Oleh: Muh Khamdan*
Hari Pers Nasional, yang diperingati setiap 9 Februari, seharusnya menjadi momen refleksi bagi seluruh insan pers, termasuk jurnalis yang bernaung dalam komunitas Nahdlatul Ulama (NU). Sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia, NU memiliki tanggung jawab moral untuk memastikan bahwa isu-isu sosial yang berdampak pada masyarakat tidak hanya menjadi diskursus terbatas, tetapi benar-benar dikawal dengan keberanian dan ketajaman jurnalistik.
Jauh sebelum era digital mengubah lanskap media, NU telah memiliki kesadaran literasi jurnalistik yang cukup maju. Setahun setelah NU didirikan pada 1926, organisasi ini menerbitkan Swara Nahdlatoel Oelama dalam aksara Jawa Pegon pada Juni 1927. Majalah ini menjadi corong pemikiran ulama dan alat perjuangan sosial-keagamaan. Namun, seiring waktu, keberadaan jurnalis dalam struktur NU seolah menjadi elemen yang kurang diperhitungkan secara strategis.
BACA JUGA: Wakil Ketua KPK Ajak Perangkat Daerah Berantas Korupsi
Secara kelembagaan, NU memang tidak memiliki badan otonom khusus untuk profesi wartawan. Namun, keberadaan Lembaga Ta’lif wa Nasyr (LTN NU) di setiap jenjang kepengurusan, yang bertugas dalam bidang publikasi, semestinya dapat menjadi motor utama dalam mengembangkan jurnalisme berbasis Nahdliyin. Sayangnya, peran LTN NU dalam mengelola pemberitaan dan advokasi isu-isu publik masih belum optimal.
NU dan Tantangan Jurnalisme Keberpihakan
Di era disrupsi informasi, NU sebenarnya memiliki potensi besar dalam mengimbangi media arus utama melalui platform seperti NU Online dan berbagai kanal media lain yang dikelola warga Nahdliyin. Namun, dalam realitasnya, media NU sering kali masih berorientasi pada pemberitaan seremonial dan kurang memainkan peran sebagai watchdog (anjing penjaga) terhadap isu-isu sosial yang merugikan masyarakat.
Kita bisa menilik kasus-kasus konkret di Jepara, di mana isu-isu sosial yang seharusnya mendapat perhatian justru seolah luput dari sorotan kelembagaan NU. Sejumlah isu itu sebagaimana keberpihakan pada nelayan yang terancam abrasi dan dampak eksploitasi pesisir, kasus intimidasi dan kekerasan yang melibatkan anak kiai terhadap guru madrasah diniyah, Galian C ilegal yang merusak lingkungan dan menyebabkan korban jiwa, kondisi jalan rusak yang membahayakan masyarakat namun minim respons dari pemerintah, dekadensi moral akibat tren sosial baru yang dipengaruhi masifnya pabrik dan dunia-dunia perburuhan, termasuk maraknya peredaran minuman keras dan narkoba di berbagai wilayah.
Persoalan-persoalan ini semestinya menjadi agenda utama dalam pemberitaan dan advokasi jurnalis NU. Namun, dalam praktiknya, isu-isu ini masih minim terangkat oleh media-media NU secara sistematis dan berkelanjutan. Tentu kita bisa mengingat sejumlah nama wartawan NU yang sangat dikenal dalam pengawalan isu-isu sosial, seperti Dharto Wahab, Mahbub Djunaidi, Zen Badjeber, Saifuddin Zuhri, Chalid Mawardi, Mohammad Kaiyis, dan Asa Bafaqih.
NU memiliki modal sosial dan intelektual yang kuat untuk membangun jurnalisme keberpihakan. NU perlu memberikan ruang dan dukungan bagi kader-kader yang ingin serius menekuni dunia jurnalistik. Pelatihan, sertifikasi, dan penguatan jejaring antarjurnalis Nahdliyin perlu diperkuat. Media seperti NU Online baik yang dikelola oleh PBNU maupun kontributor NU daerah se-Indonesia, dan kanal berita lainnya harus berani bertransformasi dari sekadar penyampai informasi internal menjadi media yang aktif mengawal kepentingan publik dengan pendekatan investigatif.
BACA JUGA: Agus Sutisna: Program MBG Jangan Kesampingkan Urusan Wajib Dasar Lainnya
Jurnalisme NU tidak boleh terjebak dalam sekadar berita yang mengangkat prestasi organisasi. Sebaliknya, harus memiliki keberanian untuk mengkritik, mengawasi, dan mengadvokasi kebijakan publik yang tidak berpihak pada masyarakat kecil. Media NU harus bersinergi dengan berbagai gerakan sosial berbasis Nahdliyin untuk memperkuat advokasi isu-isu yang berdampak luas, seperti ekologi, kesejahteraan pekerja, serta perlindungan masyarakat dari eksploitasi dan ketidakadilan. Lembaga Ta’lif wa Nasyr (LTN NU) di berbagai tingkatan harus diperkuat agar lebih responsif dalam mempublikasikan berita-berita yang benar-benar mewakili kepentingan masyarakat.
Dalam peringatan Hari Pers Nasional, jurnalis NU perlu merefleksikan kembali peran mereka dalam menyuarakan kebenaran dan membela kepentingan masyarakat. Jika sejak 1927 NU telah memiliki media yang berani berbicara, maka di era digital ini, seharusnya keberanian itu semakin besar, bukan justru redup.
Saatnya jurnalis NU tidak hanya menjadi penyampai berita seremonial, tetapi juga menjadi garda depan dalam mengawal isu-isu sosial yang berdampak langsung pada kehidupan warga Nahdliyin. Keberanian, integritas, dan profesionalisme harus menjadi pegangan utama agar jurnalisme NU tidak hanya hidup dalam sejarah, tetapi juga menjadi kekuatan perubahan yang nyata bagi masyarakat.
Muh Khamdan, Doktor Studi Agama dan Perdamaian UIN Jakarta; LTNNU MWCNU Nalumsari Jepara.