Oleh: Diah Ayu Nurlaila
Menurut AKP Yorisa Prabowo, Kasat Reskrim Polres Jepara, menyampaikan bahwa terdapat sebanyak 57 kasus aduan dari bulan Januari hingga Mei. Dengan rincian 6 kasus pencabulan, 18 kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), 21 kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan, serta 10 kasus perzinaan.
AKP Yorisa juga menjelaskan bahwa faktor utama terjadinya kasus-kasus tersebut adalah faktor ekonomi yang mendominasi penyebab terjadinya kekerasan dan pencabulan. Selain itu, faktor lingkungan dan penyalahgunaan teknologi, di mana orang dapat bertindak bebas tanpa kendali, juga menjadi pemicu signifikan (RMOLJATENG, 08/07/2024).
Kondisi ini menunjukkan adanya korelasi yang kuat antara faktor ekonomi, lingkungan, dan penyalahgunaan teknologi sebagai pemicu utama terjadinya kasus-kasus tersebut. Ketidakstabilan ekonomi sering kali menciptakan tekanan dalam rumah tangga.
Selain itu, pengaruh lingkungan dan penggunaan teknologi tanpa pengawasan juga berkontribusi pada perilaku tidak terkendali yang memperburuk situasi dan kemudian memicu tindakan kekerasan.
BACA JUGA: Dewan Pendidikan Jateng, Dukung Pembentukan Satgas Anti Kekerasan di Satuan Pendidikan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kekerasan didefinisikan sebagai perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedera atau kematian orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang milik orang lain.
Dengan berkembangnya teknologi, tindak kekerasan menjadi semakin luas. Dengan kata lain, tindak kekerasan tidak hanya terjadi di dunia nyata, tetapi juga di dunia maya atau media sosial. Oleh karena itu, agar tidak menjadi pelaku kekerasan di dunia maya, kita perlu bijak dalam menggunakan media sosial.
Dilansir dari PAUDPEDIA, Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan mengidentifikasi enam bentuk kekerasan yang diatur secara rinci. Hal ini mencakup berbagai aspek yang berkaitan dengan keamanan dan kesejahteraan anak.
Berikut adalah bentuk-bentuk kekerasan tersebut, pertama kekerasan fisik, yaitu perbuatan yang dilakukan dengan kontak fisik, baik menggunakan alat bantu maupun tanpa alat bantu, seperti perkelahian dan penganiayaan. Kedua, kekerasan psikis, yaitu perbuatan nonfisik yang mencakup tindakan yang bertujuan untuk merendahkan, menghina, menakuti, mengabaikan, mengintimidasi, mengejek, serta tindakan-tindakan lain yang menciptakan ketidaknyamanan dan memicu emosi.
Ketiga, perundungan/bullying, yaitu kekerasan fisik dan psikologis yang terjadi secara berulang oleh individu yang memiliki kekuatan atau pengaruh lebih tinggi. Keempat, kekerasan seksual, yaitu perilaku yang merendahkan, menghina, melecehkan, menyerang, mempertontonkan, atau memotret area pribadi tubuh seseorang. Kelima, diskriminasi dan intoleransi, yaitu pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pemilihan berdasarkan suku/etnis, agama, kepercayaan, ras, warna kulit, usia, status sosial ekonomi, kebangsaan, jenis kelamin, atau kemampuan intelektual, mental, sensorik, dan fisik. Keenam, kebijakan yang mengandung kekerasan, yaitu kebijakan yang berpotensi menimbulkan kekerasan oleh pendidik, tenaga kependidikan, komite sekolah, kepala satuan pendidikan, dan kepala dinas pendidikan.
BACA JUGA: Sinergi antara Pemerintah, Lembaga Pendidikan, dan Masyarakat Kunci Ciptakan Pendidikan yang Inklusif
Muh. Ali, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Kabupaten Jepara, menjelaskan bahwa Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A) yang berada di bawah DP3AP2KB memang fokus pada penanganan kasus kekerasan seksual terhadap anak dan KDRT. Kasus ini harus ditangani dengan serius. Kasus kekerasanl yang paling tinggi adalah terhadap anak, khususnya kekerasan seksual, diikuti kekerasan dalam rumah tangga dan perdagangan manusia (human trafficking).
Segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak tentunya tidak dapat ditoleransi. Namun, kekerasan masih sering terjadi, bahkan pelakunya sering kali adalah orang terdekat, termasuk keluarga sendiri.
Dengan demikian, kasus kekerasan terhadap anak tidak hanya merusak secara fisik tetapi juga meninggalkan dampak emosional dan psikologis jangka panjang. Kondisi ini memerlukan perhatian bersama karena anak adalah generasi penerus bangsa yang membutuhkan perlindungan optimal untuk tumbuh dan berkembang dengan sehat.
Untuk mengatasi permasalahan kekerasan terhadap anak di Kabupaten Jepara, diperlukan langkah-langkah strategis yang menyeluruh. Pemerintah bersama lembaga terkait harus menggencarkan edukasi kepada masyarakat tentang bahaya kekerasan terhadap anak, baik secara fisik, psikis, maupun berbasis teknologi. Selain itu, penting untuk mendorong penggunaan teknologi secara bijak guna mencegah kekerasan berbasis gender online (KBGO). Penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku kekerasan juga harus dilakukan.
Diah Ayu Nurlaila, Mahasiswa Unisnu Jepara Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam