PWNU Jateng dan Pembelaan Aktivis Lingkungan Tambang Muria

Oleh: Dr. Muh Khamdan

Pada akhir November 2025, sebuah peristiwa yang tampak sederhana namun sarat makna politik terjadi di Semarang. KH. Ubaidullah Sodaqoh, Rais Syuriyah PWNU Jawa Tengah, mengirim surat resmi kepada Kapolrestabes Semarang. Isinya, permohonan penangguhan penahanan terhadap dua aktivis lingkungan, yaitu Adetya Pramandira (Dera) dari WALHI dan Fathul Munif, aktivis HAM. Surat itu bukan sekadar administrasi hukum, namun gestur moral yang jarang ditemukan pada era ketika lembaga-lembaga sipil seringkali memilih aman dan diam.

Langkah KH. Ubaid menegaskan sesuatu yang lebih dalam, bahwa civil society di Indonesia belum mati. Sebuah kenyataan, organisasi keagamaan terbesar di negeri ini tidak hanya mengurus fikih, pengajian, atau konflik internal elite, tetapi juga berdiri di sisi rakyat kecil ketika proses hukum terindikasi menyimpang. Ini adalah artikulasi paling nyata bahwa NU, setidaknya di level provinsi, masih memelihara fungsi historisnya sebagai penjaga keadilan sosial.

Kisah bermula dari penangkapan Dera dan Munif pada 27 November 2025. Keduanya ditetapkan sebagai tersangka ujaran kebencian berdasarkan Pasal 45A ayat (2) jo. Pasal 28 ayat (2) UU ITE serta Pasal 160 KUHP tentang penghasutan.

Tetapi yang ganjil, penetapan tersangka dilakukan sebelum keduanya dipanggil sebagai saksi atau terlapor. Dalam tradisi antropologi politik, anomali prosedural semacam ini adalah indikator paling klasik dari kriminalisasi.

BACA JUGA: Pejuang Lingkungan Hidup Sumberrejo Jepara dan Petani Dayunan Kendal Mengadu ke Komnas HAM, Komnas Perempuan, dan GAKKUM Kementerian Lingkungan Hidup

Lebih tajam lagi, konteks yang menyelimuti penetapan tersangka menegaskan bahwa kasus ini tidak berdiri sendiri. Dera dan Munif selama setahun terakhir aktif mendampingi petani Sumberrejo, Donorojo, Jepara, yang menolak aktivitas tambang galian C. Penambangan itu, meski berizin, namun mengganggu irigasi pertanian, merusak jalan desa, dan memicu keretakan sosial.

Para petani telah melapor ke Dinas Lingkungan Hidup, menggelar aksi massa, hingga meminta audiensi dengan ESDM Jawa Tengah dan Kepolisian Resort Jepara. Namun, suara mereka justru dibalas dengan pelaporan pidana oleh perusahaan tambang, CV Senggol Mekar.

Dalam kajian antropologi hukum, langkah para petani Sumberrejo ini dikenal sebagai SLAPP atau Strategic Lawsuit Against Public Participation. Instrumen ini digunakan untuk melindungi suara publik yang memperjuangkan kondisi lingkungan hidup lebih baik.

Ironisnya, Indonesia yang sudah memiliki pedoman melalui Permen LHK Nomor 10 Tahun 2024 justru tetap dilakukan penindakan berdasarkan pendekatan hukum pidana maupun perdata.

BACA JUGA: Kolaborasi Lintas Instansi, PLN Kebut Pemulihan Kelistrikan Aceh

Aturan itu menegaskan bahwa perjuangan warga atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak boleh digugat secara pidana maupun perdata. Tetapi di Jepara, instrumen hukum itu seolah tak pernah bermakna.

Ketika warga Sumberrejo mengadu ke Komnas HAM dan Komnas Perempuan dengan difasilitasi Dera dan Munif, ketegangan meningkat. Pelaporan balik, penyidikan cepat, dan penahanan mendadak memperkuat dugaan bahwa keduanya dijadikan tumbal dalam benturan kepentingan ekonomi.

Di titik itulah, KH. Ubaidillah Sodaqoh masuk dengan keberanian moral yang tidak berlebihan bila disebut sebagai counter-narrative terhadap praktik represif.

