Oleh: Dr. Muh Khamdan
Pernyataan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengenai komitmennya untuk memastikan anggaran negara tidak menganggur hingga akhir tahun, kembali menyorot persoalan mendasar dalam tata kelola kebijakan publik di Indonesia. Salah satunya terkait Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang kini tengah diterpa badai kritik akibat ribuan kasus keracunan massal di sekolah-sekolah.
Komitmen anggaran memang penting, tetapi yang lebih krusial adalah bagaimana anggaran tersebut memberi manfaat nyata tanpa menimbulkan risiko baru bagi masyarakat.
Program MBG sejatinya dirancang dengan visi mulia, meningkatkan status gizi anak Indonesia. Dengan alokasi anggaran mencapai Rp335 triliun, pemerintah berupaya menghadirkan intervensi langsung dalam bentuk penyediaan makanan di sekolah.
BACA JUGA: Wakil Bupati Jepara Wanti-Wanti Kualitas Layanan Gizi di Setiap SPPG
Namun, visi ideal ini terganjal problem implementasi, dari lemahnya regulasi, minimnya jaminan keamanan pangan, keterbatasan monitoring, serta absennya partisipasi publik yang substantif.
Data terbaru menunjukkan betapa seriusnya persoalan ini. Hingga September kini, setidaknya 5.626 kasus keracunan akibat konsumsi MBG ditemukan di puluhan kota dan kabupaten di 16 provinsi.
Angka ini meningkat tajam dibandingkan akhir Juni lalu yang baru tercatat 1.376 kasus. Lonjakan empat kali lipat dalam kurun waktu tiga bulan menegaskan adanya krisis tata kelola kebijakan yang patut dikritisi secara mendalam.
Jika merujuk pada teori policy analysis yang dikemukakan oleh Dunn (2018), kegagalan kebijakan seringkali bukan terletak pada niat awal, melainkan pada policy design dan policy implementation.
Dalam kasus MBG, kegagalan mendesain regulasi ketat tentang standar gizi, rantai pasok pangan, serta inspeksi dapur menjadi titik rawan. Implementasi pun terjebak pada logika mengejar target kuantitatif, berapa banyak anak yang mendapat MBG, daripada memastikan kualitas dan keamanan setiap sajian.
Masalah lain adalah lemahnya koordinasi antar lembaga. Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Muhammad Qodari menyebut, ada tiga lembaga yang memiliki data berbeda mengenai jumlah korban keracunan MBG, yaitu BGN, Kementerian Kesehatan, dan BPOM. BGN mencatat 5.080 korban, Kemenkes 5.207, dan BPOM 5.320.
Meski perbedaan angka itu tidak signifikan, namun mencerminkan lemahnya integrasi sistem data dan akuntabilitas dalam satu program strategis.
BACA JUGA: Mengisi Kemerdekaan dengan Kepedulian, YBM PLN UIK Tanjung Jati B Santuni Guru Ngaji
Tidak mengherankan bila muncul tiga opsi yang kini ramai diperdebatkan. Pertama, menghentikan sementara MBG untuk evaluasi menyeluruh. Kedua, menghentikan program dan mengalihkan anggaran ke sektor pendidikan. Ketiga, mengganti MBG dengan bantuan langsung berupa beras 10 kilogram bagi masyarakat.
Ketiga opsi ini lahir bukan dari pemerintah semata, melainkan juga dari tekanan publik, lembaga swadaya masyarakat, dan suara orang tua murid yang cemas akan keselamatan anak-anaknya.
Dalam perspektif participatory policy, suara masyarakat seharusnya tidak hanya didengar setelah kebijakan menimbulkan masalah.
Keterlibatan publik sejak perencanaan hingga implementasi akan memungkinkan desain kebijakan yang lebih adaptif, akuntabel, dan sesuai dengan kebutuhan lapangan.
Sayangnya, MBG sejak awal tampak minim melibatkan organisasi masyarakat sipil, ahli gizi independen, serta perwakilan orang tua murid. Akibatnya, program berjalan secara top-down tanpa mekanisme pengawasan sosial yang kuat.
Selain itu, ada dimensi ekonomi politik yang patut dicermati. Pemerintah sejak awal mengemas MBG sebagai upaya mendorong rantai pasok ekonomi desa, bukan sekadar bantuan gizi. Logika ini sebenarnya masuk akal.

