), penguasaan IT dan bahasa asing, hospitality, serta entrepreneurship, menjadi fondasi birokrasi yang tidak hanya tangguh menghadapi perubahan, tetapi juga unggul secara moral dan intelektual.
“Investasi terbaik birokrasi bukan pada aset fisik, melainkan pada manusia yang terus belajar. ASN yang cerdas, berkarakter, dan kompeten adalah wajah baru birokrasi yang melayani dengan hati,” ujarnya menutup sesi dengan nada penuh keyakinan.
Peserta Latsar tampak antusias menanggapi gagasan tersebut. Mereka berdiskusi tentang bagaimana nilai-nilai learning organization bisa diterapkan di lingkungan kerja RRI yang sedang bertransformasi ke arah siaran digital dan multiplatform.
“Kami jadi paham bahwa profesionalisme ASN di RRI bukan hanya soal teknis siaran, tapi juga tentang cara berpikir adaptif dan terus belajar,” kata salah satu peserta dari RRI Ambon, Sinoveliyna Asri Pratiwi.
Khamdan menilai, jika semangat belajar ASN terus tumbuh, maka target Robust ASN 2030 bukan sekadar slogan. “Birokrasi yang kuat adalah birokrasi yang belajar, bukan yang sekadar bekerja. ASN kompetitif akan lahir dari kultur yang menghargai inovasi dan refleksi,” ujarnya menutup sesi pelatihan.
Di akhir acara, suasana pelatihan berubah menjadi refleksi mendalam tentang masa depan birokrasi. Para peserta menyadari bahwa perubahan UU ASN 2023 membawa arah baru bagi aparatur negara: menuju birokrasi pembelajar, tangguh, dan berkelas dunia. Seperti diungkap Khamdan, “ASN yang terus belajar akan menjadi energi perubahan bangsa, bukan karena mereka digerakkan oleh sistem, tapi karena mereka sadar bahwa belajar adalah bagian dari pengabdian.” (AD)