Karya : Ah. Sutresno
Senja baru saja beranjak, saat Rahman turun dari angkot dan pindah ke jalur bus metromini arah Jepara. Ada rindu yang tidak bisa diungkapkan lewat lagu yang dia dengar di radio atau puisi yang biasa dia kirim ke majalah dan surat kabar.
Rindu akan suara pahat kayu yang beradu mencipta sebuah ukiran kayu jati ayahnya, yang membawanya sampai tiga tahun lebih nyantri di sebuah pesantren Al-Falah, Jekulo, Kabupaten Kudus.
Sore itu, setelah berpamitan dengan Kiai dan para pengurus pondok, Rahman pulang tanpa memberitahu ayah dan ibunya. Ia sengaja ingin memberikan kejutan atas selesainya proses belajar di pesantren tersebut.
Terminal Jetak seakan membawa kenangan tidak terlupakan baginya. Serasa baru kemarin dia diantar ayahnya naik bus metromini dari Jepara untuk nyantri di Al-Falah. Tanpa terasa sudah tiga tahun berlalu, dan kini dia sudah lulus Madrasah Aliyah.
Bus metromini yang ditumpangi Rahman melaju pelan di jalanan Jepara yang mulai diselimuti cahaya jingga. Di balik kaca buram, ia melihat toko-toko ukir mulai tutup.
BACA JUGA: Jepara Art Carnival 2025 Sukses, Bupati Jepara: Wadah bagi Pengembangan Industri Kreatif, Fashion dan Budaya lokal
Suara mesin gergaji dari brak mebel digantikan oleh azan dari masjid-masjid kecil dan musala-musala di sepanjang jalan Jepara–Kudus. Hatinya berdebar, bukan karena takut, tetapi karena sudah tidak sabar menginjakkan kakinya di Bumi Kartini, tempat kelahirannya.
Sesampainya di Terminal Jepara, menjelang Magrib, Rahman turun dan berjalan kaki ke Masjid Baitul Izzah di belakang gedung haji. Dia mengambil wudu, lalu salat dengan khusyuk, seolah ingin membasuh segala lelah dan harap yang dia bawa dari Kudus.
Usai berdoa, ia duduk sebentar di serambi masjid. Di sana, ia melihat sekelompok pemuda berkumpul, berbicara lantang. Salah satu dari mereka—berjaket hitam dan membawa selebaran—berkata, “Pukul delapan malam nanti kita kumpul dengan kawan-kawan relawan di depan Stadion Kamal Junaidi.” Rahman tidak begitu memperhatikannya, dia juga tidak mau tahu tentang urusan sekelompok pemuda tersebut.
Dia mengambil mushaf terjemahan Al-Qur’an dari tas ransel hitam miliknya, berniat tadarus Al-Qur’an sebelum melanjutkan perjalanan pulang.
“Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung” (Q.S. Ali Imran: 104).
Sepenggal ayat suci Al-Qur’an tersebut menjadi perenungannya. Betapa pentingnya membela sebuah kebaikan di era yang semakin tidak karuan ini.
Zaman di mana segala informasi baik maupun buruk bebas keluar masuk kepada siapa saja dan di mana saja. Era digital yang jikalau kita tidak punya landasan ilmu dan keimanan yang kuat, kita akan ikut terbawa arus globalisasi yang bisa membawa diri kita dalam sebuah kesesatan dan pergaulan bebas.
Di sinilah peran seorang santri seperti Rahman untuk bisa ikut menjadi benteng bagi kaum muda agar tidak terjerumus dalam arus perkembangan zaman yang memiliki dampak negatif bagi anak muda.
“Rahman!” Sebuah tangan menyentuh pundaknya. Rahman menoleh ke arah asal suara yang memanggilnya. Dia terkejut bukan main melihat seorang pemuda yang tiba-tiba sudah duduk di sampingnya. “Hasan, sedang apa kamu di sini?” jawab Rahman seraya bersalaman dengan sahabat kecilnya waktu MTs dulu.
