Oleh: Farah Najwa Safitri
Menjelang momen Hari Raya, Tunjangan Hari Raya (THR) sering kali menjadi perbincangan hangat di masyarakat. Sayangnya, praktik korupsi politik kerap menyusupi penyaluran THR, terutama di kalangan pejabat publik. Data dari Transparency International Indonesia (TII) pada 2024 menunjukkan, Indeks Skor CPI Indonesia pada tahun 2023 stagnan dari tahun 2022, yakni 34, dari 100 dengan peringkat ke-115 dari 180 negara. indeks persepsi korupsi memiliki skor 0-100. Angka 0 berarti paling korup dan angka 100 berarti paling jujur. Posisi Indonesia menurun dari tahun sebelumnya yang berada di peringkat 110, hal tersebut menempatkan Indonesia dalam posisi rawan korupsi. (Sustain.id, 5/2/24).
Berdasarkan data di atas, korupsi politik terus menjadi masalah akut yang menyandera transparansi dan integritas kebijakan publik di Indonesia. THR, yang seharusnya menjadi hak karyawan atau pegawai, kerap dijadikan alat politik oleh segelintir pihak untuk memperkuat pengaruh atau mencari keuntungan pribadi. Hal ini menegaskan bahwa Indonesia masih berada dalam ancaman besar terhadap demokrasi dan kesejahteraan masyarakat karena korupsi politik.
Menurut Robert Klitgaard (1991), korupsi politik adalah penyalahgunaan kekuasaan publik untuk keuntungan pribadi, sering kali dengan cara memanipulasi kebijakan atau sumber daya negara. Huntington (1968) menggambarkan korupsi politik sebagai perilaku yang melanggar norma yang diharapkan dari pejabat publik, dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan finansial atau politik. Dalam konteks Indonesia, korupsi politik sering kali dikaitkan dengan praktik kolusi, nepotisme, dan manipulasi kebijakan demi kepentingan kelompok tertentu.
BACA JUGA: Digitalisasi Siskamling, Kapolres Jepara Lauching ‘Smart Satkamling
Praktik korupsi politik dalam penyaluran THR semakin sulit ditutupi. Beberapa laporan mengungkap bahwa dana THR di sejumlah daerah digunakan oleh oknum pejabat untuk mendanai kampanye politik atau menyuap pemilih. Misalnya, pada 2024, ditemukan kasus di sebuah kabupaten di Jawa Timur di mana dana THR untuk pegawai honorer dialihkan untuk pembelian paket sembako yang kemudian dibagikan kepada warga sebagai bentuk kampanye terselubung. Di Jakarta, indikasi penggelembungan anggaran THR untuk ASN menjadi bahan sorotan, di mana sebagian dana diduga masuk ke rekening pribadi pejabat tertentu.
Mantan Ketua KPK, Abraham Samad mengatakan, korupsi politik adalah kanker dalam sistem demokrasi kita yang jika dibiarkan akan menghancurkan kepercayaan public. Sosiolog Thamrin Amal Tomagola menambahkan, “Korupsi politik bukan hanya tentang uang, tetapi juga tentang penghancuran moral bangsa.
Presiden Jokowi dalam pidatonya pada tahun 2024 juga menegaskan, tidak ada toleransi bagi siapapun yang menyalahgunakan dana publik, termasuk dana THR, untuk kepentingan politik pribadi.
BACA JUGA: IKA PMII Jepara Gelar Khaul Gus Dur ke 15, Refleksikan Nilai-Nilai Keadilan Sosial
Kasus-kasus nyata dari permasalahan ini yakni di sebuah provinsi di Sumatera, seorang kepala dinas ditemukan mengalihkan sebagian anggaran THR ASN untuk mendanai pertemuan politik. Di Papua, penyelewengan anggaran THR digunakan untuk membayar baliho dan iklan politik seorang calon legislatif. Di Yogyakarta, dana bantuan sosial yang digabungkan dengan dana THR digunakan untuk membeli barang konsumtif atas nama program “bantuan pemerintah.” Semua kasus ini menandakan lemahnya pengawasan terhadap penggunaan anggaran publik.
Korupsi politik dalam konteks THR adalah bentuk penyalahgunaan kekuasaan yang harus segera diberantas. Pemerintah harus meningkatkan transparansi dalam pengelolaan anggaran THR dan memperketat pengawasan melalui audit independen. Penegakan hukum juga harus diperkuat dengan memberikan sanksi berat kepada pelaku korupsi, termasuk pencabutan hak politik.
Oleh karena itu, masyarakat harus kritis dan berani melaporkan indikasi korupsi kepada lembaga berwenang. Dan juga kepada pemerintah, perlu memperkuat transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran THR untuk mencegah manipulasi dan penyelewengan. Pengawasan ketat melalui audit independen serta penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku korupsi harus menjadi prioritas.
Edukasi dan peningkatan kesadaran moral bagi aparatur sipil negara juga penting untuk menanamkan integritas dalam pengelolaan dana publik. Dengan kerja sama antara pemerintah, masyarakat, dan lembaga antikorupsi, kita dapat membangun sistem yang lebih bersih dan bermartabat. Korupsi politik bukan hanya masalah hukum, tetapi juga masalah moral yang harus kita perangi bersama demi masa depan Indonesia yang lebih baik.
Farah Najwa Safitri, Mahasiswi Komunikasi dan Penyiaran Islam, Ketua LPTQ Nurul Qur’an Unisnu Jepara