Oleh: Dr. Muh Khamdan
Dalam beberapa pekan terakhir, Indonesia diguncang tragedi ekologis yang mengguratkan luka nasional, yaitu longsor dan banjir bandang yang meluluhlantakkan Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara. Ribuan rumah hancur, ribuan hektare hutan musnah, dan hampir seribu nyawa melayang dalam hitungan jam. Gambaran puing, lumpur, dan gelondongan kayu yang terbawa arus bukan sekadar “bencana alam”, melainkan bukti telanjang bahwa alam menagih pertanggungjawaban atas kejahatan ekologis yang dilakukan manusia.
Kehadiran kayu-kayu gelondongan itu adalah testimoni diam tentang pembukaan lahan yang brutal dan penebangan massif tanpa mitigasi kebencanaan. Penggundulan hutan yang dibiarkan tanpa pengawasan bukan hanya pelanggaran administratif, melainkan dapat dikualifikasi sebagai kejahatan pidana berat dalam hukum lingkungan modern. Bahkan dalam beberapa yurisdiksi dikategorikan sebagai ecocide atau pembunuhan ekosistem. Dalam tingkatan tertentu, kejahatan ini dapat setara dengan genosida, karena menghancurkan dasar kehidupan manusia dan makhluk lain.
Indonesia sebenarnya memiliki instrumen hukum yang cukup kuat. UU Lingkungan Hidup, UU Pemberantasan Korupsi, dan sejumlah aturan sektoral menyediakan ruang bagi penegakan pidana maksimal.
BACA JUGA: Kolaborasi Lintas Instansi, PLN Kebut Pemulihan Kelistrikan Aceh
Namun, lemahnya integritas pengawasan dari hulu hingga hilir membuat kerusakan hutan terus berulang. Mulai dari izin pembukaan lahan yang melibatkan praktik suap, kolusi dalam perizinan tambang, hingga pembiaran aktivitas ilegal oleh oknum aparat. Di titik inilah, korupsi bukan lagi sekadar pelanggaran moral, tetapi menjadi akselerator bencana ekologis.
Kasus longsor dan banjir bandang terbaru memberi bukti nyata bahwa korupsi lingkungan membunuh. Bukan metafora, bukan hiperbola. Ketika kelalaian disengaja menghasilkan hilangnya nyawa dalam jumlah besar, maka hukum pidana dapat melangkah lebih jauh. Menjerat pelaku utama dan aktor pembiaya dengan pidana berat, termasuk hukuman mati. Dalam perspektif hukum internasional, ini masuk kategori aggravated environmental crimes, kejahatan dengan konsekuensi fatal akibat keuntungan ekonomi segelintir pihak.
Tragisnya, ketika alam berteriak, para pembela lingkungan justru dibungkam. Kasus kriminalisasi terhadap Dera dan Munif di Semarang menambah daftar panjang aktivis yang ditangkap ketika mendampingi petani menolak tambang galian C. Padahal, aksi mereka adalah bentuk kontrol sosial dalam demokrasi ekologis. Ketika negara membiarkan para pejuang lingkungan dijerat hukum, sedangkan para perusak hutan berjalan bebas, maka rusaklah keseimbangan moral yang menjadi dasar perlindungan ekologis.
Fenomena kriminalisasi aktivis lingkungan ini merupakan ironi besar. Negara mestinya melindungi mereka yang mempertahankan hutan sebagai benteng kehidupan. Dalam literatur hukum lingkungan, tindakan itu disebut sebagai green repression atau represi terhadap aktivis hijau. Dalam perspektif ekoteologi, represi ini bukan hanya ketidakadilan sosial, tetapi juga dosa ekologis karena menghalangi misi memelihara ciptaan.
BACA JUGA: Pejuang Lingkungan Hidup Sumberrejo Jepara dan Petani Dayunan Kendal Mengadu ke Komnas HAM, Komnas Perempuan, dan GAKKUM Kementerian Lingkungan Hidup
Ekoteologi, sebagai disiplin yang memadukan ajaran agama dan kesadaran ekologis, memberi perspektif tajam bahwa kerusakan lingkungan adalah bentuk pengkhianatan spiritual. Dalam narasi Abrahamik, peristiwa Nabi Adam yang diusir dari surga karena merusak pohon keabadian “pohon khuldi” merupakan simbol kuat bahwa kerusakan ekologis adalah pelanggaran suci. Perintah menjaga bumi bukan sekadar etika ekologis, melainkan mandat teologis.
Jika merusak satu pohon di surga dapat menggugurkan hak tinggal di dalamnya, maka bagaimana hukumnya merusak jutaan hektare hutan yang menjadi penyangga hidup jutaan orang? Ekoteologi mengajarkan bahwa merusak bumi berarti mengkhianati perjanjian primordial antara manusia dan Pencipta. Maka, pemiskinan ekologis yang dilakukan korporasi rakus dan pejabat korup adalah bentuk pelanggaran spiritual sekaligus kriminal.
Dalam konteks Hari Anti Korupsi Sedunia, momentum ini seharusnya mengarahkan fokus pada korupsi paling mematikan, yaitu korupsi lingkungan hidup. Korupsi yang mengizinkan tambang ilegal, yang memberi jalan bagi pembalakan liar, yang memuluskan alih fungsi hutan tanpa kajian risiko, semuanya adalah rantai kejahatan yang berakhir pada tragedi kemanusiaan. Inilah wajah korupsi paling kejam, karena membunuh secara perlahan dan sistematis.
Dalam kacamata hukum pidana lingkungan, bencana ekologis yang berulang bukan sekadar “force majeure”, melainkan produk dari keputusan—keputusan koruptif. Ketika keputusan pejabat menghasilkan ribuan korban, ia bukan sekadar administratif melainkan masuk wilayah serious harmful conduct. Di beberapa negara, tindakan seperti ini sudah masuk kategori ecocide yang dapat diganjar hukuman maksimal atau setara pidana mati.
Konsep ecoterrorism juga patut dipertimbangkan. Bukan dalam pengertian klasik yang dilekatkan pada kelompok aktivis ekstrem, tetapi pada korporasi atau individu yang dengan sadar mengeksploitasi sumber daya secara destruktif hingga mengancam keselamatan publik.
Ketika eksploitasi menghasilkan ketakutan kolektif, kematian massal, dan kehancuran berlapis, maka perilaku tersebut pantas dikategorikan sebagai terorisme modern, teror terhadap ekosistem dan manusia sekaligus.
Indonesia membutuhkan keberanian politik untuk mengakui bahwa kejahatan lingkungan bukan kejahatan ringan. Bukan sekadar pelanggaran administratif. Ini adalah kejahatan terhadap masa depan bangsa. Penerapan pidana maksimal, pengakuan ecocide sebagai tindak pidana berat, dan perlindungan penuh bagi aktivis adalah langkah awal untuk memulihkan keadilan ekologis yang selama ini terabaikan.
Pada akhirnya, bencana yang terjadi di Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara bukan sekadar tragedi alam, tetapi cermin rapuhnya tata kelola lingkungan di Indonesia. Jika negara tidak mengubah paradigma, maka kita akan berulang kali menyaksikan banjir kematian. Alam telah memberikan peringatannya dengan harga yang sangat mahal. Kini giliran manusia menjawab dengan hukum yang tegas, kesadaran spiritual yang jernih, dan komitmen moral untuk tidak lagi merusak rumah bersama bernama bumi.
Dr. Muh Khamdan, Widyaiswara Kementerian Hukum; Doktor Studi Agama dan Perdamaian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta