JEPARA | GISTARA.COM – Memasuki paruh kedua tahun 2023, Pengadilan Agama Kabupaten Jepara melaporkan sebanyak 1.376 masyarakat mengajukan cerai. Diprediksi, di penghujung Desember perceraian meningkat menjadi 2.300 sampai 2.400 kasus.
Menurut Hakim Pengadilan Agama Jepara, Sujadi, perceraian di Jepara telah menjelma laksana tren atau budaya. Ditunjukkan, angka perceraian dari tahun ke tahun mengalami peningkatan.
Tercatat, angka perceraian di tahun 2020 mencapai 2.154. Sempat turun di tahun 2021, menjadi 2.072. Namun naik lagi di angka 2.132 pada tahun 2022. Lantas diprediksi oleh Sujadi, akhir tahun 2023 perceraian menjangkau angka 2.400.
“Sekarang saja sudah banyak, 1.376 telah mengajukan cerai, baik laki-laki atau perempuan tidak pandang bulu, padahal baru berjalan setengah tahun ini. Prediksi akan jauh lebih banyak dari tahun kemaren, seolah sudah menjadi tren,” papar Sujadi kepada Gistara, Kamis (6/7/23).
Keputusan melepas tali pernikahan, alasannya beragam. Di antaranya, meninggalkan salah satu pihak (selingkuh) mencapai 76 laporan. Kemudian, 300 orang karena terhimpit masalah ekonomi. Terakhir, perselisihan dan pertengkaran terus menerus adalah penyebab paling tinggi perceraian, sampai 424 kasus.
“Kebanyakan dari mereka adalah muda-mudi yang belum siap dengan pernikahan. Mental yang belum matang, finansial yang belum mumpuni, atau pengetahuan nikah yang minim, semuanya jadi hulu lalu berhilir menjadi perceraian,” terang dia.
Terkait ketidaksiapan mental dan ekonomi oleh remaja yang nekat menikah, dibenarkan oleh Kepala Bidang (Kabid) Perlindungan Perempuan dan Anak atau PPA dari Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dam Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Muji Susanto.
“Sebagaimana perundang-undangan mengatur, UU Perkawinan yang mengatakan batas minimal laki-laki dan perempuan menikah yakni 19 tahun, ada maksudnya, yakni kesiapan mental. Bahkan idelanya kan laki-laki malah 25, ini untuk menghalau perceraian apabila secara ekonomi belum matang,” pungkas Muji. (Okom/Sochib)