Perlindungan Guru dan Hak Imunitas Profesi

Oleh: Dr. Muh Khamdan 

Perlindungan terhadap profesi guru merupakan elemen dasar dalam membangun sistem pendidikan yang sehat. Namun di Indonesia, perlindungan tersebut masih timpang dan seringkali gagal menjawab kompleksitas persoalan di lapangan.

Guru, baik di sekolah negeri, swasta, madrasah, maupun pesantren, kerap menghadapi tekanan hukum, administratif, dan sosial tanpa jaminan imunitas profesi yang memadai. Padahal dalam tradisi sosiologi pendidikan, guru adalah moral agent sekaligus fondasi peradaban masyarakat.

Belakangan ini kita melihat maraknya kriminalisasi guru yang menjalankan pendisiplinan terhadap peserta didik. Kasus Ahmad Zuhdi di Demak atau dua guru SMAN 1 Luwu Utara menggambarkan betapa rapuhnya perlindungan hukum bagi pendidik.

Mereka yang bekerja dalam ruang pedagogis justru ditarik menuju ranah kriminal, seolah-olah tindakan mendidik adalah pelanggaran hukum. Fenomena ini menggerus wibawa guru sekaligus menciptakan ketakutan sistemik dalam dunia pendidikan.

BACA JUGA: Dukung Ketahanan Pangan dan Peningkatan Ekonomi, Jepara Utara Diproyeksikan Jadi Kawasan Agrowisata

Melihat situasi ini, urgensi hak imunitas profesi menjadi sangat relevan. Dalam banyak negara, termasuk beberapa yurisdiksi di Eropa, pendidik memiliki pedagogical immunity atau perlindungan khusus terhadap tindakan pendidikan yang dilakukan dalam konteks profesional.

Imunitas profesi tidak berarti memberikan kekebalan atas kekerasan, tetapi memberikan batas aman bagi guru ketika menjalankan fungsi mendidik, menegakkan disiplin, dan mengelola kelas.

Sayangnya, Indonesia masih terjebak dalam paradigma legal formalistik yang melihat setiap bentuk teguran atau disiplin sebagai potensi kekerasan. Undang-Undang Perlindungan Anak, meskipun penting, tak jarang diterapkan tanpa sensitivitas pedagogis.

Prinsip zero violence sering dipraktikkan secara kaku sehingga menghapus ruang bagi guru untuk melakukan corrective action yang mendidik. Di sinilah sosiologi hukum progresif mengingatkan bahwa hukum harus memahami konteks sosial, bukan hanya teks normatif.

BACA JUGA: Pastikan Fisik Prima Saat Ops Zebra Candi 2025, Subsatgas Dokkes Polres Jepara Berikan Layanan Kesehatan

Lebih jauh, ketimpangan perlindungan di antara berbagai jenis lembaga pendidikan membuat masalah ini semakin kompleks. Guru di sekolah negeri mungkin mendapat akses pada regulasi perlindungan tertentu, tetapi guru madrasah diniyah, pesantren, atau lembaga pendidikan keagamaan nonformal justru berada dalam posisi paling rentan. Mereka kerap menghadapi tindak kekerasan, ancaman hukum, bahkan kriminalisasi tanpa payung regulasi yang kuat.

Di sinilah UU No. 18 Tahun 2019 tentang Pesantren berperan penting sebagai instrumen kesetaraan. Undang-undang ini menegaskan bahwa pesantren adalah bagian integral dari sistem pendidikan nasional dan berhak mendapatkan dukungan negara. Artinya, guru pesantren seharusnya mendapatkan pengakuan setara dengan guru pada jalur pendidikan lainnya, termasuk perlindungan profesi. Namun dalam praktiknya, implementasi kesetaraan tersebut masih jauh dari tuntas.

Lebih lanjut, sejumlah daerah telah menyusun Perda Pesantren untuk memperkuat ekosistem pendidikan berbasis pesantren. Perda-perda ini membuka peluang lahirnya regulasi turunan yang mengatur perlindungan guru pesantren, jaminan insentif, kepastian honorarium, hingga status kepegawaian. Namun, harmonisasi antara Perda dan regulasi nasional masih lemah sehingga banyak guru pesantren tetap berada dalam posisi rentan.

Sosiologi pendidikan menyoroti bahwa ketidaksetaraan perlindungan ini menciptakan hierarki baru dalam struktur profesi guru. Guru negeri dianggap lebih “resmi”, guru madrasah dianggap setengah diakui, sementara guru pesantren seringkali dianggap informal.

BACA JUGA: KH. Miftah Faqih: Pemimpin NU Harus Menjadi Teladan dan Penghubung Umat

Hierarki ini bukan hanya merendahkan profesi guru, tetapi juga menghasilkan ketidaksetaraan dalam kualitas pendidikan karena rasa aman profesional tidak merata.

Hak imunitas profesi seharusnya menjadi standar universal untuk seluruh guru tanpa membedakan jenis atau jalur pendidikan. Pengakuan negara terhadap pesantren melalui UU Pesantren semestinya melahirkan konsekuensi logis, yaitu perlindungan hukum yang sejajar dengan pendidikan formal.

Dengan demikian, jika seorang guru di pesantren mendisiplinkan santri, ia tidak otomatis diperlakukan sebagai pelaku kekerasan, tetapi dinilai berdasarkan konteks pedagogis dan budaya lembaga.

Krisis perlindungan guru juga memperlihatkan bagaimana guru honorer berada di posisi paling terpuruk. Riset IDEAS menunjukkan 74 persen guru honorer menerima gaji di bawah UMK.

Ketika kesejahteraan minim dan perlindungan hukum rapuh, guru honorer berada dalam kondisi precarious labor yang membahayakan kualitas pendidikan nasional. Mereka mengajar dengan penuh dedikasi, namun negara belum memberikan perlakuan setara sebagaimana amanat keadilan struktural.

Negara harus hadir bukan sekadar melalui slogan “Guru Hebat, Indonesia Kuat”, melainkan melalui kebijakan yang benar-benar memastikan guru terlindungi. Tanpa hak imunitas profesi, guru akan selalu hidup dalam bayang-bayang kriminalisasi. Tanpa harmonisasi UU Pesantren dan Perda Pesantren dengan regulasi perlindungan guru nasional, guru pesantren akan terus termarginalkan. Dan tanpa reformasi kesejahteraan, guru honorer akan terus terpuruk dalam kemiskinan struktural.

Pendekatan hukum progresif menekankan bahwa hukum tidak boleh hanya menjadi alat penghukum, tetapi instrumen pembebasan sosial.

Perlindungan profesi guru sebagai hak imunitas harus ditempatkan dalam kerangka keadilan substantif, bukan sekadar kesetaraan formal. Guru harus diberikan ruang untuk mendidik tanpa rasa takut, dengan batas-batas yang jelas antara disiplin pedagogis dan kekerasan fisik.

Jika Indonesia ingin membangun masa depan yang kuat, perlindungan menyeluruh bagi guru adalah suatu keniscayaan. Guru adalah pembentuk karakter bangsa, penjaga moral publik, dan penggerak peradaban. Tanpa jaminan perlindungan profesi, baik hukum, material, maupun struktural, maka kita sedang membiarkan pendidikan berjalan dalam ketidakpastian. Kesetaraan perlakuan terhadap guru di semua jalur pendidikan bukan hanya keharusan moral, tetapi fondasi bagi masa depan bangsa.

Dr. Muh Khamdan, Analis Kebijakan Publik; LTNNU MWCNU Nalumsari Jepara

Related posts

Rumah yang Tak Lagi Aman: Tragedi Perempuan di Tangan Pasangannya Sendiri

Mengapresiasi Gelar Pahlawan untuk Marsinah

Pos Bantuan Hukum Desa dan Lahirnya Paradigma Hukum Baru