Oleh: Fadhilatu Darojah
Berasal dari latar belakang keluarga sederhana dan tidak mempunyai garis keturunan sanad kyai, K.H. Husnin Mutohar atau yang kerap di sapa Abah Husnin merupakan sosok kyai yang menginspirasi masyarakat melalui keteladanan, keistiqomahan, dan keteguhan dalam menjalankan dakwah. Selain menjadi pendakwah, beliau juga seorang pendiri pesantren Al-Husna Waziyadah yang berlokasi di desa Welahan, Jepara.
Abah Husnin memulai sebuah mimpi ketika ia berusia sepuluh tahun, meninggalkan pendidikan di bangku sekolah dasar dan memilih untuk menuntut ilmu agama di pondok pesantren. Karena menurutnya ilmu agama lebih penting untuk di kuasai.
Pada awalnya hal ini menjadi sebuah tantangan baginya, karena pada saat itu orang tuanya tidak merestui keinginan kecilnya. Namun, tekad dan sedikit dorongan yang kuat dari pamannya membuat Abah Husnin berani untuk mengambil keputusan tersebut.
BACA JUGA: PLN Hadir Untuk Rakyat, Pelatihan Budidaya Ikan Nila Untuk Masyarakat Ujungwatu
Lahir pada 17 Juli 1968 di sebuah desa di Jepara, Kedungmalang. Ia terlahir sebagai anak ketiga dari delapan bersaudara, putra dari pasangan H. Ruslan dan Ibu Sukaenah. Ahmad Husnin adalah nama yang di berikan orang tuanya ketika ia lahir. Namun, berganti nama K.H. Husnin Mutohar setelah ia menunaikan ibadah haji.
Abah Husnin sangat menikmati perjalanan menimba ilmunya, ia merupakan seorang santri yang cukup unik. Karena selalu haus akan ilmu, ia sering berganti-ganti pesantren guna mengembara ilmu-ilmu agama dari pesantren yang berbeda.
Ia memulai pengembaraan ilmunya dari pesantren Hidayatul Mubtadi’in Kriyan di bawah bimbingan K.H. Jazuli Masduqi. Ia di kenal sebagai santri yang rajin, mandiri, dan patuh terhadap para gurunya.
Melanjutkan pengembaraannya, ia memutuskan berpindah pesantren ke Al Hidayah Purwogondo yang saat itu di asuh oleh K.H Turmudzi. Di pesantren inilah Abah Husnin menemukan jalan untuk semakin mendekatkan dirinya kepada Sang Maha Hidup melalui jalan thareqah. Setelahnya, ia di arahkan untuk mencari guru thareqah.
Abah Husnin semakin memperdalam spiritualnya ketika ia sudah bertemu dengan Abuya Dimyati atau Mbah Dim, sebagai mursyid thareqah pertamanya. Mbah Dim sendiri adalah seorang ulama yang berasal dari Banten dan beliau di kenal sebagai seorang sufi.
Mbah Dim adalah seorang penganut thareqah Qadiriyah-Naqsyabandiyyah. Mursyid selanjutnya yang di pilih Abah Husnin adalah Al Habib Muhammad Luthfi bin Yahya dari Pekalongan. Thareqah yang di pelajarinya antara lain adalah Qadiriyah-Naqsyabandiyyah, Syadziliyyah, dan Naqsyabandiyyah al-Khalidiyyah.

Fadhilatu Darojah
Pesantren selanjutnya yang di jadikan Abah Husnin sebagai tempat mengembara ilmu dan memperdalan ilmu spiritualnya adalah pesantren Ar Riyadl Ringinagung Kediri di bawah bimbingan K.H. Zaid Abdul Hamid. Lalu, pesantren terakhir yang menjadi akhir dari perjalanan mengembara ilmunya adalah pesantren Fathul Ulum di bawah bimbingan K.H. Abdul Hannan Ma’sum.
Abah Husnin merasa sudah mencukupi bekal ilmunya setelah menimba ilmu dari berbagai pesantren. Ia memutuskan untuk pulang ke kampung halamannya dan kembali nyantri di pondok pesantren Al Hidayah milik K.H. Turmudzi Purwogondo untuk mengabdi dan ngalap barokah di sana.
BACA JUGA: APBD Perubahan 2025 Disetujui, Bupati Jepara: Terus Bergerak Menuju Terwujudnya Jepara Mulus
Di pesantren inilah kisah cinta Abah Husnin di mulai. Ia bertemu dengan Hj. Ribhah Alawiyah yang saat itu juga sedang nyantri di pesantren Al Hidayah, lalu mereka berjodoh dan menikah pada tahun 1993.
