Oleh: M. Ali Burhan
Dalam pemahaman umum, Gen Z atau Generasi Z adalah mereka yang lahir antara tahun 1997 sampai 2012. Saat ini, Gen Z generasi awal telah lulus kuliah atau telah memasuki dunia kerja. Generasi Z sebelumnya masih Remaja dan beranjak dewasa, mereka ini masih usia sekolah dan kuliah, tentu sebagian mereka juga telah bekerja.
Gen Z sering di stigma sebagai “Strawberry Generation” yang bermental lembek, memiliki tingkat kebahagiaan yang rendah, dan rentan mengalami ganguan mental. Pada kenyataan yang berbeda Gen Z ini juga memiliki karakter yang positif, mereka memiliki karakter yang selalu tertantang oleh hal baru dan bersemangat untuk berusaha lebih keras.
Hal ini disebabkan karena mereka lahir dan tumbuh besar langsung dengan teknologi dan atau lebih dikenal dengan “Digital Native”. Sebuah generasi yang sangat berbeda dengan generasi sebelumnya.
Namun kita harus mengakui bahwa kemajuan teknologi adalah realitas di luar diri manusia yang mana hal tersebut bisa membawa dampak positif dan negatif sekaligus, tergantung kemampuan masing-masing individu dan kelompok-kelompok sosial dalam mensikapinya.
BACA JUGA: Perang Obor Tegalsambi, Tradisi Ratusan Tahun yang Tetap Lestari
Dalam hal ini bagaimana peran Pancasila dalam mendampingi perkembangan Gen Z saat ini? Tulisan ini tidak hendak mengupas tuntas solusi dari persoalan tersebut, tapi lebih pada pembacaan fenomena tata internalisasi nilai pancasila di masyarakat yang dirasakan penulis.
Gen Z adalah sekelompok manusia yang secara alamiah memiliki kodrat untuk menfilter segala yang masuk dalam diri mereka, termasuk arus informasi membanjir yang tanpa diimbangi dengan nilai-nilai positif di dalamnya. Pendekatan Psikologis sangat dibutuhkan untuk mengimbanginya. Dari sisi atau jalur inilah nilai-nilai Pancasila bisa menjadi filter tata nilai mendampingi dan menguatkan Generasi Z dalam menghadapi tantangan-tantangan hidupnya.
Kenapa Pancasila? Karena Pancasila adalah dasar negara, ideologi negara, dan pandangan hidup bangsa yang digali dan ditetapkan oleh pendiri bangsa. Pada Pancasila terkandung nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Demokrasi dengan dasar hikmah, dan keadilan sosial.
Tata nilai Pancasila ini lahir seiring kemerdekaan bangsa Indonesia. Dalam sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) 1 Juni 1945, Bapak Soekarno menyampaikan gagasannya mengenai konsep awal Pancasila yang menjadi dasar negara Indonesia yang kemudian oleh Dr. Radjiman Widyoningrat, pidato tersebut diberi judul “Lahirnya Pancasila”.
Perumusan lebih lanjut tentang Pancasila kemudian dilakukan oleh panitia sembilan yang masing-masing mewakili elemen bangsa Indonesia, yakni ; Ir. Soekarno, Mohammad Hatta, Abikoesno Tjokroseojoso, Agus Salim, Wahid Hasyim, Mohammad Yamin, Abdul Kahar Muzakkir, Mr. AA. Maramis, dan Achmad Soebarjo. Dan Ir. Soekarno mengakui bahwa Pancasila bukanlah ciptaannya tetapi Pancasila di gali dan di ramu dari nilai luhur yang dimiliki bangsa-bangsa di nusantara.
Pemahaman Gen Z sebagai bagian dari bangsa, bagian dari negara, bagian dari masyarakat, bagian dari keluarga, dan sebagai diri sendiri, perlu di-internalisasi-kan secara masif. Internalisasi yang dimaksud adalah internalisasi nilai Pancasila. Tentu tanggungjawab ini bukan hanya berada di pundak pemerintah saja, tapi juga merupakan tanggungjawab semua elemen masyarakat Indonesia.
