Oleh: Muhammad Ali Burhan
Di tengah riuhnya kehidupan modern yang serba cepat, acak dan kacau, masyarakat Kemujan di Karimunjawa masih memegang erat sebuah tradisi kuno yang sarat makna: To’dok Telok.
Lebih dari sekadar perayaan Maulid Nabi, tradisi ini adalah sebuah manifestasi hidup dari nilai-nilai luhur yang sesungguhnya sedang sangat dibutuhkan, terutama ketika kita melihat kondisi yang terjadi di beberapa tempat di Indonesia, termasuk di Jepara.
Di saat kekerasan dan konflik mencuat, To’dok Telok perlu dihadirkan sebagai pengingat bangsa Indonesia akan pentingnya toleransi, keharmonisan, dan kebersamaan.
Tradisi ini berakar dari budaya Suku Bugis, namun telah melebur sempurna menjadi milik semua suku yang mendiami Kemujan, baik Suku Jawa, Madura, Bajo maupun Mandar.
BACA JUGA: Tumbuhkan Kepedulian Sosial, Bupati Jepara Dukung PPS Baznas Jepara 2025
Melalui To’dok Telok, mereka merayakan kelahiran Nabi Muhammad, sebagai simbol cinta, persatuan dan kasih sayang. Prosesi pembuatan telur hias yang ditancapkan pada wadah khusus menjadi ajang gotong royong yang mempertemukan berbagai lapisan masyarakat.
Di sana, tidak ada perbedaan status sosial, suku, atau bahkan latar belakang. Semua bersatu dalam satu tujuan: mengekspresikan cinta yang tulus kepada Rasulullah.
Sederhananya, To’dok Telok mengajarkan bahwa cinta dan kebersamaan dapat diwujudkan melalui hal-hal yang sederhana, tanpa perlu perantara yang rumit.
Masyarakat Kemujan tidak membutuhkan tokoh yang disucikan untuk menyampaikan persembahan cinta mereka kepada Sang Nabi. Mereka melakukannya secara langsung, dari hati ke hati, dan dalam kebersamaan. Ini adalah refleksi dari spiritualitas yang otentik dan membumi, di mana ajaran agama menjadi sumber inspirasi untuk menciptakan keharmonisan sosial.
BACA JUGA: Mengisi Kemerdekaan dengan Kepedulian, YBM PLN UIK Tanjung Jati B Santuni Guru Ngaji
Satu hal yang mulai tercerabut dari akar berkebangsaan kita.
Kontras dengan kebersamaan, keindahan dan ketenangan yang tercermin dalam tradisi To’dok Telok, kondisi di Jepara, Sabtu malam Ahad, 30/31 Agustus 2025, justru menunjukkan sisi lain dari masyarakat Jepara.
Serangan massa terhadap kantor Polres dan DPRD, penjarahan, dan pembakaran adalah cerminan dari kemarahan yang meluap dan ketidakmampuan untuk menyelesaikan masalah secara bijak dan damai.
Peristiwa ini tidak hanya merusak fasilitas publik, tetapi juga merusak tatanan sosial yang telah lama terbangun. Warga merasa ketakutan dan tidak aman, sebuah kondisi yang jauh dari semangat toleransi dan kebersamaan.
To’dok Telok dapat menjadi inspirasi berharga bagi Jepara dan seluruh masyarakat Indonesia. Tradisi ini mengajarkan bahwa meskipun ada perbedaan, kita bisa bersatu dalam satu tujuan mulia.
Para pemimpin dan rakyat Jepara bisa belajar dari masyarakat Kemujan, bahwa menyelesaikan masalah tidak harus dengan kekerasan.
BACA JUGA: Kapolres Jepara Pimpin Apel Renungan Suci
Sebaliknya, pendekatan yang mengedepankan cinta, musyawarah, dialog, dan gotong royong, seperti yang terlihat dalam prosesi To’dok Telok, akan lebih efektif dalam menciptakan solusi yang langgeng.
Cinta kepada Nabi Muhammad, yang menjadi inti dari tradisi ini, adalah cinta yang mengajarkan kedamaian, kesabaran, dan pengampunan. Nilai-nilai ini sangat relevan untuk dipraktikkan saat ini.
Alih-alih melampiaskan amarah dengan merusak, masyarakat dan pemimpin dapat mencontoh cara masyarakat Kemujan mengekspresikan cinta mereka: dengan keindahan, ketenangan, dan persatuan.
Sebagai sebuah kebudayaan, To’dok Telok adalah pengingat bahwa kekuatan terbesar sebuah komunitas terletak pada kemampuannya untuk bersatu, menghargai perbedaan, dan merayakan kebersamaan.
Ia adalah cahaya di tengah kegelapan, simbol harapan bahwa konflik dapat diselesaikan dengan cara-cara yang damai.
Menerapkan semangat To’dok Telok dalam kehidupan sehari-hari, baik di tingkat individu maupun komunitas, akan membantu membangun kembali kepercayaan yang terkikis dan menciptakan masyarakat yang lebih toleran, harmonis, dan aman.
Muhammad Ali Burhan, Pengurus PC Lesbumi NU Jepara