Pada pernikahan Abah Husnin dan Hj. Ribhah, Allah menganugerahkan lima orang anak yang sholeh-sholehah: Ning Nailal Husna, Ahmad Amirul Wildan, Aini Asna Akmala, Nabila Nazil Nuroniyah, dan Salwa Hikmah Syahiroh.
Setelah menikah ia menetap di kampung halaman sang istri, Welahan, Jepara. Pada tahun 1995, Abah Husnin mendirikan pondok pesantren Hidayatut Tholibin. Ketika itu ia hanya mempunyai lima santri yang mondok di pesantren Hidayatut Tholibin.
Namun, ia tetap semangat dan pantang menyerah untuk menyebarkan ilmu agama yang telah di pelajarinya kepada masyarakat sekitar. Di tahun 2008, ia mendirikan lembaga pendidikan tingkat madin dan wustho, yang ia beri nama: Madin dan Wustho Al Asna. Hal ini membuktikan bahwa perjuangan dan semangat Abah Husnin dalam menyiarkan ilmu agama tidak sia-sia dan semakin berkembang. Perjuangan beliau tentu tidak mudah, jatuh bangun itu pasti. Namun, berkat kerja keras dan dukungan dari sang istri tercinta menjadi keyakinan Abah Husnin bahwa lembaga pendidikan yang di dirikannya pasti akan terus berkembang seiring berjalannya waktu.
Pada tahun 2016, pesantren Hidayatut Tholibin berganti nama atas saran dari Mbah Arwanj Kudus dari yayasan Arwaniyah Kudus yaitu Al Husna Waziyadah. Al Husna yang di ambil dari namanya sendiri, Husnin, dan Waziyadah yang artinya tambah berkah.
Awal mula di dirikannya pesantren ini karena Abah Husnin di percaya mendapatkan ilham pernah bermimpi bertemu Nabi Khidir serta memiliki ilmu laduni yang tidak sembarang orang bisa memiliki ilmu tersebut.
Abah Husnin juga merupakan sosok pendakwah yang memiliki keteguhan prinsip dan keilmuan yang mumpuni. Sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit, begitu juga dengan pesantren Al Huna Waziyadah yang semakin hari semakin banyak santri yang ingin menimba ilmu di sana.
Pada tahun 2017, Abah Husnin mendirikan lembaga pendidikan formal Madrasah Aliyah dan Madrasah Tsanawiyah Tahassus Welahan. Ia berharap dengan di dirikannya sekolah formal ini semakin banyak santriwan santriwati yang mondok sekaligus sekolah di sana.
Belum cukup di sana, ada satu harapan Abah Husnin yang belum terwujud, yaitu menjadi pemimpin jama’ah thareqah. Karenanya, beliau meminta izin kepada Habib Lutfi supaya dapat mendirikan thareqah. Tahun 2018, ia berhasil memimpin thareqah Syadziliyah yang jama’ahnya berasal dari Demak, Jepara, dan Purwodadi. Ia menjalani peran sebagai pemimpin thareqah dengan penuh tanggung jawab dan suka cita, serta memperkuat perannya demi membimbing umat.
Menjelang akhir hayatnya, kondisi tubuh Abah Husnin mulai melemah. Pada hari Kamis, 10 Muharam 1443 H, ia masih menghadiri acara santunan anak yatim. Dua hari kemudian, Sabtu, 12 Muharam, beliau masih menjadi imam salat Asar dan menghadiri wisuda putrinya. Malam harinya, beliau pulang dari Betengan, Demak. Namun, pada dini hari Ahad, pukul 03.30 WIB, kondisi beliau memburuk dan segera dilarikan ke ICU. Pukul 08.45 WIB, Abah Husnin wafat karena pecahnya pembuluh darah di otak. Kabar duka ini mengejutkan banyak kalangan, khususnya santri dan masyarakat yang selama ini beliau bimbing dengan penuh cinta.
Perjalanan hidup Abah Husnin adalah bukti bahwa keikhlasan, keberanian memilih jalan berbeda, dan keteguhan hati dalam berjuang dapat menuntun seseorang menuju kesuksesan sejati.
Ia bukan sekadar seorang kiai, tetapi guru kehidupan yang meninggalkan warisan ilmu, nilai, dan keteladanan yang akan terus hidup dalam jiwa para santrinya dan masyarakat luas. Semoga segala amal ibadah, ilmu, dan perjuangan beliau diterima oleh Allah Swt. Sebagai amal jariyah yang terus mengalir hingga akhirat
Fadhilatu Darojah, Mahasiswa Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam Fakultas Komunikasi dan Desain Unisnu Jepara.