Oleh: Retno Wahyu Ningrum
Pada 14 September 1964, di Desa Tanggul, Kecamatan Mijen, lahir seorang putra dari keluarga petani sederhana, KH. Nasta’in, anak bungsu dari enam bersaudara pasangan H. Mas’ud dan Hj. Muzayanah. Sejak kecil, beliau sudah mengenal kesederhanaan hidup dengan ikut membantu orang tuanya di sawah, menanamkan nilai kerja keras dan ketegaran.
Setelah menyelesaikan pendidikan di SD Negeri Tanggul 1 (1976) dan MTs Sultan Fattah Mijen (1979), beliau melanjutkan pendidikan agama di Pondok Pesantren APIK Kaliwungu, Kendal. Selama lima tahun, ia membentuk dasar keilmuan sekaligus karakter religius yang kuat.
Karier spiritual beliau berlanjut di Darutta’lim Bangsri—di bawah tangan dingin K.H. Kholil Khamid dan KH. Ma’arif—di mana ia dalam empat tahun mampu menghafal seluruh 30 juz AlQur’an, sebuah prestasi yang tak hanya mencengangkan kalangan santri, tetapi juga membanggakan masyarakat setempat.
BACA JUGA: Tingkatkan Produktivitas Pertanian, Bupati Jepara Serahkan 17 Unit Alsintan
Tak berhenti sampai di situ, beliau terus memperdalam ilmu melalui kitab kitab salaf dan menjalani praktik tasawuf. Selain itu, ia juga aktif dalam tarekat Naqsabandiyah Khalidiyah Nusantara, yang semakin mengokohkan pijakan spiritualnya.
Pada usia 27 tahun, KH. Nasta’in menikah dengan Ilya Rif’ati dari Desa Ngeling, putri pasangan KH. Ahmad Mawardi dan Mas’iti. Dari pernikahan ini lahir lima orang anak yang dipersiapkan meneruskan jejak ayah mereka di dunia keagamaan dan pendidikan.
Sebelum sepenuhnya terjun ke dunia dakwah dan pendidikan, beliau pernah bekerja menjual pakaian kredit selama lima tahun. Berkat penghasilan tersebut, ia mampu membangun rumah keluarga. Ia juga sempat mencoba beternak ayam dan kambing, namun mengalami kendala akibat penipuan.
Pengalaman kegagalan tersebut tak membuatnya menyerah. Sebaliknya, dari kesadaran sosial dan keprihatinan terhadap kondisi masyarakat, beliau melanjutkan perjuangan mertuanya, KH. Ahmad Mawardi, dengan merintis dan mengelola kembali Yayasan Pendidikan Bustanul Arifin serta Masjid Baitul Muttaqin di Desa Ngeling.

Retno Wahyu Ningrum
Kini, beliau aktif menjabat sebagai Rois Surya Ranting Nahdlatul Ulama (NU) Ngeling serta sebagai Kepala Madrasah Diniyah dan Taman Pendidikan AlQur’an (TPQ) di yayasan tersebut.
Setiap hari, KH. Nasta’in mencurahkan tenaga untuk mendidik anak-anak, remaja, bahkan ibu-ibu di desa, mengajarkan mereka membaca AlQur’an dan mendalami makna spiritual secara langsung. Ia juga rutin menggelar kajian keagamaan mingguan dan bulanan di berbagai masjid untuk memperluas syiar dakwahnya.
Puncak dari perjalanan spiritual beliau terjadi pada tahun 2022, ketika ia beserta istri menunaikan ibadah haji. Momen ini semakin memperkuat kedekatannya dengan Allah dan menjadi landasan yang kokoh dalam dakwahnya.
BACA JUGA: Wujudkan Semangat Kemerdekaan , YBM PLN UIK Tanjung Jati B Salurkan Santunan untuk Lansia di Jepara
Motto hidup yang beliau pegang teguh: “Kita hidup harus mengenal Tuhan dengan cara terbimbing oleh guru dan berusaha menebarkan kebaikan kepada sesama.”
Meskipun kesibukannya padat, beliau tetap menyempatkan diri untuk pengajian dan “nderes” AlQur’an, sebuah metode membaca dengan khidmat dan penuh refleksi.
Melalui kiprah dakwah dan pengabdian dalam dunia pendidikan agama, KH. Nasta’in muncul sebagai sosok inspiratif. Berawal dari anak petani desa, kini beliau menjadi motor perubahan di masyarakat—membuktikan bahwa dedikasi dan ikhtiar mampu mengantarkan seseorang pada posisi yang bermanfaat bagi umat.
Retno Wahyu Ningrum, Mahasiswi Prodi Komunikasi Penyiaran Islam UNISNU Jepara