Politik Uang Merusak Nilai Luhur Pancasila

Ahmad Kholas Syihab (Pengurus PC IKA PMII Jepara, Pengurus Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) Wilayah Jateng).

Oleh : Ahmad Kholas Syihab*

PESTA DEMOKRASI pemilihan umum serentak 2024 terhitung masih lama, namun tahapan  penyelenggaraan pemilu sudah mulai berjalan. Berbicara mengenai pemilu tidak bisa lepas dari yang namanya politik uang, padahal pelarangan politik uang dan sanksi hukum telah diatur dalam undang-undang dengan hukuman pidana serta denda yang cukup berat.  Namun realitas yang terjadi politik uang di pemilu tetap terjadi.

Berkaca pada pemilu serantak Tahun 2019 lalu yang meninggalkan permasalahan akut yang berdampak pada kritisnya nilai demokrasi di Indonesia. Realitas menunjukan terdapat banyak pelanggaran yang menyumbang penurunan kualitas pemilu yang disebabkan oleh politik uang. Fenomena politik uang ini rupanya telah menjalar kemana-mana. Sikap tidak jujur dan kemunafikan aktor politik dan masyarakat pemilih pun bermunculan saat pemilu, karena masyarakat menganggap pemilu sebagai pesta tabur uang, bukan pesta demokrasi untuk memilih pemimpin yang berkualitas.

Jika seorang pemimpin yang terpilih lahir dari permainan politik uang, tentu di dalam pemikirannya hanya kecurangan dalam menjalankan kepemimpinan. Musyawarah yang telah dilaksanakan hanya akan menjadi sebuah sandiwara panggung politik bagi pemimpin-pemimpin yang hanya berlandaskan pada kekuasaan dan jabatan semata. Dengan demikian nilai luhur Pancasila yang menjadi landasan demokrasi kita bisa rusak akibat terpilihnya pemimpin yang tidak amanah dan berkualitas tersebut.

Cikal Bakal Korupsi

Soal pengaturan politik uang ini juga telah diatur dalam Undang-undang No. 7 tahun 2017 pasal 515 dan 523. Setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih supaya tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih peserta pemilu tertentu atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah. Politik uang dilarang baik pada saat kampanye, masa tenang, maupun saat hari pemungutan suara berlangsung, konsekuensi dari praktik politik uang ini akan dikenakan sanksi pidana dan juga denda.

BACA JUGA: IKA PMII Jepara Bukan Sekedar Wadah untuk Reuni

Praktik politik uang dengan segala bentuknya telah lama mencederai demokrasi dan nilai luhur Pancasila. Padahal pancasila dalam sila ketuhanan yang maha Esa telah mengajarkan manusia dalam berpolitik untuk selalu jujur dan amanah, tidak melanggar nilai-nilai agama dalam berpolitik. Politik uang juga merupakan cikal bakal terjadinya praktik korupsi di negeri ini.

Psikologi Koruptor

Hasil studi tentang psikologi korupsi menunjukkan bahwa individu yang memiliki perasaan dan solidaritas menjadi bagian dari suatu kelompok akan menunjukkan rasa kesetiakawanannya paling tidak dengan menutup mulut walaupun dia menyaksikan tindakan korupsi tersebut berlangsung.

Ditinjau dari segi psikologi korupsi, paling tidak ada dua faktor utama yang melatarbelakangi seseorang melakukan tindakan korupsi, yaitu (1) sifat serakah yang dimiliki seseorang; (2) rasa percaya diri yang berlebihan yang menganggap bahwa dirinya dilahirkan sebagai orang besar sehingga dirinya memerlukan kekayaan materi yang didapat dengan jalan apa pun.

Para pelaku korupsi biasanya beranggapan bahwa tindakan korupsi yang dilakukan tidak akan ketahuan, kalaupun nantinya terdeteksi dan tertangkap, maka tindakan hukum yang diterimanya akan ringan. Maka, sebenarnya tindakan pencegahan korupsi merupakan sesuatu yang kompleks dan penyelesaiannya tidak sesederhana hanya dengan menyiapkan lembaga pengawasan semata mata. Dalam mengantisipasi fenomena gunung es korupsi yang terjadi di Indonesia, sudah saatnya pihak berwenang mengategorikan tindakan korupsi merupakan tindakan extra ordinary crime.

Pencegahan korupsi sejatinya bisa dibendung salah satunya dengan cara meredam praktik money politic yang selama ini terjadi di masyarakat. Nampaknya semua bersepakat kalau praktik politik uang adalah pintu gerbang terjadinya korupsi. Maka tidak pengawasan  tidak hanya dilakukan dengan cara mengimbau saja melainkan harus kita cegah bersama. Kapan lagi kalau bukan sekarang? Salam Awas!

*Ahmad Kholas Syihab, Pengurus PC IKA PMII Jepara, Pengurus Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) Wilayah Jateng.

Related posts

Arah Agama, Nahdlatul Ulama dan Negara Era Post Truth

Gratifikasi dan Korupsi Politik

Perempuan dan Perubahan Sosial