Sosok KH. Ubaid bukan hanya ulama struktural dalam NU. Ia adalah figur yang paham bahwa proses hukum yang cacat dapat memicu keruntuhan kepercayaan publik terhadap negara.

Langkah PWNU Jawa Tengah  menunjukkan sikap tegas terhadap kerusakan ekologis Pegunungan Muria akibat tambang galian C yang kian masif. Padahal kawasan Muria bukan sekadar wilayah geografis, namun juga lanskap budaya, spiritualitas, dan ruang hidup ribuan keluarga petani serta hewan langka seperti macan tutul, elang jawa, maupun merak hijau. Dalam tradisi Jawa, gunung adalah pusat keseimbangan. Mengusiknya berarti merusak tatanan kosmik.

BACA JUGA: Layanan SKCK Delivery, Polres Jepara : Cukup Bayar Rp10.000

Dalam situasi demikian, keberanian KH. Ubaid menjadi oase. Surat permohonan penangguhan itu disertai jaminan moral bahwa Dera dan Munif tidak punya catatan kriminal, tidak akan melarikan diri, tidak menghilangkan barang bukti, dan tak berpotensi mengulangi perbuatan yang dituduhkan. Bahkan keduanya sedang mempersiapkan pernikahan pada 11 Desember 2025, sebuah fakta kecil, namun penting secara sosiologis untuk menunjukkan absennya intensi kriminal.

Dalam bingkai politik Islam, langkah ini menunjukkan bahwa ulama ketika memegang kompas etika, mampu menjadi penyeimbang kekuasaan sekuler

KH. Ubaid memerankan kembali watak klasik ulama pesantren, mencakup kritis, berani, dan manusiawi. NU di level provinsi kembali menjadi moral broker yang menghubungkan negara, masyarakat, dan nilai keadilan ekologis.

Dari perspektif antropologi politik, tindakan PWNU Jateng adalah bentuk environmental citizenship yang sangat langka dalam organisasi keagamaan di Asia Tenggara.

Ia menegaskan bahwa isu lingkungan bukan domain aktivis saja, tetapi isu moral dan keberlanjutan generasi.  Langkah PWNU Jateng adalah pengingat bahwa basis Nahdliyin menginginkan NU yang hadir dalam persoalan riil, bukan tersandera proyek-proyek ekonomi elite.

Lebih jauh, kasus ini menyingkap dua Indonesia yang hidup berdampingan, yaitu Indonesia aktivisme akar rumput yang mempertahankan tanah dan airnya, dan Indonesia korporasi yang didukung struktur hukum yang timpang. Ketika konflik dua Indonesia ini memuncak, yang dibutuhkan bukan teknokrasi, melainkan keberanian moral. Dan keberanian moral itu datang dari seorang ulama.

PWNU Jateng memperlihatkan bahwa organisasi keagamaan terbesar ini masih mampu memaknai kembali mandat sosialnya. Ini bukan sekadar pembelaan terhadap dua aktivis, tetapi pesan keras kepada negara bahwa hukum tidak boleh menjadi alat intimidasi. Jika negara gagal menjaga akal sehat demokrasi, maka masyarakat sipil sebagaimana NU harus turun tangan.

Pada akhirnya, sikap KH. Ubaid adalah pengingat bahwa di tengah dunia yang semakin pragmatis, masih ada ruang bagi keberpihakan tulus. Sumberrejo bukan sekadar desa yang terancam tambang, namun menjadi simbol bagaimana demokrasi lokal diuji. Dan NU, melalui PWNU Jawa Tengah, menunjukkan bahwa menjaga bumi dan keadilan adalah bagian dari ibadah sosial.

Keberanian seperti ini layak dicatat. Bukan saja karena ia langka, tetapi karena ia menunjukkan masa depan, bahwa organisasi keagamaan yang peka pada isu lingkungan akan menjadi pilar penting dalam menjaga peradaban.

Dr. Muh Khamdan, Analis Kebijakan Publik; LTNNU MWCNU Nalumsari Jepara

Related posts

Menegaskan, Bansos Hanya untuk Sementara

Meredam Konflik Hutan Muria dan Jalan Keluar Berkelanjutan

Perlindungan Guru dan Hak Imunitas Profesi