Ah. Sutresno
Wajah seorang yang dulu sering ia lihat di barisan depan saat lomba pidato antar-MTs, kini tampak lebih keras, lebih dewasa, tetapi matanya masih menyimpan semangat yang sama.
“Bagaimana kabarmu sekarang? Sejak perpisahan MTs dulu katanya kamu mondok di Kudus. Wah, calon Kiai sudah pulang kampung rupanya,” celoteh Hasan pada sahabat yang tiga tahun tidak bertemu.
“Kamu bisa saja, San.” Rahman menutup mushaf dan memasukkan kembali ke tas ranselnya. “Alhamdulillah, kabarku baik, San. Bagaimana dengan rencanamu dulu, katanya kamu mau bikin TBM Aksara di kampung?”
“Nanti aku ceritakan lebih mendalam lagi. Bagaimana kalau kita sekarang ngopi dan cari makan dulu? Di dekat terminal ada warung kucingan yang menunya cukup lengkap. Ada sate jengkol, menu kesukaanmu… hehehe.” Kedua sahabat itu berjalan ke arah terminal sambil tertawa di sepanjang jalan.
****
“San, teman-teman sudah berkumpul. Koordinator aksi malam sudah mengajak kita untuk segera bergerak menuju Kapolres Jepara,” seru salah satu teman Hasan memecah percakapan mereka.
“Kalian kumpul saja dulu, sebentar lagi saya menyusul,” jawab Hasan sambil mempercepat tegukan kopi yang masih panas.
“Ada aksi apa, San?” tanya Rahman pada sahabatnya.
“Malam ini kami dan kawan-kawan pelajar dan mahasiswa mau melakukan aksi damai di depan kantor Kapolres, Man. Ada beberapa tuntutan terkait kasus sahabat Afan Kurniawan, seorang tukang ojek online yang terlindas mobil taktis Brimob di Jakarta, serta beberapa tuntutan terhadap peran Kapolri yang dianggap tidak bisa mengayomi masyarakat,” jelas Hasan panjang lebar.
BACA JUGA: Tumbuhkan Kepedulian Sosial, Bupati Jepara Dukung PPS Baznas Jepara 2025
“Aku juga sempat dengar berita itu dari siaran radio dan koran yang aku baca,” sambung Rahman menimpali penjelasan Hasan.
“Kamu ikut saja nanti, sambil mengamati proses berjalannya aksi tersebut. Kamu tidak buru-buru, kan?”
“Buru-buru sih tidak. Cuma kalau sampai larut enggak enak juga sama ayah dan ibu.”
“Kamu tenang saja.” Hasan tersenyum. “Eh, warung kucingan ini sudah dibooking oleh salah satu anggota dewan untuk kegiatan aksi demo malam ini. Jadi, gratis… hehehe.” Mereka berdua lalu meninggalkan warung kucingan tersebut, berjalan menuju Stadion Kamal Junaidi untuk bergabung dengan yang lain.
Angin malam Jepara berembus pelan, membawa aroma garam dari laut dan debu dari jalanan kota yang mulai sepi. Lampu-lampu toko ukir sudah padam, hanya menyisakan siluet kayu jati yang tergantung di etalase, seperti saksi bisu dari sejarah panjang perlawanan dan ketekunan.
Di depan Stadion Kamal Junaidi, sekelompok pemuda mulai berkumpul. Mereka tidak berteriak, belum. Malam ini bukan tentang keramaian, tetapi tentang persiapan batin. Selebaran dibagikan, poster-poster digulung, dan spanduk dilipat rapi. Di sudut lapangan, seorang pemuda duduk bersila, menulis sesuatu di buku kecilnya—mungkin puisi, mungkin tuntutan.
