Oleh: Jumaiyah, SE.M.Si
Setiap tanggal 1 Juni, bangsa Indonesia memperingati Hari Lahir Pancasila dengan berbagai upacara dan kegiatan. Namun, di balik gemerlap perayaan tersebut, pertanyaan mendasar yang perlu kita ajukan adalah: sejauh mana nilai-nilai Pancasila benar-benar telah terinternalisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di era kontemporer ini?
Pancasila, yang lahir dari proses pergulatan intelektual para founding fathers, bukan sekadar produk sejarah yang patut dikagumi dari kejauhan. Lima sila yang terkandung di dalamnya merupakan kristalisasi dari nilai-nilai luhur bangsa yang seharusnya menjadi panduan dalam menghadapi kompleksitas permasalahan modern. Ketuhanan Yang Maha Esa mengajarkan toleransi beragama, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab menekankan penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia, Persatuan Indonesia mengukuhkan semangat kebhinekaan, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan menjunjung tinggi demokrasi deliberatif, dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia menuntut pemerataan kesejahteraan.
BACA JUGA: PLN UIK Tanjung Jati B Beri Apresiasi untuk Guru Ngaji Menjelang Hari Kartini
Realitas yang kita hadapi hari ini menunjukkan adanya kesenjangan antara idealitas Pancasila dengan praktik kehidupan sehari-hari. Fenomena intoleransi masih kerap muncul di berbagai daerah, polarisasi politik semakin menguat, dan kesenjangan ekonomi terus melebar. Media sosial, yang seharusnya menjadi sarana demokratisasi informasi, justru kerap menjadi medan pertempuran narasi yang memecah belah. Hoaks dan ujaran kebencian menyebar dengan mudah, mengikis rasa persatuan yang menjadi fondasi kehidupan berbangsa.
Tantangan terbesar implementasi Pancasila di era digital adalah bagaimana mentransformasikan nilai-nilai filosofis menjadi perilaku konkret dalam ruang siber. Generasi milenial dan Gen Z, yang merupakan digital natives, membutuhkan pendekatan yang berbeda dalam memahami dan mengamalkan Pancasila. Pendidikan Pancasila tidak lagi cukup disampaikan melalui hafalan teks semata, melainkan harus dikontekstualisasikan dengan isu-isu aktual yang mereka hadapi.
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, misalnya, perlu dimaknai ulang dalam konteks pluralisme digital. Bagaimana menciptakan ruang diskusi keagamaan yang sehat di media sosial? Bagaimana mengajarkan toleransi di tengah algoritma yang cenderung memperkuat echo chamber? Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab menuntut kita untuk lebih peduli terhadap isu-isu kemanusiaan global, mulai dari krisis iklim hingga perlindungan hak-hak minoritas.
Persatuan Indonesia di era globalisasi memiliki makna yang lebih luas. Bukan hanya persatuan dalam batas geografis, tetapi juga persatuan dalam menghadapi tantangan global. Pandemi COVID-19 telah mengajarkan kita bahwa solidaritas tidak mengenal batas negara. Demikian pula dengan isu perubahan iklim, yang membutuhkan aksi kolektif dari seluruh lapisan masyarakat.
Sila keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, menghadapi ujian serius di era post-truth. Bagaimana membangun deliberasi publik yang berkualitas ketika informasi yang beredar semakin sulit diverifikasi? Bagaimana menjaga proses demokrasi dari manipulasi big data dan micro-targeting dalam kampanye politik?
Sementara itu, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia menuntut pemikiran ulang tentang konsep kesejahteraan di era ekonomi digital. Bagaimana memastikan bahwa transformasi digital tidak semakin memperdalam kesenjangan, melainkan menjadi sarana untuk pemerataan akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan peluang ekonomi?
BACA JUGA: PLN UIK Tanjung Jati B dan Pokdakan Sido Maju II Kembangkan Rumah Bibit Mangrove: Solusi Hijau untuk Konservasi dan Ekonomi Masyarakat
Revitalisasi Pancasila membutuhkan pendekatan yang holistik dan inovatif. Pertama, pendidikan Pancasila harus dikemas dalam format yang menarik dan relevan bagi generasi digital. Gamifikasi, storytelling interaktif, dan platform pembelajaran digital dapat menjadi alternatif yang efektif. Kedua, contoh keteladanan dari para pemimpin di berbagai level menjadi kunci utama. Pancasila akan kehilangan kredibilitasnya jika tidak dipraktikkan oleh mereka yang berada di posisi otoritas.
Ketiga, pelibatan aktif organisasi masyarakat sipil dalam sosialisasi nilai-nilai Pancasila menjadi sangat penting. Komunitas-komunitas lokal memiliki pemahaman yang lebih mendalam tentang dinamika sosial di tingkat grassroots. Keempat, pemanfaatan teknologi untuk monitoring dan evaluasi implementasi Pancasila dapat membantu mengidentifikasi area-area yang membutuhkan perhatian khusus.
Hari Lahir Pancasila seharusnya menjadi momentum untuk introspeksi kolektif. Bukan sekadar merayakan warisan masa lalu, tetapi juga merefleksikan relevansinya untuk masa depan. Pancasila memiliki fleksibilitas untuk beradaptasi dengan perkembangan zaman, asalkan substansi nilai-nilainya tetap dijaga.
Tantangan ke depan adalah bagaimana membuat Pancasila menjadi living ideology yang tidak hanya dihafal, tetapi juga dihayati dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Hanya dengan cara itulah Pancasila dapat membuktikan relevansinya sebagai kompas moral bangsa di tengah turbulensi global yang semakin kompleks. Pancasila bukan milik masa lalu, melainkan panduan untuk masa depan yang lebih baik.
Jumaiyah, SE, M.Si, Dosen Universitas Islam Nahdlatul Ulama Jepara