JEPARA | GISTARA.COM – Tradisi Sepak Bola Api yang termaktub dalam Festival Jondang dan Sedekah Bumi Desa Kawak, Kecamatan Pakisaji, Kabupaten Jepara usai digelar.
Tradisi yang telah terselenggara selama sembilan kali itu, disebut memiliki makna tersembunyi. Sepak Bola Api yang sarat akan bahaya, diartikan sebagai kontrol terhadap hawa nafsu.
Ketua Adat Desa Kawak, Amin Ayahudi memaparkan, api merupakan lambang dari setan atau amarah. Apabila dapat mengontrol api, bisa disebut berhasil dalam proses pengekangan kelakuan setan.
“Bola api ini tujuannya agar mengendalikan amarah, emosi, kemurkaan. Jika berhasil, mencapai kesuksesan. Sebaliknya, apabila tidak berhati-hati akan membakar diri sendiri,” papar Amin kepada Redaksi, Selasa (6/6/23) malam.
Sepakbola yang dimainkan secara kelompok (lima orang satu tim) ini, merupakan bagian dari Festival Jondang Sedekah Bumi. Disebut, sempat vakum selama dua tahun. Karena tradisi, bukan mati, tapi hadir kembali.
“Sewaktu covid, adat benar-benar mati suri. Padahal sudah berlangsung sejak 2012 lalu ketika saya sampaikan ke Petinggi. Tidak patah arang, bikin lagi, ternyata semakin ramai,” lanjutnya.
Bagi dia, pelestarian budaya itu harus. Mulai dari kegiatan manganan, bola api dan perang api, sebagai bagian warga Desa Kawak mesti menjaga adat.
Tidak sembarang muncul, Amin juga menyebutkan, bahwa dahulu tradisi saling bacok, tawuran, atau kegiatan negatif akrab di kalangan pemuda. Sehingga, ia mengusulkan Bola Api sebagai ajang untuk unjuk kebolehan.
“Ternyata berhasil, masyarakat merespon secara positif. Alhamdulillah, lestari,” pungkasnya.
Sebagai informasi, semasa ratu shima, penguasa Kerajaan Kalingga Tahun 674 M. Di masa itu, Desa Kawak adalah tempat ibadah Umat Hindu. Sehingga, sang Ratu berikan suatu penghargaan sebagai desa perdikan (beradab). (okom/sochib)