Hasan berdiri dekat gerbang stadion, mengenakan jaket hitam dan syal merah yang sudah lusuh. Matanya menyapu wajah-wajah muda yang datang satu per satu. Rahman berdiri di sampingnya, cuma memperhatikan sekitar dan tidak tahu harus berbuat apa. Ada yang membawa gitar, ada yang membawa kopi, ada yang hanya membawa api keberanian.
Beberapa saat setelah suara azan Isya berkumandang, massa mulai bergerak. Mereka bergerombol berjalan ke arah timur menuju Kapolres Jepara. Ada yang membentangkan spanduk bertuliskan “Usut Tuntas Kasus Affan Kurniawan dan Copot Kapolri,” ada yang bernyanyi menyanyikan lagu-lagu pergerakan yang belum pernah didengar oleh Rahman.
Panggung orasi diisi oleh masyarakat secara bergantian. Ada seorang ibu yang bercerita tentang anaknya yang dipaksa mengaku sebagai bandar narkoba dan dianiaya oleh polisi, kemudian perwakilan Ojol meminta penegakan supremasi hukum secara adil dan transparan.
BACA JUGA: Buka Aquabike Championship 2025, Bupati Jepara Jajaki Kejuaraan Dunia Aquabike Digelar di Jepara
Koordinator demonstrasi membacakan beberapa tuntutan, di antaranya pencopotan Kapolri, yang kemudian dimintakan tanda tangan oleh pihak Kapolres Jepara. Dan massa meminta hasil dari tuntutan tersebut ditampilkan di video tron yang berada di tengah kota.
Setelahnya, koordinator memimpin massa untuk mundur mengikuti mobil pengeras suara. Namun, massa tidak benar-benar mundur. Sebagian mulai membakar banner di tengah jalan. Sebagian lagi bergerombol di dekat Jembatan Kali Kanal.
Tanpa diketahui dari mana dan oleh siapa, tiba-tiba reklame dicopot dan dibakar oleh massa. Api semakin membesar dan bergejolak. Bambu, ban bekas, dan apa pun yang ditemukan dibakar.
Rahman mulai panik, melihat keadaan yang semakin rusuh. “San, Hasan… Hasan!” dia memanggil-manggil sahabatnya yang terpisah dengannya. Hatinya berdetak kencang saat melihat Hasan menggelindingkan ban bekas yang tengah terbakar api ke arah para polisi.
Di pertigaan antara jembatan ke arah polres dan ke Pamatan, massa mulai melempari apa pun yang ditemukan—batu, pasir, bambu—ke arah polisi yang berjaga.
Rumah warga tidak luput dari lemparan massa. Polisi mundur ke Polres. Massa maju dengan membawa batu, bambu, dan petasan.
Massa mulai tak terkendali melempari kantor polisi itu dengan batu. Suara kaca pecah ada di mana-mana. Massa paling depan melempari dari arah gerbang. Tak lama, polisi-polisi bertameng keluar memukul mundur massa. Sempat terjadi tarik ulur massa. Saling kejar-mengejar.
Suara motor-motor pemecah massa meraung-raung dari arah markas. Polisi-polisi berpakaian berlapis dan bermasker, serta tembak gas air mata di tangan. Sontak massa mundur.
Polisi melepaskan tembakan gas air mata berkali-kali. Pedih. Asap kembali memenuhi jalanan. Massa berhasil dipukul mundur.
Asap masih mengepul, pedih menyengat di mata dan tenggorokan ketika massa dipukul mundur. Rahman terhuyung, napasnya tercekat oleh aroma karet terbakar dan bau gas yang menusuk. Di sekitarnya, para pemuda berlarian, beberapa menutup wajah dengan sapu tangan basah, beberapa lainnya menunduk menggendong yang terluka. Langit malam Jepara yang tadi tenang kini pecah oleh sirene dan kilauan lampu kendaraan dinas.
Rahman menatap kosong ke arah di mana Hasan berdiri beberapa menit lalu. Hatinya penuh kepanikan. Dia mendorong tubuhnya melalui barisan demonstran untuk mundur, menepis panik yang hendak menelannya.
