Forum diskusi sambatan roso
JEPARA | GISTARA. COM – Forum diskusi bulanan Sambatan Roso #6 sukses digelar pada Sabtu malam (1/11/2025) di Kandang Kadang, Troso, Pecangaan. Mengangkat tema mendalam, “Menanam Rasa, Menyemai Asa,” acara ini menarik perhatian sekitar 40 peserta dari beragam latar belakang, berkumpul di tengah cuaca malam yang akhirnya cerah setelah sempat diselimuti mendung dan gerimis.
Diskusi kali ini menghadirkan tiga narasumber (pemantik) yang merefleksikan esensi tema secara nyata dalam kehidupan mereka.
Sesi dimulai dengan perkenalan dari Agung, sang penyelenggara. Pemantik pertama, Mahrus dari Desa Plajan, membuktikan tema malam itu melalui kesehariannya. Sebagai seorang petani dan pecinta tanaman dari lereng Muria, rumahnya yang disebut Omah Grumbul dipenuhi aneka tanaman variegata.
BACA JUGA: Wakil Bupati Jepara Wanti-Wanti Kualitas Layanan Gizi di Setiap SPPG
Agung menyifati Mahrus sebagai “gurunya banyak orang” dalam bertani. Ia menceritakan betapa Mahrus selalu menyambut hangat siapapun yang datang, mengajak berbincang, dan bahkan seringkali memberi bibit tanaman variegata gratis sembari menyuguhkan kopi.
Tindakan mulia ini langsung direspons dengan canda oleh rekan-rekan Mahrus, seperti Wawan (Sanggar Persing) yang mengaku “ngerampok bibit nang Mahrus kanggo tak dol” (mencuri bibit dari Mahrus untuk dijual). Fenomena berbagi tanpa pamrih inilah yang dianggap peserta mencerminkan esensi “Menanam Rasa, Menyemai Asa.”
Pemantik kedua, Gunawan Muhammad, seorang dosen Fakultas Sains dan Teknologi UNISNU, memaparkan bagaimana ia menyalurkan potensinya di luar kampus melalui gerakan sosial. Ia aktif di GPS (Gerakan Pungut Sampah) Jepara, Bank Sampah desa, hingga menginisiasi kelas Bahasa Inggris.
Gunawan juga berbagi kisah perjalanannya dalam mengenal dan mengikuti Majelis Maiyah, dari Mocopat Syafaat di Yogyakarta hingga Gambang Syafaat di Semarang.
BACA JUGA: Jelang Hari Sumpah Pemuda, YBM PLN UIK Tanjung Jati B Gelar Program “Muzakki Mengajar” di Panti Asuhan Mandiri Darul Qur’an Jepara
Sementara itu, pemantik ketiga, Nur Hamid dari Perhutani, berfokus pada warisan (legacy) menjelang masa pensiunnya. Dengan dana pribadi, ia menyulap rumah dinasnya (basecamp Kemantren) menjadi pusat edukasi yang komprehensif, mencakup edukasi tanaman, perikanan, dan Taman Baca Wana Aksara.
Di tengah tanggung jawab wilayah hutan seluas 1.836 hektar, Nur Hamid menyadari pentingnya kolaborasi, membuka diri bagi komunitas manapun untuk beraktivitas positif di tempatnya.
Kegelisahan Generasi Baru dan Krisis Lingkungan
Setelah paparan, sesi diskusi menjadi hangat. Audiens dari kalangan generasi muda turut menyuarakan kegelisahan mereka.
Safre Samsudin dari komunitas Exje Adventure berbagi kisah unik mengenai hobi mereka mencari makam kuno dengan patokan awal tanaman besar di sekitarnya.

Diskusi dan curhat di forum sambatan roso
Komunitas Gen Z ini menjadikan adventure sebagai jalan untuk membaca alam dan melakukan riset kecil tentang makam, mata air, dan air terjun.
Kegelisahan tentang lingkungan semakin memuncak ketika Eko dari Plajan menyampaikan kekhawatiran atas mata air yang semakin surut dan pohon tua yang varietasnya berkurang.
Ia bersama SEKBER PAJ (Sekretariat Bersama Pencinta Alam Jepara) berupaya melakukan penanaman, namun seringkali bibit yang ditanam dicabut oleh oknum tak bertanggung jawab.
Menanggapi hal ini, Plongor (Handoyo) menceritakan bahwa Desa Plajan pernah memiliki PERDES (Peraturan Desa) yang mewajibkan calon pengantin menanam minimal lima tanaman keras.
BACA JUGA: Pastikan Pelayanan SPKT dan Pamapta Berjalan Lancar, Kapolres Jepara Cek Kesiapan Personel
Namun, peraturan desa yang berharga itu kini diabaikan setelah pergantian Kepala Desa.
Kegelisahan kolektif tentang krisis pangan dan lingkungan yang menghimpit petani malam itu menemukan penawar pada ajakan yang disampaikan Wawan: “Mari kita mulai dari diri sendiri dan lingkungan terkecil yang bisa kita pengaruhi.”
Acara utama yang berakhir khidmat pada pukul 00.10 WIB dengan pemutaran nomor ‘Shohibu Baiti’ ini dilanjutkan dengan lingkaran-lingkaran kecil yang membahas teknis kolaborasi gerakan.
Sebagai sebuah Forum Diskusi yang terinspirasi dari Majelis Maiyah, Sambatan Roso (yang berarti ‘berkeluh kesah/curhat’ sekaligus ‘kerja bakti’) terus hadir untuk merespons tema-tema yang relevan dengan kondisi saat ini.
Forum ini didasari oleh peringatan yang telah lama disampaikan oleh Mbah Nun dan belakangan ditegaskan kembali oleh Mas Sabrang mengenai krisis panjang yang merambat dari ekonomi ke pangan dan energi.
Dengan mengangkat tema “Menanam Rasa, Menyemai Asa,” Sambatan Roso #6 bukan hanya berfokus pada krisis pangan semata, namun juga memperluasnya ke berbagai sudut pandang—dari seniman, akademisi, sastrawan, hingga kepemimpinan—untuk menemukan cara menyikapi krisis yang terjadi di semua bidang.
Forum ini terbuka bagi siapapun yang merasa memiliki kegelisahan yang sama, mengajak untuk hadir dan membersamai upaya mencari solusi dari akar rumput.(KA)