BACA JUGA: Ini Penyebab Suhu Panas di Siang Hari dan Gerah di Malam Hari
Proses internalisasi nilai Pancasila ini sudah dilaksanakan oleh pemerintah, misalnya melalui program P5 pada program pendidikan kita yang tentunya program ini menyasar pada Generasi Z secara langsung melalui sistem dan struktur. Kemudian bagaimana dengan Gen Z yang di masyarakat?
Sebagaimana pesan Bung Karno di atas, bahwa Pancasila bukan ciptaannya, tapi merupakan rumusan, perasan, dan intisari dari jiwa bangsa Nusantara yang di gali oleh beliau, maka pada hakikatnya nilai-nilai itu telah ada dan tertanam sejak manusia Indonesia dilahirkan dan hidup tumbuh dimasyarakatnya.
Pewarisan nilai luhur ini sudah dilaksanakan oleh masyarakat melalui foklor atau local wisdom dilingkungannya masing-masing. Namun pada kenyataannya, Gen Z tumbuh dengan dominasi media sosial daripada realitas sosial di lingkungannya. Pewarisan nilai Pancasila menjadi tipis dan menghawatirkan.
Pewarisan nilai Pancasila kepada Gen Z, memerlukan pendekatan dan pemahaman dengan merespon dinamika psikologis, karena tantangan dan kesulitan mereka belum pernah terjadi atau dialami oleh generasi sebelumnya. Mereka menghadapi tekanan identitas, tuntutan akademik yang tinggi, dan paparan media sosial yang sangat berlebihan. Mereka memiliki karakteristik unik yang mempengaruhi cara mereka berinteraksi dan berkomunikasi.Memahamkan nilai luhur Pancasila kepada mereka mesti harus berinteraksi dan berkomunikasi secara intens dengan mereka.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam berinteraksi dan berkomunikasi dengan Gen Z, diantaranya adalah; Pertama; Memanfaatkan Teknologi Digital. Generasi ini besar dan tumbuh dalam lingkungan yang selalu terhubung dengan internet dan media sosial, maka sangat efektif menyampaikan nilai-nilai Pancasila melalui media sosial.
Bentuknya bisa tulisan-tulisan atau pesan-pesan singkat dan juga video-video singkat yang menarik. Media yang praktis dan singkat lebih cocok dengan psikologis mereka yang terbiasa mendapatkan sesuatu, terutama pengetahuan secara mudah, pendek, cepat, dan singkat dari media sosial.
BACA JUGA: KH. Ahmad Darodji: Potensi Zakat di Jateng Capai 3,1 T
Kedua; Informasi yang Jujur, Lugas dan Demokratis; Gen Z menghargai kejujuran dan keterbukaan, dan komunikasi dua arah. Mereka agak gagap menangkap metafor-metafor nilai yang terpancar dari fenomena-fenomena yang di temui. Tekstual dan apa adanya akan lebih menarik mereka untuk merespon. Bacaan novel atau Film-film durasi panjang yang syarat dengan metafora nilai akan mereka tinggalkan karena mereka terbiasa praktis, singkat dan apa adanya.
Kalau hari ini mereka menyukai novel-novel online atau drama korea yang berdurasi panjang, itu karena cerita-cerita yang dihadirkan berupa hitam-putih baik-buruk, jahat-budiman, dan kaya-miskin, sementara realitas hidup yang lebih banyak abu-abu, tidak terbaca oleh mereka.
Ketiga; Fokus pada nilai dan dampak sosial. Karena arus informasi mereka berkelindan tanpa batas, maka mereka memiliki kesadaran sosial yang tinggi dan tidak terduga. Isu-isu global seperti perubahan iklim, kesetaraan dan keadilan sosial sewaktu-waktu bisa mereka kritisi, sementara realitas eksistensi diri di lingkungannya, kurang mereka pahami.
Jika zaman sebelumnya eksistensi dibangun dengan prestasi sosial di lingkungan, misalnya; menggerakkan dan ikut serta kerja bakti lingkungan dan atau menolong orang lain, maka hari ini eksistensi bisa dicapai melalui proses-proses instan dari pencitraan di media sosial.
Pesan-pesan yang fokus pada tata nilai dan dampak (realitas) sosial di lingkungannya bisa menjadi upaya yang efektif untuk menjaga nilai-nilai luhur Pancasila.
M. Ali Burhan, Pengurus PC Lesbumi NU Jepara