Di depan sebuah toko ukir yang kaca depannya retak, ia menemukan Hasan terhuyung, jaket hitamnya hangus sebagian oleh percikan api, dan syal merahnya koyak. Wajah Hasan memerah oleh asap, matanya berkaca-kaca bukan semata karena luka, tetapi karena sesuatu yang lebih berat terasa menekan di dadanya.
“San!” Rahman memanggil. Hasan menoleh, menyeringai samar. “Kamu baik-baik?” tanya Rahman, suaranya tercekat.
Hasan menghela napas panjang. “Kita terlalu jauh, Man. Ini bukan yang kubayangkan.” Suaranya pecah, namun tidak lemah. “Aku ingin menuntut keadilan, bukan hancurkan kampung sendiri.”
Di antara mereka, kerumunan masih berserak. Beberapa orang membawa korban ringan, beberapa menatap kosong ke arah kantor polisi yang kaca-kacanya pecah berserakan di trotoar.
Rahman menatap tangan Hasan yang masih memegang sepotong kain yang mungkin dulu sebuah spanduk. Keduanya saling diam, lalu beringsut menjauh dari kerumunan.
****
Keesokan paginya, Jepara seperti belum sepenuhnya bangun. Jalanan berdebu, bau asap masih samar. Berita tentang peristiwa semalam sudah tersebar melalui ponsel-ponsel dan deretan ibu-ibu yang berdiri di depan warung.
Rahman berjalan pelan pulang, memilih jalan memutar agar tidak melewati jejak-jejak kerusakan paling parah. Di kepala dan hatinya berputar-putar pertanyaan yang tak kunjung berhenti: Apakah menuntut keadilan harus berujung pada kekerasan? Di mana letak batas keberanian dan kewajiban menjaga keselamatan warga biasa?
Di rumah, suasana lebih sunyi dari biasanya. Ayahnya masih di bengkel, suara pahat kayu belum terdengar. Ibunya menatap dari dapur, wajahnya datar namun matanya menaruh seribu tanya. Rahman memeluk kedua tangan ibunya, mencium tangan ayah yang baru pulang, mencoba tersenyum pada mereka.
Namun, ketika menatap ke arah meja makan, dia melihat televisi kecil yang menayangkan klip singkat peristiwa malam sebelumnya, dan di layar itu wajah-wajah yang tidak asing baginya melintas samar.
“Apa yang terjadi di luar?” tanya ayahnya pelan, suaranya menahan. Rahman menelan ludah, menata kata-kata. Dia tahu orang tuanya tidak setuju dengan aksi yang berubah jadi rusuh. Dia memilih jujur, tetapi juga tidak ingin menambah beban mereka.
“Ada demonstrasi, Pak. Aku tidak punya niat untuk ikut serta, hanya ingin mengamati, tapi saat mulai ricuh aku mencari Hasan dan pulang,” jawab Rahman sambil menunduk. Ibunya menggenggam tangannya, menatap mata Rahman seolah mencari sesuatu yang hilang di sana.
“Anakku, ilmu yang kamu bawa dari pesantren itu bukan hanya untuk menegakkan kebenaran, tetapi juga untuk menjaga manusia,” kata ibunya. Tidak menghakimi, hanya mengingatkan. Rahman merasa ada yang menyala di dadanya, suara yang bukan sekadar argumen, melainkan panggilan untuk bertanggung jawab.
****
Beberapa hari berikutnya, suasana kota berangsur tenang, tetapi bekas-bekasnya masih terasa. Bukan hanya Polres Jepara, rupanya massa juga bergerak lebih lanjut dan membakar gedung DPRD Kabupaten Jepara.
Beberapa toko memasang papan kayu sementara, kaca yang pecah dilapisi plastik. Di masjid, pengajian membicarakan peristiwa itu dari sisi moral dan hukum.