Dr. Muh Khamdan
Dana besar MBG bisa memutar ekonomi lokal melalui pengadaan bahan pangan dari petani, peternak, dan UMKM setempat. Namun, ketika rantai pasok tidak dipersiapkan dengan matang, yang terjadi justru kebocoran kualitas. Makanan ultra-proses, susu manis, hingga bahan pangan tidak higienis masuk dalam menu anak-anak sekolah.
Dari sisi pengawasan, Kepala BGN Dadan Hindayana mengakui perlunya evaluasi menyeluruh dengan membentuk Satgas KLB. Namun, pembentukan satgas kerap hanya bersifat reaktif, bukan preventif. Padahal, teori pengawasan kebijakan publik menekankan bahwa mekanisme ex-ante control (pengawasan sebelum program berjalan) jauh lebih efektif daripada ex-post control (pengawasan setelah masalah muncul).
Fakta bahwa dapur belum layak, logistik makanan tidak higienis, dan inspeksi minim terus ditemukan, menunjukkan bahwa kontrol internal pemerintah dan kontrol eksternal masyarakat belum dijalankan secara optimal.
Pemerintah terlihat lebih sibuk menjaga citra pencapaian kuantitatif, alih-alih fokus pada keselamatan anak-anak sebagai end-user kebijakan.
BACA JUGA: Bupati Jepara Lakukan Rotasi 95 Pejabat Eselon III dan IV , Ini Pesannya
Opsi mengganti MBG dengan beras 10 kilogram memang menawarkan percepatan penyaluran anggaran agar tidak menganggur. Secara praktis, beras adalah komoditas yang relatif lebih aman, tahan lama, dan bisa segera dimanfaatkan keluarga.
Namun, solusi ini tetap bersifat jangka pendek. Ia tidak menjawab tujuan awal MBG, yaitu memastikan anak-anak menerima asupan gizi lengkap dan seimbang di sekolah.
Mengalihkan anggaran ke sektor pendidikan juga masuk akal, mengingat dana MBG memang bersumber dari pos pendidikan. Akan tetapi, kebijakan ini bisa memicu resistensi politik karena publik melihatnya sebagai mundurnya pemerintah dari komitmen pemenuhan gizi anak.
Di sinilah pentingnya komunikasi kebijakan, bagaimana pemerintah menjelaskan perubahan strategi tanpa kehilangan kepercayaan masyarakat.
BACA JUGA: Gunakan Ambulans Motor, Dokkes Polres Jepara Gelar Patroli Layanan Pemeriksaan Kesehatan
Alternatif terbaik barangkali adalah menghentikan sementara program MBG untuk evaluasi menyeluruh dengan melibatkan berbagai pihak, baik akademisi, organisasi profesi gizi, petani dan pelaku UMKM, serta masyarakat sipil.
Dengan pendekatan partisipatoris, perbaikan program bisa dilakukan dari hulu ke hilir. Mulai dari standar gizi, mekanisme pengadaan, pengolahan makanan, distribusi, hingga sistem monitoring berbasis data digital.
Pelajaran utama dari krisis MBG adalah bahwa kebijakan publik tidak bisa berjalan dengan logika teknokratis semata. Partisipasi masyarakat, transparansi data, dan integrasi kelembagaan menjadi kunci keberhasilan. Jika hal ini diabaikan, maka kebijakan sebesar apa pun anggarannya akan terus melahirkan risiko sosial, politik, dan ekonomi.
Komitmen Menkeu untuk memastikan anggaran tidak menganggur patut diapresiasi. Namun, komitmen itu harus dibarengi dengan keberanian melakukan evaluasi menyeluruh atas MBG. Jangan sampai uang rakyat sebesar ratusan triliun rupiah hanya menjadi angka dalam laporan serapan anggaran, sementara di lapangan, anak-anak kita justru jatuh sakit.
Sudah saatnya kebijakan pangan dan gizi di sekolah disusun bukan hanya dari ruang rapat birokrasi, tetapi dari dialog partisipatif dengan masyarakat yang merasakan dampaknya langsung.
.
Dr. Muh Khamdan, Analis Kebijakan Publik dan LTN NU MWCNU Nalumsari Jepara