JEPARA | GISTARA. COM – Derasnya arus informasi digital membuat kecepatan penyebaran berita seakan tak terbendung. Hanya dengan satu klik, satu ketukan, atau satu kali berbagi, kabar—baik benar maupun salah—dapat menjalar ke seluruh dunia dalam hitungan detik. Fenomena ini menghadirkan peluang besar, namun juga menyimpan ancaman serius.
Gentur Wahyu Nyiptyo Wibowo, S.Kom., M.Kom., Ketua Program Studi Teknik Informatika Fakultas Sains dan Teknologi Unisnu Jepara, menuturkan bahwa informasi kini tidak hanya mudah diakses, tetapi juga rawan disalahgunakan.
Ia menjelaskan bahwa algoritma media sosial menjadi salah satu faktor yang mempercepat laju informasi, terutama konten yang sensasional dan emosional.
“Kita terjebak dalam gelembung gema, di mana kita hanya melihat hal-hal yang mengonfirmasi keyakinan kita sendiri. Akibatnya, sikap kritis semakin berkurang,” ungkapnya saat menyampaikan kultum di Masjid Kampus Ar-Robbaniyyin, Senin (22/9/25).
BACA JUGA: Bupati Jepara: Perbaikan Gedung DPRD Jepara Gunakan Anggaran Pusat
Islam, sejak berabad-abad lalu, telah memberi peringatan mengenai bahaya informasi yang salah. Dalam Al-Qur’an Surah Al-Hujurat ayat 6 disebutkan:
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya lalu kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
Ayat tersebut, menegaskan prinsip tabayyun atau sikap hati-hati dalam menerima serta menyebarkan informasi.
Nabi Muhammad SAW bersabda: “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.”
BACA JUGA: Bupati Jepara Lakukan Rotasi 95 Pejabat Eselon III dan IV , Ini Pesannya
Ia menekankan bahwa di ranah digital, “berkata yang baik” berarti berbagi informasi yang terverifikasi dan bermanfaat, sedangkan “diam” berarti menahan diri dari menyebarkan kabar meragukan atau berpotensi merusak.
Gentur mengingatkan bahwa dampak hoaks dan fitnah sangat berbahaya. Tidak hanya mampu meruntuhkan reputasi seseorang, tetapi juga dapat memicu kebencian, memecah belah masyarakat, hingga mengguncang stabilitas bangsa.
Sebagai langkah praktis, ia menyarankan masyarakat untuk selalu melakukan tabayyun digital, antara lain dengan memeriksa sumber, membaca lebih dari sekadar judul, melakukan pemeriksaan silang, mewaspadai tanda-tanda berbahaya, serta berpikir matang sebelum membagikan sesuatu.
“Jari-jari kita adalah perpanjangan lidah kita di dunia digital. Setiap share, like, atau komentar membawa tanggung jawab. Mari kita gunakan teknologi untuk menyebarkan kebaikan, bukan menabur perpecahan,” pungkasnya. (KA)