Prof. Muslim A. Kadir, MA
JEPARA | GISTARA. COM — Di sebuah sudut Kafe Bondjati yang tenang dan hangat, puluhan mahasiswa tampak khusyuk mengikuti forum Ngaji Pemikiran Prof. Muslim A. Kadir, MA tentang Ilmu Islam Terapan. Dalam suasana diskusi yang cair namun sarat gagasan, para peserta memperoleh wawasan baru tentang bagaimana memahami masyarakat secara kritis melalui perspektif keilmuan Islam modern.
Dalam forum tersebut, Prof. Muslim A. Kadir, MA memaparkan bahwa Ilmu Islam Terapan merupakan paradigma keilmuan yang tidak cukup hanya diperkenalkan sebagai konsep, tetapi harus diuji secara ilmiah. Ia menjelaskan bahwa ilmu dalam Islam harus bergerak dan mengalami pengujian sebagaimana prinsip falsifikasi Karl Popper.
“Al-Qur’an dan Sunnah tetap dapat ditafsirkan secara metodologis tanpa kehilangan dasar iman, asalkan diuji dan dibaca dengan pendekatan ilmiah,” ujarnya saat memberikan penjelasan kepada Mahasiswa S3 UIN Sunan Kudus di Kafe Bondjati Kudus, Sabtu (6/12/25).
BACA JUGA: Kolaborasi Lintas Instansi, PLN Kebut Pemulihan Kelistrikan Aceh
Lebih lanjut, ia menerangkan penggunaan pendekatan monisme filosofis yang menegaskan kesatuan realitas sebagai fondasi pengembangan sains.
Dalam pemaparannya, ia menunjukkan simbol lingkaran sebagai ilustrasi bahwa ilmu tidak memiliki batas luar—sebuah metafora bahwa pengetahuan terus terbuka terhadap pengembangan dan verifikasi.
Gagasan ini sejalan dengan pandangannya dalam Ilmu Islam Terapan, yakni bahwa wahyu harus dipadukan dengan realitas empiris agar relevan dengan kehidupan modern.
Pada sesi berikutnya, Prof. Muslim menguraikan perbedaan antara praktik Nabawi dan sunnah.
Ia mencontohkan peristiwa Perang Badar ketika keputusan Nabi diluruskan oleh sahabat.
Menurutnya, contoh tersebut penting dipahami agar mahasiswa mampu membedakan bagian ajaran yang bersifat normatif dari praktik yang bersifat kontekstual.
BACA JUGA: Lewat TATAH, IFEX, hingga INDEX Dubai 2026, Bupati Jepara: Buka Jejaring Pasar Baru dan Tarik Investor ke Jepara
Ia menambahkan bahwa lemahnya “power iman” pada masa itu terlihat dari sikap sebagian umat yang tergesa-gesa mengambil rampasan perang, sehingga pendidikan akidah perlu diarahkan tidak hanya pada pengenalan konsep iman, tetapi juga pada penguatan kesadaran moral dan epistemologis.
Dalam penjelasannya, ia memaparkan bahwa pendekatan Bayani menitikberatkan pada kekuatan teks melalui penafsiran Al-Qur’an, hadis, dan literatur klasik, sedangkan pendekatan Irfani bertumpu pada pengalaman spiritual dan intuisi batin yang diperoleh melalui proses kontemplatif dan penyucian jiwa.
Menurutnya, perpaduan keduanya penting untuk memperkaya khazanah ilmu Islam, namun ia menilai bahwa ketiga pendekatan klasik, termasuk Burhani, belum diterapkan secara utuh dalam pendidikan Islam saat ini.
Karena itu, ia menegaskan perlunya pendekatan empiris yang dapat memperbarui struktur ilmu fikih agar lebih adaptif dalam membaca realitas masyarakat.
“Teori dalam Islam adalah proses pengembangan wahyu, dan ilmu tidak akan bermakna jika tidak dipraktikkan dalam kehidupan sosial,” ujarnya.
Kegiatan Ngaji ini menjadi ruang reflektif bagi peserta untuk memahami bahwa belajar agama tidak cukup berhenti pada penguasaan teks, tetapi harus berkembang menjadi kemampuan membaca masyarakat, memahami dinamika sosial, dan menerapkan nilai-nilai wahyu secara kontekstual dalam kehidupan nyata.(KA)