Di TBM Aksara yang belum berdiri, Hasan dan beberapa kawannya mengadakan pertemuan kecil di rumah salah seorang relawan untuk merumuskan langkah-langkah damai yang bisa mereka ambil: melaporkan tuntutan secara tertulis, berkonsultasi dengan LSM hukum, dan mengorganisasi pengumpulan saksi serta dokumentasi yang rapi.
Rahman menghadiri pertemuan itu bukan sebagai aktivis yang haus adrenalin, tetapi sebagai seorang santri yang membawa kitab dan nalar.
Di tengah diskusi, dia membaca sebuah lembar kecil berisi pernyataan hak asasi yang ditulis dengan rapi. Ia menawarkan diri untuk membantu mendokumentasikan peredaran fakta dengan bahasa yang tenang, agar tuntutan tidak hilang di antara teriakan dan asap.
Hasan menatapnya. “Kamu punya cara berbeda, San. Kita butuh itu.” Ada kelegaan di mata Hasan, seolah di depan mereka membuka jalan baru yang bukan sekadar benturan fisik.
****
Beberapa minggu kemudian, di serambi sebuah rumah warga, Rahman dan Hasan bersama beberapa pemuda membuka sesi baca bersama untuk anak-anak.
TBM Aksara belum resmi, tetapi buku-buku tua tentang hukum, sejarah lokal, dan kumpulan puisi berserakan di meja. Anak-anak datang, sebagian masih terluka melihat berita, sebagian penasaran pada gitar yang tersandar di pojok.
Rahman mengajar satu sesi kecil tentang menulis pernyataan, tentang bagaimana menyuarakan ketidakadilan tanpa mengikis martabat orang lain. Hasan mengajar anak-anak lagu-lagu gerakan yang diubah liriknya menjadi ajakan menjaga lingkungan dan menuntut keadilan dengan cara damai.
Mereka mengumpulkan surat-surat kecil yang ditulis anak-anak untuk polisi, bukan untuk menuntut, tetapi untuk menyampaikan harapan: “Kami ingin aman ketika pulang sekolah.”
Di akhir hari, ketika matahari turun seperti sutra jingga di atas Jepara, Rahman berdiri di depan tumpukan kayu jati yang baru saja diantar untuk bengkel ayahnya. Ia merasakan kembali rindu akan suara pahat, namun sekarang rindu itu berbaur dengan sesuatu yang lebih besar: tanggung jawab untuk tidak hanya mengukir kayu, tetapi juga mengukir perbaikan dalam komunitasnya.
Hasan menghampiri, menyodorkan secangkir kopi. Mereka duduk menghadap jalan, menatap lampu-lampu toko ukir yang satu per satu menyala. Di kejauhan, suara azan Magrib bergema seperti penanda bahwa segala langkah, sekecil apa pun, harus kembali pada niat.
Rahman mengangkat kopi, menenggak sedikit. Dia tersenyum, bukan karena segala masalah teratasi, tetapi karena dia tahu arah langkahnya kini lebih jelas: menjadi benteng bukan dengan lemparan batu, tetapi dengan menulis, mendidik, dan menjaga manusia di sekelilingnya.
Dia mengambil pensil dan mulai menulis:
“Untuk siapa surat ini? Untuk ayahku, yang mengukir kayu tanpa pernah tahu bahwa anaknya ingin mengukir kata.
Untuk ibuku, yang selalu mendoakan dalam diam.
Untuk Hasan, yang percaya bahwa suara bisa mengubah dunia.
Untuk Jepara, yang kadang lupa bahwa ukiran bukan hanya untuk dijual, tapi untuk dikenang.
Untuk anak-anak TBM Aksara, yang membaca bukan untuk lulus, tapi untuk hidup.
Dan untuk diriku sendiri, agar tak lupa bahwa menjadi santri bukan hanya soal hafalan,
tapi tentang keberanian menyuarakan kebaikan.” (KA)